Minggu-minggu ini negara kita sedang dilanda euforia deflasi. Di mana-mana harga sejumlah komoditas bergerak turun. Harga beras turun, begitu pula dengan harga cabai dan bawang merah.
Juga harga BBM ikut bergerak turun sehingga menurunkan biaya logistik dan distribusi barang. Ini pada gilirannya juga berperan dalam penurunan harga sejumlah komoditas. Tapi ini bukan masalah sederhana, menjelang Idul Fitri lonjakan demand biasanya mengubah peta harga. Deflasi adalah istilah untuk menggambarkan inflasi negatif (negative inflation). Kalau inflasi artinya harga-harga barang dan jasa bergerak naik, deflasi sebaliknya.
Harga-harga malah turun. Euforia ini tecermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Sepanjang April 2016, deflasi mencapai 0,45% atau terbesar sejak 2000. Ada tiga kelompok pengeluaran yang menurun harganya. Mereka adalah kelompok bahan makanan yang harga rata-ratanya turun 0,94%. Lalu kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (turun 0,13%) serta sektor transportasi, komunikasi, dan keuangan (1,6%).
Kita yang berada di Jakarta dan beberapa kota lainnya tentu ikut merasakannya. Harga layanan transportasi, misalnya, sedang bergerak turun. Ini karena peran teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT, information & communication technology ) yang memungkinkan hadirnya layanan transportasi berbasis aplikasi, seperti GoJek, GrabBike atau Uber Taxi dan Grab Car.
Setidaknya mereka telah berhasil memaksa tarif taksi konvensional ikut permainan mereka, harganya ikut-ikutan turun. Memang belum semua harga pangan turun. Kini pemerintah kita masih habis-habisan berupaya menurunkan harga daging sapi. Sekarang harganya masih sekitar Rp120.000 per kilogram, sementara pemerintah berharap harganya bisa turun menjadi Rp80.000 per kilogram.
Bukan pekerjaan yang mudah mengingat sebentar lagi kita bakal memasuki bulan Puasa dan disusul dengan Lebaran. Apalagi perilaku masyarakat kita terbilang aneh. Di saat bulan puasa, konsumsi malah meningkat. Bukan sebaliknya.
Sementara, di sisi lain, untuk menurunkan harga pemerintah masih saja memakai cara-cara lama, yakni mengerahkan aparat penegak hukum untuk sweeping para pedagang sapi dan perusahaan- perusahaan penggemukan sapi. Apakah mereka melakukan spekulasi– dengan menahan menjual sapi– atau tidak? Jadi bukan menghadapinya dengan mekanisme pasar. Itu potret deflasi dari sisi ekonomi.
Zero Marginal Cost
Kini saya akan mengajak Anda melihat deflasi dari sudut pandang yang lebih luas. Karl Max sejak dulu mencoba mencari tahu apa yang menjadi faktor pemicu majunya Perekonomian kapitalis– faktor yang suatu saat malah bakal memukul balik, menghancurkan ekonomi kapitalis.
Sayangnya ketika itu pencarian Karl Max terpusat pada kaitan antara alat-alat produksi, nilai tambah, dan penggunaan tenaga kerja asing. Ia belum menyingkap lebih jauh ke jantung dari sistem kapitalis. Dalam sistem perekonomian kapitalis kita mengenal istilah invisible hands atau tangan-tangan tak tampak yang mengendalikan pasar. Dalam sistem perekonomian ini para produsen selalu mencari teknologi baru yang bertujuan melakukan efisiensi serta meningkatkan produksi barang dan jasa.
Ini pada akhirnya membuat biaya menjadi lebih murah sehingga harga-harga barang dan jasa tersebut lebih kompetitif. Lebih mampu bersaing di pasar dibandingkan dengan para kompetitornya. Jadi mereka pikir, pemerintah tak usah banyak ikut campurlah. Nanti keseimbangan akan hadir sendiri kalau syarat- syaratnya terpenuhi. Anda tahu, harga yang murah akan lebih cepat merebut hati konsumen.
Lalu, dengan biaya produksi yang lebih rendah, para pemodal bakal lebih senang. Ada profit yang cukup besar di situ. Jeremy Rifkin bahkan memprediksi upaya tersebut sampai ke titik ekstrem yang disebutnya dengan istilah zero marginal cost society. Maksudnya, biaya marginal untuk memproduksi bahkan mendekati titik nol. Mungkinkah kondisi tersebut tercapai?
Mungkin saja. Kita tengah menyaksikannya sejak beberapa tahun terakhir. Di industri telekomunikasi, misalnya, para operator bersaing gila-gilaan dengan tarif Rp0. Kita menyebutnya dengan istilah freemium. Kualitas layanannya premium, tapi tarifnya free. Jadi, freemium . Kondisi zero marginal cost society belum berhenti sampai di situ. Ia masih bergulir.
Misalnya masyarakat yang selama ini selalu menjadi konsumen, kini berubah dengan ikut menjadi produsen. Fenomena ini kita kenal dengan istilah prosumen. Contohnya banyak. Dulu masyarakat kita selalu menjadi konsumen berita yang dihasilkan berbagai media. Kini mereka tak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen.
Ketika menyaksikan suatu peristiwa yang dianggap penting–ledakan bom, aksi demo, kebakaran, kecelakaan, dan sebagainya–mereka tak segan-segan membagikan informasi tersebut melalui media sosial. Orang lain jadi tahu dan bisa mengambil langkah-langkah antisipasi. Dulu kita mengoleksi ensiklopedia. Harganya mahal. Kini tidak lagi.
Ada Wikipedia yang menggantikannya dengan biaya yang boleh dibilang nol! Perusahaan sekelas Microsoft menjadi kaya raya berkat rezim copyright. Tapi sejak beberapa tahun belakangan mereka berdebar-debar dengan hadirnya software yang tidak berbayar. Software ini dikembangkan secara keroyokan oleh para penganut rezim copyleft .
Fenomena keroyokan inilah yang menyelamatkan perusahaan tambang asal Kanada, Gold- Corp. Perusahaan ini memiliki peta cadangan emas di perut bumi, tetapi para geolognya tak mampu menaksir secara persis seberapa besar volumenya. Kondisi semacam ini membuat Gold- Corp terjerat dalam kesulitan dan bahkan terancam bangkrut.
Lalu, apa solusinya? CEO GoldCorp, Rob McEwen, akhirnya membuka kesempatan kepada masyarakat luas untuk menafsirkan peta tersebut. Melalui internet, ribuan orang memberikan masukan. Akhirnya cadangan emas tersebut pun berhasil dihitung. Kondisi ini membuat GoldCorp selamat dari ancaman kebangkrutan dan kembali berjaya.
Deflasi Keblinger
Apa yang bisa kita simpulkan dari beberapa kasus tadi? Jelas, teknologi–termasuk ICT–memainkan peran penting bagi terciptanya zero marginal cost society. Dunia kita sekarang ini sedang terus bergerak ke arah sana. Menjadi semakin efisien dan semakin murah. Inilah pemicu terjadinya deflasi di manamana. Harga sewa mobil turun, tarif hotel menjadi lebih murah, begitu pula dengan harga-harga komoditas lainnya.
Sayangnya di negara kita deflasi juga terjadi di pengadilan– meski dalam konotasi yang negatif. Kita sudah lama mendengar istilah mafia peradilan. Para mafia ini berperan mengatur jalannya proses persidangan sehingga hasilnya sesuai dengan keinginan si pengguna jasa. Untuk itu para mafia ini bisa mengatur siapa saja hakim yang bakal menyidangkan perkara tersebut.
Mereka tentu akan memilih hakim-hakim yang ada dalam ”genggaman”. Intinya hakim yang bisa disuap. Ini yang celaka, deflasi juga berlaku di sana. Banyak yang berbisik ke saya, tarif suap hakim makin lama makin turun. Makin murah. Contohnya hakim tipikor di Bengkulu yang dicokok KPK dalam operasi tangkap tangan, tarifnya ternyata ”hanya” Rp150 juta. Kita mau deflasi terjadi di pengadilan, tetapi bukan deflasi yang itu.
Kita mau biaya beperkara di pengadilan menjadi semakin murah. Apalagi kalau ditambah semakin cepat dan semakin pasti. Bukan sebaliknya, ”tarif” hakimnya yang semakin murah. Ini jelas deflasi yang keblinger dan salah urus!
Sampai di sini, kita jadi bertanya- tanya: apa mungkin tangan-tangan tak kelihatan bisa bekerja dengan baik untuk membuat sistem yang adil dan menyejahterakan ini bisa hidup di negeri kita?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan