Bandar – JawaPos

Indonesia adalah surganya para bandar. Maaf, bandar yang saya maksud bukan merujuk pada nama kota, seperti Bandar Lampung.  Bukan Bandar Sri Aman, sebuah kota di Serawak, atau Bandar Seri Begawan yang menjadi ibukota Brunei Darussalam.

Juga, bukan merujuk pada nama restoran yang terkenal dengan ikan bakarnya, Bandar Djakarta. Atau, bandar yang merujuk pada kata fasilitas publik, seperti bandar udara. Ini bandar yang lain.

Bandar yang saya maksud adalah orang yang suka mengatur. Ia pengelola, tetapi juga sekaligus yang menetapkan aturan main. Ia ada di mana-mana, dalam bisnis apa pun.

Mulai dari bisnis kecil-kecilan sampai yang besar. Mulai dari yang legal sampai ilegal, dari bisnis yang jelas sampai yang abu-abu.

Cobalah lihat “pak ogah” yang mengatur lalu lintas di putaran-putaran jalan. Secara periodik, setiap beberapa jam, orang-orang yang berjaga di putaran-putaran tersebut akan berganti. Siapa yang mengatur?

Begitu juga parkir-parkir liar yang lokasinya ada ribuan di Jakarta. Siapa yang mengatur petugas  parkir di sana? Lalu, “pasar-pasar kaget” yang tersebar di sana-sini.

Siapa yang mengatur para pedagang yang berjualan di sana? Anda bisa kasih seribu contoh lainnya, mulai dari pengemis, topeng monyet, judi sepakbola, prostitusi sampai narkoba.

Kita mungkin lebih suka menyebutnya dengan istilah preman. Padahal, kalau melihat perannya—sebagai pengatur dan pembuat aturan main—mereka layak disebut bandar.

Jadi Pelumas

Tapi, jangan salah. Tak semua peran yang diambil para bandar adalah bisnis haram dan berakibat buruk.

Bayangkan kalau di putaran jalan, parkir liar atau pasar-pasar kaget tak ada yang mengatur, bisa jadi setiap hari kita menyaksikan tawuran di mana-mana akibat berebut rejeki.

Masih banyak urusan di negeri kita yang belum bisa sepenuhnya diatur oleh negara. Dan, itulah yang kini menjadi urusan para bandar.

Para bandar tadi tidak berdiri sendiri. Di atasnya ada lagi bos para bandar. Jadi rejekinya juga mengalir sampai ke atas.

Di bisnis skala besar dan legal, para bandar juga berperan. Ia menjadi semacam pelumas. Kalau ada sesuatu yang seret, sebagai pelumas, bandar bisa membuat bisnis-bisnis tadi menjadi bergulir.

Contohnya banyak. Misalnya, perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia tak lepas dari peran bandar—sebutan yang biasa dipakai untuk para broker besar. Di pasar saham ini para investor ritel atau individual selalu mengikuti langkah para bandar tadi. Kalau para bandar memburu saham PT A, investor ritel akan ikut.

Untuk mengatrol harga saham PT A, sehingga menjadi lebih likuid, para bandar kerap memainkan sejumlah isu. Persisnya, fabrikasi isu.

Mereka merancang sejumlah berita dan menebarkannya ke berbagai pihak, termasuk kalangan media, untuk membuat membuat harga saham PT A naik. Lalu, para bandar akan memburu saham PT A, dan investor ritel pun ikut.

Tapi, terlalu sering ikut-ikutan juga ada bahayanya. Sebab ketika naiknya harga sudah dianggap cukup, para bandar segera melepas saham yang diburunya tadi. Lalu, harga saham PT A tadi bergerak turun. Celakanya, sebagai pengikut, langkah investor ritel kerap ketinggalan. Mereka telat melepas saham PT A. Akibatnya bukannya untung, mereka malah buntung.

Bisnis properti pun tak lepas dari peran bandar. Ketika suatu pengembang menjual produk baru, katakanlah apartemen, para bandar ikut bermain.

Mereka seakan-akan agresif memburu unit-unit apartemen yang ditawarkan, sehingga membuat pasar memanas. Lalu, para pembeli yang panik karena takut “ketinggalan kereta” pun jadi ikut-ikutan membeli. Unit-unit apartemen itu pun jadi laris manis.

Begitulah peran bandar yang membuat pasar jadi hidup. Kesannya jadi spekulatif, tapi bisnis memang nature-nya begitu. Ada saja unsur spekulasinya. Kata orang, di dunia ini mana ada yang serba pasti.

Broker saham atau broker properti adalah bandar yang bermain dalam bisnis legal. Tapi, ada juga bandar yang bermain dalam bisnis ilegal. Contohnya bandar judi.

Dalam bisnis judi, bandar selalu menjadi pemenangnya. Para penjudi, dan kita semua, tahu betul soal ini. “Gambling is the sure way of getting nothing for something,” kata Wilson Mizner, seorang dramawan dan pengusaha kelahiran California, AS.

Meski sudah tahu kenyataannya seperti itu, ini celakanya, tetap saja para penjudi masuk perangkap. Rupanya judi itu ibarat narkoba. Sekali melakukan, kita bisa ketagihan.

Buang ke Laut

Kisah keterlibatan para bandar ini ibarat bau yang menyebar di udara. Kita bisa menciumnya, tetapi sulit membuktikannya. Mungkin kita hanya bisa melihat tingkah polah mereka dalam film-film buatan Hollywood. Contohnya, film Casino (1995) yang dibintangi oleh aktor Robert de Niro.

Perlukah para bandar tadi kita berangus? Jangan. Setidak-tidaknya jangan semua. Kita perlu bandar di bursa efek atau pasar properti.

Mungkin kita juga masih perlu bandar-bandar yang mengatur lalu lintas di putaran-putaran jalan atau parkir-parkir liar. Sebab jumlah aparat kepolisian kita, atau petugas dinas perhubungan, masih sangat terbatas.

Tapi, jelas kita tidak perlu bandar narkoba. Apalagi bandar narkoba yang berani memprovokasi warga untuk mengeroyok polisi dan membuat dua di antaranya tewas. Kalau bandar yang satu itu, saya setuju, buang saja ke laut. Sikat habis!

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *