Barangkali kita sudah berhasil keluar dari anggapan, BUMN dan BUMD adalah perpanjangan tangan birokrasi. Tapi masih ada pikiran atau persepsi yang hidup bahwa BUMN/D bisa menjadi sapi perah dari politisi atau penguasa.
Misalnya, meski semakin jarang terdengar, masih ada satu dua direktur atau manajer BUMN/D yang kena jerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Konon manajer tadi berdekat-dekat ke orang kuat agar punya jalur sehingga kelak dimudahkan menjadi direktur. Lalu ketika diusut lebih jauh, perkaranya ternyata menjerat pula entah kalangan legislator dan petinggi pemerintahan atau sebaliknya.
Akan terjadi sebaliknya manakala BUMN/D berhasil mendapatkan CEO yang keras hati, biasa dibesarkan dalam perusahaan swasta atau asing yang profesional, atau perusahaan yang go public. Alhamdulillah, puji Tuhan CEO BUMN/D kita yang begini makin hari makin banyak karena seleksinya makin ketat.
Paling sial ya CEO profesional tadi terkriminalisasi karena ada yang ”membuat cerita”. Kalau kondisi yang pertama masih hidup, BUMN/D kita akan sulit menjadi besar dan meraksasa. Ibaratnya dilepas kepalanya, tapi dipegangi ekornya. Coba lihat adakah BUMN BUMD kita yang ukurannya bisa sebesar perusahaan-perusahaan asal negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia?
Jarang dan selalu terhambat. Bicara soal BUMN, kebetulan saya baru saja membaca laporan majalah Fortune tentang Fortune Global 500 edisi tahun 2016. Isinya daftar 500 perusahaan dari berbagai negara di dunia yang dibuat peringkatnya berdasarkan pendapatan.
Fenomena China
Ada beberapa yang baru di sana, terutama yang menyangkut China dan perusahaan-perusahaannya. Kita tentu bisa belajar dari negara yang dulu disebut sebagai Negeri Tirai Bambu itu. Pertama, ada 110 perusahaan China yang masuk dalam daftar tersebut (103 perusahaan dari China dan 7 perusahaan asal Taiwan).
Anda tahu berapa banyak perusahaan asal Amerika Serikat yang masuk daftar? Ada 134 perusahaan. Jadi nyaris berimbang. Persis bukan dengan potret kondisi perekonomian dunia saat ini? AS menempati peringkat 1 perekonomian terbesar di dunia, China nomor 2.
Kedua, dalam daftar 10 perusahaan yang menempati peringkat teratas Fortune Global 500, 3 di antaranya dari China, yakni State Grid (#2, perusahaan energi), China National Petroleum (#3, minyak dan gas), dan Sinopec Group (#4, minyak dan gas). Ketiga, dari seluruh perusahaan China yang masuk dalam daftar Fortune Global 500, 13 di antaranya merupakan debutan.
Jadi pada tahun-tahun lalu mereka belum masuk daftar. Masuknya 12 perusahaan baru tadi tak lepas dari kebijakan Pemerintah China yang ingin mendorong BUMN-BUMN mereka tumbuh besar dan kalau bisa menguasai pasar dunia. Misalnya ada tiga di antaranya perusahaan properti (China Vanke Co, Dalian Wanda Group, dan Evergrande Real Estate Group).
Anda tahu, beberapa tahun sebelumnya bisnis properti China nyaris crash. Banyak hunian yang dibangun, tetapi penjualannya seret. Kredit yang dikucurkan perbankan China terancam macet. Jika itu sampai terjadi, jelas perekonomian China bisa kolaps. Maka untuk mengatasinya Pemerintah China mengeluarkan aturan yang melonggarkan kepemilikan hunian. Stok hunian yang dulu melimpah akhirnya diserap pasar.
Bisnis properti China pun bangkit lagi dan perusahaan-perusahaannya tumbuh besar. Tiga di antaranya masuk dalam daftar Fortune Global 500. Bisnis e-commerce di China juga berkembang pesat. Maka tak mengherankan kalau perusahaan e- commerce China yang juga debutan, JD.com, menempati peringkat ke-366. Lho, mengapa bukan Alibaba.com? Ini karena JD.com mengelola bisnis e-commerce sendiri.
Beda dengan Alibaba yang hanya menjadi service provider bagi sejumlah gerai online. Alhasil pendapatan Alibaba kalah jauh dari JD.com. Keberhasilan JD.com juga tak lepas dari keberanian Pemerintah China ”membiarkan” terjadinya disruption dalam bisnis ritel. Siapa bilang gerai-gerai konvensional di China tidak babak belur dengan hadirnya JD.com dan Alibaba? Tapi begitulah bisnis.
Perusahaan-perusahaan baru akan masuk menggantikan (baca: menyingkirkan) perusahaan-perusahaan tua. Dengan cara begini, darah segar akan selalu mengalir dalam dunia bisnis. Ah, ada CRRC Corp Ltd di peringkat ke-266. Kini bisnis CRRC berkembang dengan menjadi pemasok kereta peluru dan subway ke sejumlah negara di dunia.
Lalu perusahaan China yang menempati peringkat kedua, State Gride. Pemerintah China menugasi perusahaan itu untuk menjamin ketersediaan energi bagi negaranya. Soal cara, silakan cari dan temukan. Maka State Gride bukan hanya membangun pembangkit-pembangkit listrik, melainkan juga mengembangkan berhektare-hektare ladang panel surya,
pembangkit listrik tenaga angin hingga sumber-sumber energi alternatif lainnya. Satu hal yang ingin saya tegaskan, dari seluruh perusahaan China yang masuk daftar Fortune Global 500, semuanya BUMN dan semuanya perusahaan raksasa. Mau tahu bandingannya?
Dukungan
Kita punya BUMN yang juga masuk daftar tersebut, yakni Pertamina. Saya dulu menyebut Pertamina sebagai powerhouse. Bicara soal skala usaha, pendapatan per tahun Pertamina bahkan mengalahkan perusahaan terbesar yang ada di Bursa Efek Indonesia. Anda tahu di mana posisi Pertamina dalam daftar tersebut? Di peringkat ke-230 dengan pendapatan USD41,76 miliar.
Dari sisi ini bahkan Pertamina masih kalah dari perusahaan migas asal Thailand, PTT. Perusahaan ini menempati peringkat ke-146 dengan pendapatan USD59,2 miliar. Padahal kita tak pernah dengar ada ladang minyak dan gas ukuran besar di Thailand. Juga jangan bandingkan Pertamina dengan Petronas.
Supaya kita belajar dari China, mari kita lihat ukuran BUMN-nya. State Gride (atau PLN-nya di sana) pendapatannya USD329,6 miliar. Jadi delapan kali lipat pendapatan Pertamina. Atau, dengan dua perusahaan migas China lainnya, yakni China National Petroleum yang USD299,3 miliar dan Sinopec dengan USD294,3 miliar.
Pertamina jadi terlihat mini. Jadi, kalau didukung penuh oleh negaranya, BUMN pun bisa tumbuh besar dan meraksasa. Ini bukan hanya di China, tapi di mana-mana. Singapura punya Temasek. Portofolio bersih Temasek pada tahun 2015 saja sudah mencapai USD196 miliar. Malaysia juga punya Khazanah Nasional Berhad.
Keduanya, baik Temasek ataupun Khazanah, kini menguasai nyaris separuh dari bisnis perbankan Indonesia. Pada era bisnis global, jelas ukuran menjadi penting. Kalau perusahaannya besar, jangkauannya bisa ke mana-mana. Pengaruhnya juga luas. Bukan hanya dalam bidang bisnis, tapi juga politik.
Lihatlah dalam kasus Laut Tiongkok Selatan (LTS). Besarnya pengaruh China, melalui BUMN-BUMN mereka tentu saja, membuat ASEAN tak bisa satu suara dalam menentukan sikap soal sengketa LTS. Padahal, klaim China atas LTS hanya didasarkan pada peta tradisional mereka. Jadi klaim sepihak. Bukan berdasarkan pengakuan badan arbitrase dunia.
Tapi karena ”otot” China lebih kuat, ASEAN pun bisa mereka pecahbelah. Maka kalau mau bertanding di pasar global, penting bagi kita untuk punya BUMN yang berukuran besar. Kalau BUMN-nya banyak, tetapi kecil-kecil, malah merepotkan. Sibuk cakarcakaran berebut pasar. Bagaimana dengan BUMD yang jauh lebih kecil dan belum banyak bupati atau gubernur yang punya visi disruptive?
Selain itu kapasitasnya juga jadi rendah. Ibarat UKM yang mengelola bisnis Rp5 miliar, ketika diminta menggarap proyek senilai Rp200 miliar pasti tak akan mampu. Kalau dipaksakan, hasilnya malah amburadul. Nah, kalau kita mau punya BUMN raksasa, pemerintah dan politisinya tentu perlu mendukung. Bukan malah menggembosi. Pikirannya pun harus disruptive karena sebagian besar usaha kita tengah terancam krisis besar, the great disruption! Ini riil, lain kali akan saya ceritakan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Dukungan Negara terhadap BUMN tidak mesti dilakukan dalam bentuk penambahan Penyertaan Modal Negara. Yang lebih penting bagaimana Negara (Pemerintah dan DPR) menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi BUMN kita, mulai dari fleksibilitas aturan yang mendukung pengambangan usaha BUMN, sampai pada dukungan negara untuk tidak intervensi dalam pengambilan keputusan di tingkat BUMN.
change mindset mereka pak renald