\”Welcome to the Age of Urbanization\”. Kalimat itu kini banyak kita temui dalam berbagai pemberitaan dan kajian-kajian ekonomi terbaru.
\”By 2025, nearly 2,5 billion people will live in cities in Asia,\” tulis Dobbs, Manyika dan Woetzel (2015). Ketiga penulis tersebut adalah peneliti senior McKinsey.
Sekarang saja kemacetan di berbagai kota Asia sudah amat kita rasakan. Ya di sini, di Jakarta, ya di Manila. Peluang inilah yang diintip para penguasa dan pengusaha.
Siap-siaplah menyambut kegaduhan, antara yang berpikir cara baru dan cara lama. Antara yang melihatnya sebagai musibah dengan yang melihat opportunity.
Jangan lupa, populasi urban Indonesia yang tahun 2005 baru 43 persen (dengan size of economy 0,7 triliun dollar AS) kini telah mencapai 50 persen (1 triliun dollar AS), dan diproyeksikan akan menjadi 68 persen (2 triliun dollar AS) pada tahun 2025.
Kalau bukan kita, sudah pasti pasar ini akan direbut asing. Lihat saja, betapa SPBU Pertamina dikepung asing di kota-kota besar dan Indihome (Telkom) terengah-engah menghadapi Balon Google dan IOT asing.
Urbanisasi, kata tokoh reformasi ekonomi Tiongkok, Lie Keqiang adalah, \”Bukanlah semata-mata penambahan penduduk urban. Ia adalah sebuah perubahan besar ke cara hidup kota, baik dalam partisipasi politik, struktur ekonomi, lapangan kerja, lingkungan hidup, rekreasi, menikmati fasilitas publik, kesejahteraan dan jaminan sosial.\”
Sebagian politisi percaya, bahwa urbanisasi dapat mematikan ekonomi perdesaan. Juga, banyak walikota dan gubernur yang tidak welcome terhadap buruh migran.
Anda mungkin masih ingat, razia KTP, operasi Justisia dan sejenisnya yang dulu ramai dilakukan aparat dinas kependudukan untuk mencegah kedatangan penduduk desa ke ibukota.
Berpikir Terbalik
Di dunia ini, kita memang tengah disuguhi cara-cara baru yang memutar balik cara berpikir kita. Sekolah-sekolah yang mengajarkan teori-teori dahulu di bagian depan perkuliahan, baru praktik pun sudah dibalik.
Dulu kita biasa mengenal birokrasi yang \”Kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat.\” Kini para walikota berebut prestasi adu cepat melayani.
Baiklah, saya ajak Anda kembali melihat bagaimana Tiongkok memutarbalikkan pikiran kita dalam menghadapi urbanisasi.
Majalah Businessweek (17/03/2014) belum lama ini menurunkan berita “China Wants its People in the Cities.\” Kemudian harian New York Times (17/03/2014) melaporkan paket kebijakan ekonomi baru Tiongkok yang memindahkan jutaan petani ke kota-kota besar.
Saya pikir, kalau itu dilakukan di Indonesia sudah pasti gaduh. Tetapi mengapa cara Tiongkok ini malah diikuti India dan bangsa-bangsa Asia lainnya.
Di situ saya jadi teringat dengan gagasan filsuf besar Plato tentang polis (semacam kota) yang dihuni 5.000 jiwa. Untuk ukuran saat itu sudah cukup besar dan mampu memicu partisipasi publik dan efisiensi.
Lalu sejak itu bangsa-bangsa besar memacu lahirnya kota-kota baru. Thebes (Mesir, 1050 SM) 50.000 jiwa. Babilon (Irak, 500 SM) 150.000 jiwa. Athena (Yunani, 423 SM) 300.000 jiwa.
Kemudian Pataliputra (India 300 SM) 400.000 jiwa. Roma (98-117 SM) 1,6 juta jiwa. London (Inggris, 1900) 6,5 juta jiwa. Kemudian New York (1940), 7,45 juta jiwa.
Roma bahkan membuktikan kemampuannya mengalirkan air bersih berpuluh-puluh kilometer.
Transformasi Ekonomi
Mengapa Tiongkok memindahkan penduduknya ke kota?
Saya mulai mengerti saat mendengar paparan para ahli tentang ambisi Tiongkok dalam diplomasi kereta cepat. Apalagi gagasan itu menimbulkan banyak gesekan di sini.
Setelah di sini, satu-dua tahun ke depan Tiongkok diduga membangun KA Cepat Singapura-Malaysia.
Pertarungan itu jelas membuat Jepang terusik, karena amat mengganggu proyeksi pendapatan dari ekspor otomotifnya.
Ekonom Tiongkok begitu yakin bahwa mereka akan memenangkan contest di Asia Tenggara.
Kita semua tahu bahwa Tiongkok baru 12 tahun masuk dalam industri kereta cepat ini. Tetapi dalam tempo yang singkat itu, mereka sudah membangun jaringan sejauh 17.000 KM.
Apesnya Tiongkok cuma satu: kita sudah biasa melihat sepeda motor China yang kualitasnya jauh di bawah Jepang. Lagi pula kita biasa melihat kecelakaan kereta api dalam sepuluh tahun belakangan ini.
Ini persis seperti diplomasi otomotif dan tekstil dari Jepang tahun 1970-an yang memicu sentimen negatif di Jakarta (Malari 1974). Kita saat itu tahunya Jepang hanya mampu membuat sandal jepit dan bemo yang ringkih.
Jepang saat itu sungguh menjengkelkan. Apalagi ditengarai adanya kolusi dengan regulator dan petinggi militer. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Jepang berhasil memperbaiki kualitas produk dan perilakunya.
Metode manajemen Jepang yang didukung disiplin, kontrol yang ketat, budaya korporat, dan sistem yang baku (dan ramping) menarik perhatian dunia. Otomotif, alat berat, mesin dan alat-alat hiburannya kita terima dengan baik di sini.
Besar kemungkinan Tiongkok kini mengkopi semua itu dengan cepat. Buktinya, investasi global pun hijrah ke negara itu.
Bahkan sejak dipimpin Ignasius Jonan, ribuan pegawai PT Kereta Api Indonesia disekolahkan di perusahaan-perusahaan Kereta Api Tiongkok.
Maka, saya agak bingung membaca berita-berita yang menuntut agar kita memilih Jepang.
Selain meminta jaminan finansial dari negara dan harganya lebih mahal, kita ketahui Jepang ingin menunda pembangunan kereta cepat di sini sampai industri otomotifnya saturated (jenuh).
Itu sebabnya, para pengamat yang terbiasa bekerjasama dengan Jepang selalu mengatakan proyek KA Cepat China ini terlalu terburu-buru.
Mereka Bersahabat dengan Urbanisasi?
Tetapi baiklah kita kembali ke pertanyaan semula, mengapa Tiongkok memilih untuk bersahabat dengan urbanisasi?
Pertama, urbanisasi harus dipandang sebagai sebuah kesempatan besar untuk mengangkat derajat kaum miskin yang selama ini menjadi penonton.
Produk yang dinikmati orang kota mereka bayar dengan harga tinggi, kesejahteraan sulit ditingkatkan. Pangan, obat, elektronik, kamera, semen dan energy menjadi mahal dan langka.
Ketiga, dengan memindahkan petani ke kota, Tiongkok berhasil membangun pertanian skala besar di desa-desa yang dilengkapi dengan proses redistribusi lahan pertanian.
Keempat, semua orang di abad ini membutuhkan cyber place, not just a place. A smart city, not just a city. Mereka semua berhak mendapatkan akses internet untuk memperbaiki kualitas pendidikan anak-anak mereka.
Semuanya berhak mendapatkan air bersih yang berkualitas, sanitasi, transportasi publik, pendidikan, penerangan, jalan, kesehatan dan keamanan yang layak. Kota-kota baru seperti itu selama ini hanya dapat dinikmati kalangan menengah ke atas di perkotaan.
Begitulah Tiongkok dengan ambisi kereta cepatnya yang diikuti dengan program memindahkan penduduk ke kota. Tentu tak semuanya bisa kita perlakukan di sini, mengingat keanekaragaman budaya dan adat istiadat.
Tetapi untuk menghubungkan antar-kota, amat mungkin program transformasi ini menyentuh kita.
Saya membaca rencana ekonomi baru Tiongkok yang menyebutkan setiap kota dengan 200.000 penduduk dihubungkan dengan kereta biasa dan jalan raya. Sedangkankereta cepat menghubungkan kota-kota yang penduduknya di atas 500.000 jiwa.
Tiongkok tampaknya serius menggarap pasar ini. Sebuah prediksi menemukan, sampai tahun 2025, ada 2,5 miliar jiwa penduduk bertempat tinggal di kota-kota besar Asia.
Kalau sudah begini, siap-siap kita menerima konsekuensinya di sini. Jepang yang tersudut jika bisnis otomotifnya terlalu cepat menua, akan memukul balik melalui jurus geopolitik yang bisa merepotkan kita.
Pertarungan kedua bangsa besar Asia itu akan menjadi semakin rumit kala India akan memasuki bisnis yang sama 10 tahun mendatang.
Namun dalam konteks pembangunan jalur kereta cepat, Indonesia bisa mendapat peluang sebagai negeri pembuat kereta yang efisien sebagai partner mereka, mengingat dua hal.
Kedua, demand kereta api di Indonesia amat besar dengan dibangunnya jalur-jalur kereta api baru, baik di DKI Jakarta, Bandung Raya, Surabaya (trem dan LRT), Palembang, Medan, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya.
Saya memilih untuk mencari jalan, menemukan peluang untuk memperbaiki kesejahteraan bangsa, ketimbang berkelahi dan buru-buru mengatakan tidak.
Urbanisasi tak bisa kita lawan, tapi bisa kita pakai sebagai alat bagi modernisasi ekonomi.
Kuncinya: berbagi kue dan bekerjasama, bukan berkelahi. Tapi mendiamkan urbanisasi bukanlah kebijaksanaan yang cerdas.