Anda pernah mendengar gurauan semacam ini. Seorang kakek bepergian dengan kereta api. Ketika membeli tiket, ia bersikeras kepada petugas loket agar bisa duduk di gerbong paling depan.
Sang petugas loket dengan ramah menjelaskan bahwa gerbong depan sudah penuh. Hanya gerbong bagian belakang yang masih kosong. Tapi, sang kakek bersikukuh.
Dengan bersusah payah, petugas loket menjelaskan lagi kepada sang kakek soal gerbong depan yang sudah penuh. Sang kakek, seakan tak mau mengerti, tetap ngotot.
Merasa penasaran, akhirnya petugas loket bertanya kepada sang kakek, “Mengapa kakek begitu ingin duduk di depan?”
Anda tahu jawaban sang kakek? Begini, “Supaya saya lebih cepat sampai.” Sang petugas loket tertegun.
Ciptakan Bisnis Baru
Cerita tadi memang hanya gurauan, tetapi substansinya sulit terbantahkan. Potret kakek tadi adalah potret kita semua, yakni masyarakat yang begitu terobsesi akan kecepatan.
Dalam setiap kesempatan saya selalu menyinggung soal perubahan yang tengah berlangsung di depan mata kita. Cirinya ada tiga atau disebut 3S, yakni surprise, speed dan sudden shift.
Perubahan yang tengah kita alami dewasa ini stadiumnya sudah stadium 3, terjadi secara mengejutkan, cepat dan serba mendadak.
Kali ini saya akan menyinggung salah satunya: speed. Serba cepat adalah ciri dari masyarakat modern. Kata Aldous Huxley, filsuf dan novelis asal Inggris, “Speed provides the one genuinely modern pleasure.”
Tentu saya tak bermaksud mengabaikan kebaikan sehingga harus cepat-cepat. Tetapi teknologi dan kerapihan dalam klasifikasi telah membuat bangsa-bangsa lain lebih gesit daripada kita. Ini juga telah mengubah perangai banyak orang di sini. Akui sajalah!
Cobalah Anda pesan makan siang di suatu restoran. Kalau sang pelayan restoran bilang bahwa menu pesanan Anda baru siap sekitar satu jam lagi, Anda tentu akan angkat kaki dan cari restoran lain.
Bagaimana mungkin kita menunggu satu jam untuk makanan yang mungkin akan kita santap hanya dalam waktu 15 menit?
Di industri makanan, obsesi akan kecepatan melahirkan bisnis makanan cepat saji. Sekarang ini di mana-mana kita bisa dengan mudah menemukan restoran cepat saji.
Di bisnis transportasi, obsesi akan kecepatan melahirkan bisnis-bisnis baru, penanda status suatu negara, dan menciptakan persaingan di antara sesama moda trasportasi.
Misalnya dalam bisnis transportasi udara, obsesi akan kecepatan melahirkan pesawat Concorde. Pesawat yang dioperasikan British Airways dan Air France ini mampu terbang dengan kecepatan 2.200 kilometer per jam. Dengan kecepatan tersebut, jarak Paris–New York mampu ditempuh hanya dalam waktu 2,5 jam.
Bandingkan dengan pesawat komersial lainnya, semisal Airbus 380, yang hanya mampu terbang dengan kecepatan 1.000 kilometer per jam. Sayang, mahalnya biaya operasional membuat Concorde berhenti beroperasi sejak tahun 2003.
Di darat, obsesi akan kecepatan melahirkan bisnis Grand Prix, ajang ajang adu cepat mobil (Formula 1) dan sepeda motor (MotoGP). Nilai bisnisnya mencapai triliunan rupiah.
Masih di darat, suatu negara baru boleh menyebut dirinya negara maju kalau sudah memiliki kereta cepat. Kalau belum, lupakan saja.
Lihat daftar negara-negara yang sudah memiliki kereta cepat: China, Inggris, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Prancis, Spanyol, dan Taiwan. Semuanya negara maju, bukan. Negeri tetangga (Malaysia dan Singapore) juga sedang dalam proses.
Di mana Amerika Serikat (AS)? Negeri Paman Sam itu memang tertinggal. Tapi, mereka kini siap membangun kereta cepat Las Vegas – Los Angeles.
Proyek ini bakal dikerjakan bersama antara konsorsium perusahaan kereta China (China Railway Group, CRRC, China State Construction Engineering Corporation, dan China Railway Signal & Communication Corporation) dengan pihak swasta di AS.
Di China, hadirnya kereta cepat supercepat Jinghu High-Speed Railway yang menghubungkan Beijing-Shanghai (1.400 kilometer) menciptakan persaingan baru.
Maskapai penerbangan jalur Beijing-Shanghai merana, sebab sebagian penumpangnya beralih ke kereta cepat. Akhirnya untuk menjaring kembali para penumpangnya, maskapai-maskapai itu memberikan diskon harga tiketnya hingga 65%.
Siapa yang untung? Konsumen!
Di Luar Kendali
Begitulah obsesi akan kecepatan mengubah banyak hal. Bukan saja bisnis, tetapi juga perilaku kita. Sekarang ini kita mudah sekali jengkel kalau akses internet begitu lambat.
Kita langsung uring-uringan kalau proses loading laptop atau gadget terbaru kita begitu lama—meski sejatinya hanya puluhan detik.
Obsesi akan kecepatan membuat kita berubah menjadi orang yang ingin selalu lebih cepat tahu. Ketika terjadi bom Sarinah, kita ingin menjadi orang yang pertama tahu, dan sekaligus yang pertama menyebarkannya ke media sosial.
Maka, kita jengkel setengah mati ketika informasi yang kita upload tak segera terkirim. Kita lupa bahwa pada saat itu ribuan orang juga tengah melakukan hal serupa.
Obsesi akan kecepatan membuat kita selalu ingin tahu, sampai melupakan batas-batas negara. Kita jadi kepo.
Kita ingin menjadi yang pertama tahu saat itu juga. Maka, muncullah media-media online yang kehadirannya menumbangkan bisnis media cetak konvensional, surat kabar atau majalah.
Ingin lebih cepat adalah insting primitif setiap manusia. Inilah yang disasar para produsen. Maka, mereka menghadirkan barang dan jasa yang lebih cepat.
Ponsel, sepeda motor atau mobil, jasa ojek, jasa kurir, layanan pesan antar makanan, transportasi, media, layanan internet service provider, dan masih banyak lagi, semuanya kini menjadi lebih cepat.
Kata pebalap Mario Andretti, “If everything seems under control, you\’re not going fast enough.” Seringkali kalau sesuatu berlangsung begitu cepat dan terasa di luar kendali, kita menjadi kebingungan sendiri. Itulah harga yang harus kita bayar. Anda siap?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Memang dalam situasi dan kondisi tertentu kita perlu cepat,dan situasi,keadaan dan keperluan yang saat ini mempengaruhi sejauh mana kita perlu cepat dalam beraktivitas,berkreativitas,berpikir,dan beraktivitas
Seperti halnya peristiwa isra’ mi’raj bagi penganut agama islam itu hanya salah satu membuktikan kekuasaan Allah dan selanjutkan perjalanan dan kehidupan Rasullulah biasa seperti manusia pada umumnya
Jadi menurut teori relativitas einsten sama kecepatan relatif tergantung keadaan dan siapa yg membutuhkan