Beberapa waktu belakangan ini kita kerap mendengar ungkapan ”negara tak boleh kalah”. Saya sempat termenung ketika mendengar ungkapan tersebut. Apa iya negara tak boleh kalah? Kalau berperang melawan mafia narkoba, saya setuju, negara tak boleh kalah.
Begitu juga kalau berhadapan dengan mafia-mafia lainnya. Di negara kita ini banyak mafia. Ada mafia peradilan, mafia tanah, mafia perikanan, mafia garam, mafia bawang, mafia cabai, mafia gula, dan ada mafia berkedok agama, ideologi, dan masih banyak lagi. Saya setuju, terhadap mafia-mafia itu negara tak boleh kalah—walau kenyataannya kita kerap kalah. Bukankah kita kerap kewalahan mengendalikan harga cabai atau bawang.
Bukankah pencurian ikan masih terjadi di mana-mana meski saya tahu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan timnya sudah bekerja habis-habisan? Begitu pula ketika berhadapan dengan Labora Sitorus (Anda ingat bukan, polisi pemilik rekening gendut di Papua), negara tak boleh kalah. Atau ketika melawan licinnya siasat Gayus (itu lho, petugas pajak yang kerap kabur dari penjara dan tertangkap kamera sedang nonton pertandingan tenis di Bali), negara juga tak boleh kalah.
Tapi, betulkah selamanya negara tak boleh kalah? Saya ajak Anda untuk merenungi kasus yang lebih menantang. Kali ini sengketa antara PSSI dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Kasusnya adalah pembekuan PSSI oleh Kemenpora. Anda yang mengikuti kasus ini tentu tahu bahwa persidangannya sudah sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Hasilnya, Kemenpora dinyatakan kalah. Baiklah kita bicara soal cabut-mencabut. Kemenpora menetapkan sembilan syarat agar pembekuan PSSI bisa dicabut. Beberapa syarat di antaranya memang kurang masuk akal. Di antaranya PSSI mesti lolos dalam kualifikasi Piala Dunia 2018. Ini aneh. Sebab PSSI sedang kena sanksi FIFA. PSSI tak boleh bertanding pada tingkat internasional. Jadi, bagaimana bisa lolos dalam ajang kualifikasi Piala Dunia 2018?
Namun Kemenpora ngotot. Kata menterinya, ”Negara tak boleh kalah.” Kali ini Anda setuju dengan ungkapan bahwa negara tak boleh kalah? May be yes, may be no! Saya tak tahu persis bagaimana gunjingan tentang mafia juri yang bermain di belakang sepak bola kita. Mungkin saja ini sekadar sasaran antara.
Negara vs Pemerintah
Begitulah perilaku kekuasaan. Suka keliru mengatasnamakan. Suka sulit membedakan mana yang disebut negara dengan mana yang disebut pemerintah. Padahal kita tahu persis bahwa pemerintah hanya bagian dari negara. Negara itu ya kita semua. Sementara pemerintah adalah sekelompok orang yang kita percayai untuk mengurus negara. Mengurus kita semua.
Untuk itu kita menggaji mereka dengan uang dari pajak. Apakah keinginan pemerintah selalu sejalan dengan keinginan kita semua? Belum tentu, bukan? Dimasalalu, pemerintah ingin para menteri dan pejabat tingginya ganti mobil dengan yang baru semua. Kita jelas menolak. Apa perlunya? Mobil yang lama saja masih bagus, untuk apa perlu ganti dengan yang baru? Apalagi biayanya tidak murah. Di berbagai daerah, penguasa menuntut pemekaran.
Sudah terpilih jadi penguasa, mereka pun menuntut semua fasilitas yang serbabaru. Ya rumah dinas, kendaraan, dan sebagainya. Atau lihat saja kasus yang baru-baru ini ramai jadi pembicaraan, yakni soal ojek dan taksi online. Kita jelas mau ojek online atau taksi yang berbasis aplikasi boleh terus beroperasi. Tarifnya murah, kualitas dan layanannya diterima publik sehingga cepat berkembang dan kita semua pasti diuntungkan. Tapi sikap pemerintah lain lagi.
Lebih suka main aman dan mempertahankan status quo dengan berlindung di balik peraturan. Entah itu undang-undang atau peraturan menteri. Padahal, kalau memang maunya berpihak kepada kita semua, apa susahnya mengubah undang-undang atau peraturan menteri yang memberi ruang pada pembaruan sehingga anak-anak muda kita bukan cuma jadi penonton saja. Memang butuh waktu, tapi yang penting semangatnya jelas, mereka harus membela kepentingan kita, bukan kepentingan status quo.
Negara Boleh Kalah
Kembali ke soal negara tak boleh kalah, saya juga tak habis mengerti dengan sikap pemerintah dan DPR dalam kasus 10 warga negara kita yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Anda mengikuti bukan debatnya di DPR? Ada dua isu yang menurut saya menantang kita untuk berpikir dengan cara berbeda. Pertama, itu tadi, soal negara tak boleh kalah—yang dengan lantang diserukan oleh seorang anggota DPR.
Kedua, sebagai tindak lanjut dari seruan ini, negara juga tak boleh mengeluarkan uang sepeser pun untuk membayar tebusan bagi 10 warga negara kita yang disandera. Nilai tebusan yang diminta adalah Rp15 miliar. Dalam hati saya bertanyatanya, kalau yang disandera adalah anak anggota DPR tadi atau anak menteri atau anak pejabat lainnya, apakah dia masih akan bersikap sama? Baiklah kita tak usah berandai- andai. Sekarang kita kembali ke soal yang pertama tadi, yakni negara tak boleh kalah.
Apa iya? Kalau kita mau sejenak membuka buku sejarah, atau googling saja, di sana kita akan dengan mudah menemukan negara yang mengakui bahwa mereka kalah. Entah suka atau tidak suka, terpaksa atau suka rela, pokoknya negara-negara itu mengakui bahwa mereka kalah. Jerman mengaku kalah dalam perang melawan tentara Sekutu.
Begitu pula dengan Jepang yang juga berani mengaku kalah. Mengaku kalah bukan sesuatu yang memalukan. Bahkan dalam pertandingan olahraga, berani mengaku kalah adalah pertanda sikap sportif. Penonton sangat menghargainya. Soalnya bukan berhenti pada berani mengaku kalah, tetapi what next? Apa yang kita lakukan untuk bangkit kembali. Jerman dan Jepang adalah contoh dari dua negara yang berani mengaku kalah dan berhasil bangkit kembali.
Soal kedua, ini yang membuat saya sebal, negara tak boleh mengeluarkan uang sepeser pun untuk membebaskan para sandera. Lho, memangnya uang siapa yang digunakan untuk membayar tebusan? Uangnya nenek moyang para pejabat negara? Bukan. Itu uang kita. Ingat lho, tugas negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dan 10 orang yang ditawan oleh kelompok Abu Sayyaf adalah bangsa kita, bangsa Indonesia. Jadi, dengan segala cara, negara—yang diwakili pemerintah—mesti melindungi mereka. Membebaskannya dari tangan para teroris. Kalau memang caranya mesti dengan membayar uang tebusan, ya bayar saja.
Pakai saja dulu uang negara. Urusan dengan perusahaan tempat para tawanan tadi bekerja dibereskan belakangan. Pemerintah mesti berani mengeluarkan uang terlebih dahulu. Jangan belum-belum sudah ribut, jangan pakai uang negara.
Kita sejak dulu merindukan negara yang betul-betul ngotot dan mampu melindungi warga negaranya. Di mana pun mereka berada. Dan terutama ketika warga negaranya tengah bekerja untuk menghidupi keluarganya— di dalam atau di luar negeri.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan