Pekan lalu jagat bisnis kita dibuat heboh oleh aksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangkap CEO dari perusahaan pengembang papan atas di Indonesia.
Sebelumnya, KPK juga sudah menangkap petinggi BUMN. Aksi KPK menangkap para petinggi dari kalangan bisnis bukan hanya terjadi saat itu. Sebelumnya juga sudah ada beberapa kasus. Di antaranya, yang paling menghebohkan adalah kasus Hambalang yang melibatkan petinggi dari PT Adhi Karya Tbk dan menyeret sejumlah pejabat negara, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta petinggi partai politik.
Saya kira kasus ini, ditambah sejumlahkasuslainnya, membuat masyarakat kita akhirnyamemandang korporasi dengan tatapan mata penuh curiga. Sinis. Apalagi banyak nama eksekutif disebut-sebut dalam Panama Papers. Seakan-akan mereka semua adalah penjahat yang kurang cinta Tanah Air.
Bagi sebagian masyarakat, setiap aksi korporasi seakan-akan melontarkan isyarat bahwa mereka siap melakukan segala cara untuk menguasai aset-aset yang ada di negeri ini. Mungkin termasuk aset-aset yang sekarang ini kita miliki. Korporasi itu simbol keserakahan. Kata Aaron Hillel Swartz, “Large corporations, of course, are blinded by greed .
The laws under which they operate require it—their shareholders would revolt at anything less .” Swartz adalah pengusaha, penulis dan programer komputer asal Amerika Serikat. Ia meninggal dalam usia muda, 27 tahun. Simak juga ungkapan aktivis buruh Amerika Serikat Cesar Chavez yang gemas dengan kelicikan korporasi-korporasi besar, yang menyulitkan negerinya.
“Who gets the risks? The risks are given to the consumer, the unsuspecting consumer and the poor work force. And who gets the benefits? The benefits are only for the corporations, for the money makers .”
Transisi Peradaban dan Peran Korporasi
Seburuk itukah reputasi korporasi dan corporate leaders di mata masyarakat? Baik di masyarakat kita maupun masyarakat dunia. Kalau iya, bagi saya, sayang sekali. Sebab sesungguhnya korporasi memainkan peran yangtidaksedikitdalamkemajuan peradaban umat manusia.
Misalnya, melalui revolusi industri, korporasi memainkan peranan penting dalam transisi peradaban manusia dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Juga, berkat revolusi industri, pendapatan per kapita banyak negara di dunia meningkat hingga enam kali lipat. Anda tahu bukan perubahan- perubahan yang terjadi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri.
Menurut kajian Alvin Toffler, setidak-tidaknya ada enam ciri perubahan: tenaga manusia berganti dengan tenaga mesin, penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar untuk mesin, penggunaan energi secara masif, mobilitas manusia dan barang yang menjadi semakin cepat, berkembangnya kolonialisme untuk memburu berbagai sumber daya alam—terutama sumber daya energi.
Revolusi industri juga memicu penemuan banyak mesin. Ada mesin uap dari James Watt, mesin pemintal benang dari James Hargreaves, mesin tenun rancangan Edmund Cartwight, sampai mesin cetak. Berkat ditemukannya mesin cetak, produksi surat kabar yang semula ditulis dengan tangan sehingga hanya mampu cetak 100 eksemplar sekali terbit, bisa dicetak hingga 400-an eksemplar per jam.
Ini tentu lompatan yang luar biasa. Bahkan lompatan terjadi lagi dengan ditemukannya mesin offset. Mesin ini mampu mencetak hingga 60.000-an eksemplarper jam. Inimembuat informasi menjadi semakin terdistribusi dan mendorong terjadinya percepatan perubahan sosial di masyarakat.
Distribusi informasi menjadi semakin deras seiring dengan ditemukannya transistor oleh William Schokley dan kawan-kawan pada 1947, yang dilanjutkan dengan penemuan integrated circuit (IC) dan chip komputer. Itulah temuan-temuan yang mendorong terjadinya gelombang ketiga transisi masyarakat dunia, yakni dari masyarakat industri ke masyarakat informasi.
Kita sangat menikmati era ini yang memiliki sejumlah ciri: Informasi yang mengalir sangat deras sehingga efisiensi meningkat secara tajam; Mobilitas barang dan manusia menjadi semakin cepat; Dimulainya penemuan energi alternatif seiring dengan kian langkanya energi fosil; Meningkatnya produksi pangan seiring dengan penggunaan bioteknologi; Meningkatnya penggunaan perangkat lunak (software); Dan, ditemukannya teknologi informasi serta pengolahan data.
Semua kemajuan tersebut jelas tak lepas dari peran korporasi. Anda masih ingat bukan dengan perkembangan globalisasi ala Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat. Globalisasi 1.0 adalah globalisasi negara, sementara Globalisasi 2.0 dipelopori oleh korporasi, terutama multinational corporation (MNC).
Semakin besar korporasinya, perilaku mereka kian mirip negara. Persis seperti kata kolumnis Jim Hightower, “The corporations don’t have to lobby the government anymore . They are the government.”
Tiga UU
Di mana-mana memang begitulah perilaku korporasi. Orientasi mereka adalah profit. “Corporations are not in business to besocial–welfare organizations; they are there to make money,” tegas Ben Carson, ahli bedah yang kemudian menjadi politisi. Di tengah kian sengitnya persaingan, untuk memburu profit, mereka mungkin terjerat melakukan cara-cara yang kurang elok di mata publik.
Entah kurang nasionalis, mengejar efisiensi, bermain di dua kaki, bahkan mengatur “aturan main” dan menyuap. “Multinational corporations do control. They control the politicians. They control the media. They control the pattern of consumption, entertainment, thinking,” tegas Jerry Brown, pengacara dan politisi.
Maka mesti ada pihak yang harus mengendalikan mereka. Siapa? Jelas, pemerintah. Untuk itulah, kita memerlukan pemerintahan dengan para pejabatnya yang kuat dan tak bisa dibeli. Dan tentu saja pembuat aturannya tak boleh ikut jadi pemain. Maksud saya, orang yang duduk digedung parlemen wajib tak berbisnis sama sekali.
Namun, itu semua belum cukup. Pemerintah juga mesti memiliki senjata yang ampuh, yakni UU. Apa saja? Menurut saya, setidak-tidaknya ada tiga. Pertama, UU tentang Pembatasan Transaksi Tunai. Misalnya, untuk setiap transaksi yang nilainya Rp50 juta tak boleh tunai, melainkan harus melalui sistem perbankan sehingga bisa dilacak oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Adanya UU ini jelas akan membatasi ruang gerak baik pemberi maupun penerima suap. Kedua, UU tentang Pembuktian Terbalik. Dengan adanya UU ini, mereka yang didakwa melakukan korupsi justru yang harus membuktikan bahwa harta dan kekayaan yang diperolehnya bukan dari hasil korupsi.
Jadi, bukan seperti saat ini, justru pihak kejaksaan yang harus membuktikan bahwa seseorang melakukan korupsi. Dan ketiga, UU tentang Konflik Kepentingan. Ini adalah aturan untuk melarang pembuat aturan terlibat langsung atau tidak langsung dalam bisnis.
Saya tahu, berharap pemerintah dan DPR bersedia menerbitkan tiga UU ini sama saja bak pungguk merindukan bulan. Tapi bukankah kita tak boleh lelah berharap. Sama seperti kita tak boleh lelah berharap agar Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan