Mungkin karena puluhan tahun hidup dalam pragmatisme Orde Baru, kita jadi kesulitan untuk melihat jauh kedepan. Jarak pandang kita kebanyakan menjadi tinggal satu-dua tahun ke depan.
Keluar dari Orde Baru, bukannya lebih baik, kita cenderung menjadi lebih pragmatis lagi. Rencana jangka panjang sudah tidak ada lagi, tolok ukur kinerja apa pun dihitung tahunan. Semua orang ingin quick results. Kita malas baca berita yang panjang karena begitu banyak yang bisa menyajikan kultwit yang ringkas, atau cukup baca SMS atau pesan lewat WA yang singkat.
Malas baca buku, hasil kajian, dan segala yang berat. Pragmatisme juga membuat kita kerap kesulitan untuk melihat dan memahami konteks yang luas dan berjangka panjang. Indonesia begitu kaya dan beragam, tapi kebanyakan dilihat dalam konteks Jawa. Lalu yang miskin itu dilihat ada di luar Jawa, berapa pun masih banyaknya orang miskin yang tinggal di pulau terpadat ini.
Lebih parah lagi, meski sudah bermobil, kebanyakan juga mengakunya rakyat kecil yang layak dipandang sebagai kaum miskin yang berhak ini dan itu. Bahkan tarif tol pun dilarang naik, karena katanya konsumen bermobil yang gemar bersosmed itu masih miskin. Saya punya beberapa contohnya. Seorang profesor riset bercerita begini. Suatu ketika dia tengah melakukan riset di Papua.
Kebetulan saat itu di sana sedang digelar ujian nasional (UN). Jadi dia tergelitik untuk mencermati. Saya tahu dia tidak sedang bercerita secara persis namun menyembunyikan beberapa detail. Tapi, ilustrasinya kurang lebih sama dan tetap mengena. UN itu untuk anak-anak SD. Pertanyaannya pilihan ganda. Salah satunya, ini ilustrasi versi dia, tentang apa itu definisi lokomotif.
Lalu soal berikutnya tentang definisi gerbong. Bagi sebagian anak di Jawa mungkin itu soal lumayan mudah. Tapi, bagi anak-anak Papua yangseumur-umurbelumpernah melihat kereta, kata dia, mereka lumayan bingung. Juga kalau kepada anak-anak Papua ditanya apa itu jalan tol, mereka mungkin tak bisa menjawab. Jangankan jalan tol, jalan beraspal halus saja mungkin belum pernah mereka lewati.
Jika nilai UN anak-anak Papua rendah (sehingga mereka tidak lulus), apakah kita bisa menyebut mereka bodoh? Jelas tidak. Mungkin malah pembuat soalnya yang bodoh. Dia setidak- tidaknya kurang memahami konteks. Soal ujian itu dibuat untuk anak seluruh Indonesia, tetapi pembuatnya mereduksi hanya dengan kacamata Jawa. Bahkan mungkin dengan kacamata Jakarta. Jadi, jelas si pembuat soal gagal untuk memahami konteks.
Gagal Paham
Apa jadinya kalau kita gagal memahami konteks? Kita bisa gagal melihat, gagal fokus, dan akhirnya bisa gagal total. Kalau sudah begini akibatnya bisa sangat fatal. Lagi, saya akan pakai ilustrasi. Seorang pria paruh baya bertanya kepada seorang gadis cantik yang berada di seberang meja. “Mbak, kalau saya mau pakai semalam berapa harganya?” Sang gadis menjawab, “Lima ratus ribu rupiah.”
Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar tanya jawab semacam ini. Kalau pikiran Anda agak ngeres , konteks yang terbangun mungkin itu adalah transaksi seksual. Padahal percakapan tadi adalah antara pria paruh baya yang tengah mencari kamar hotel. Hari sudah malam. Ia sudah terlalu letih untuk melanjutkan perjalanan, sehingga memilih untuk berhenti dan beristirahat di hotel.
Beda bukan! Saya sedang suka berilustrasi. Maka, saya sajikan lagi satu ilustrasi tentang orang tua yang memahami konteks. Orang tua yang sudah paruh baya itu mempunyai seorang putri cantik. Usianya sudah layak untuk dilamar. Lalu, datanglah tiga orang pelamar. Pelamar pertama bekerja sebagai pengemudi Metromini. Pelamar kedua, petugas security (satpam).
Pelamar ketiga adalah seorang mahasiswa semester terakhir di Fakultas Ekonomi sebuah universitas negeri yang ternama. Siapa yang dia pilih? Buat yang kurang memahami konteks dan jangkauan visinya hanya setahun atau dua tahun ke depan, mungkinkalautidakpilih pengemudi Metromini ya sang satpam.
Sebab keduanya sudah memiliki penghasilan. Sedang si mahasiswa belum punya penghasilan apa-apa. Isi dompetnya cekak. Malam mingguan saja minta dibayarin ibu bapaknya. Tapi, kalau Anda orang tua yang bijak, memahami konteks dan punya jangkauan pandang yang jauh ke depan, pilih mana? Mudah bukan.
Masa Lalu, Kini dan Mendatang
Bicara soal memahami konteks, saya merasa, negara kita sedang menghadapi masalah yang serius. Akibatnya banyak sekali urusan masa kini yang dilihat dengan konteks masa lalu. Juga, banyak urusan masa depan yang dilihat dengan kacamata masa kini. Akibatnya banyak hal yang tidak nyambung.
Anda tentu masih ingat dengan fenomena maraknya GoJek, GrabBike atau Uber Taxi diJakartasepanjangtahun2015. Banyak kontroversinya. Bahkan kemudian sempat dilarang. GoJekdianggapbukanangkutan umum. Lalu, Uber Taxi tidak bisa disebut perusahaan taksi. Gagasan larangan itu berangkat dari UU Nomor 2 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Di sini yang ingin saya tekankan adalah UU itu disahkan tahun 2009, tetapi dibuat beberapa tahun sebelumnya. Mungkin tujuh atau delapan tahun silam. Padahal, isu GoJek, GrabBike atau ojek online lainnya, dan Uber Taxi, muncul enam tahun sesudahnya. Enam tahun jelas bukan waktu yang singkat.
Apalagi di dunia kita yang begitu cepat berubah. Maka, upaya para pejabat untuk melarang dengan memakai regulasi buatan enam tahun jelas tidak nyambung . Dia gagal memahami konteks lahirnya ojek atau taksi online . Dia memakai konteks masa lalu untuk melihat masa kini. Hasilnya, gagal total.
Buktinya ojek dan taksi online tersebut hingga kini masih tetap beroperasi. Mengapa? Sederhana saja, masyarakat membutuhkannya. Ada pasarnya. Apa jadinya kalau ketika itu pemerintah terus memaksa? Masyarakat bakal mengutuk habis-habisan. Untung presiden kita, Joko Widodo, bisa dengan cepat memahami konteks lahirnya ojek dan taksi online. Ia paham kebutuhan masyarakatnya.
UU-lah yang harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan segala kebutuhannya, bukan sebaliknya. Coba kalau ketika itu kita bersikeras menerapkan UU tentang LLAJ. Ojek dan taksi online dilarang. Dunia kita tentu berhenti berputar. Kini, kita juga tengah menyaksikan fenomena seperti ini untuk urusan kereta cepat Jakarta-Bandung yang melibatkan banyak kaum intelektual.
Kita melihat dengan konteks masa kini untuk peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Ingat, kereta cepat itu baru bakal beroperasi secepat- cepatnya pada tahun 2018 atau 2019. Bukan 2016! Tapi, kita memakai konteks 2016. Misalnya, harga tiket Rp200.000 yang dianggap kemahalan.
Sekarang mungkin harga tiketnya relatif terasa mahal, tapi dua tahun kemudian? Kalau memakai hitunghitungan sekarang, mungkin perkiraan jumlah penumpangnya dianggap terlalu optimistis. Tapi, dua-tiga tahun kemudian segalanya bisa dengan cepat berubah. Bandara kita yang besar-besar sedang dibangun dan akan menjadi kenyataan, kereta dalam kota baik di dalam Jakarta Raya maupun Bandung raya juga akan menjadi sebuah kesatuan baru.
Turis asing yang kita bidik pasti tak sekecil ini lagi. Bagi Anda yang sering menggunakan jalan tol Jakarta- Cikampek, dan berlanjut ke tol Cipularang untuk menuju ke Bandung atau tol Cipali ke arah Cirebon, tentu merasakan betul kian menjadi-jadinya kemacetan di sepanjang ruas jalan tol Jakarta-Cikampek.
Apalagi kalau long weekend . Kapan itu mulainya? Sekitar setahun lalu, sejak tol Cipali resmi beroperasi. Masih ada lagi konteks lainnya yang kelihatan dikaburkan sejumlah orang atau karena saking semangatnya mengomentari, banyak di antara kita tak sempat baca bahan yang utuh yang valid, sehingga kita marahmarah tak karuan.
Bahkan sebagian orang mengklaim telah melakukan survei, tetapi ditambahkan “survei kecil-kecilan”, yang amat pragmatis dan amat mungkin hasilnya tidak valid. Kita juga dipenggalkan konteks terhadap sebuah informasi. Seperti tentang biaya kereta cepat yang akan dibangun di Iran yang dikatakan jauh lebih murah.
Kalau Anda baca lebih detail, maka Anda akan tahu biaya itu belum termasuk biaya konstruksinya. Jadi hanya upper structure– nya saja. Dikatakan juga proyek ini ada masalah dalam pembebasan tanah, padahal dibuat di atas jalan tol yang minim pembebasan tanah. Ada lagi yang menuding ini melawan Nawacita. Padahal tugas BUMN jelas-jelas dinyatakan undang-undang untuk mengejar keuntungan.
Untuk apa untungnya? Ya jelaslah untuk menjalankan Nawacita itu sendiri. Kalau tidak, apa mau kita diminta bayar pajak yang lebih besar? Mengapa semua info penting itu dipenggal atau terpenggal? Jawabnya mungkin Anda sudah tahu: agar kita terus berkelahi dan tak maju-maju. Hidup dalam ketakutan, dan makin pragmatis. Itulah dunia kita yang begitu cepat berubah. Maka, jangan sampai kita gagal memahami konteks, sehingga gagal melihat, gagal fokus dan akhirnya gagal total.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan