Dalam banyak hal bangsa-bangsa kerap berseteru dengan tetangga dekatnya. Korea Utara (Korut) dengan Korea Selatan (Korsel), Vietkong dengan Vietsel (dulu) dan Kamboja, India dengan Pakistan, Arab dengan sesama Arab dan Israel, Yunani dengan Siprus, Prancis dengan Inggris (dulu), dan seterusnya.
Kita pun kerap “berbenci-bencian” dengan Malaysia. Kita bersengketa dengan Malaysia dalam beberapa hal: wilayah perbatasan, produk budaya, asap, tenaga kerja sampai sepak bola. Ya, mulai dari Sipadan- Ligitan, Sebatik sampai Ambalat. Lalu beberapa produk budaya kita seperti batik, reog, lagu rasa sayange, kuda lumping, tari piring, bahkan rendang, wayang kulit, angklung, gamelan, dan keris pernah jadi bahan ejek-ejekan antarbangsa.
Hubungan kita dengan Malaysia juga kerap memanas kalau sudah menyangkut urusan TKI. Sebagian TKI kita yang bekerja di Malaysia memang pernah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Dalam ajang olahraga, kalau tim sepak bola kita bertanding dengan Malaysia, hampir pasti suasananya bakal memanas, sudah sama panasnya ketika Persija bertemu Persib.
Hal serupa juga terjadi ketika tim bulu tangkis kita melawan Malaysia. Persaingan terbaru kita dengan Malaysia adalah dalam soal ojek online, yakni GoJek vs Grab Bike. Anda tahu, GoJek dimiliki dan dikelola oleh anak muda Indonesia, Nadiem Makarim. Sementara Grab Bike dimodali oleh investor asal Malaysia. Mungkin lantaran kerap berseteru dengan kita, bisnis SPBU milik Malaysia, Petronas, gulung tikar. Mungkinkah karena masyarakat kita yang “menghukum” SPBU Petronas melalui aksi tidak membeli BBM di SPBU tersebut?
Indonesia vs Malaysia
Begitulah sebagian cerita hubungan kita dengan negara tetangga. Tapi sebetulnya kita tak selamanya ribut melulu dengan Malaysia. Banyak artis yang menikahi warga Malaysia meski ada juga yang menjadi prahara. Bahkan banyak pribadi yang mempunyai sahabat dan pegawai orang Malaysia yang baik hati. Kita bisa juga berjuang bahu-membahu dengan Malaysia.
Apalagi kalau urusannya sudah menyangkut minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) komoditas andalan ekspor kita dan Malaysia. Itulah yang kita lakukan belakangan ini. Bersama-sama dengan Malaysia, kita berjuang untuk mengendalikan harga komoditas minyak sawit mentah di pasar dunia agar bergerak naik lagi.
Selama hampir setahun terakhir, seiring dengan jatuhnya harga BBM dan lesunya perekonomian dunia, harga-harga sejumlahkomoditasmemangterpukul. CPO, misalnya, kini harganya berkisar USD550-an per ton. Padahal, sebelumnya masih bisa di atas USD800 per ton. Bersama-sama dengan Malaysia, kita menguasai 85% pasar ekspor CPO dunia.
Bicara soal produksi CPO, sejak lama kita bersaing dengan mereka. Sebelumnya volume produksi CPO kita selalu kalah dengan Malaysia. Mereka nomor satu, kita nomor dua. Namun sejak tahun 2006 kita berhasil menggeser posisi Malaysia. Kita nomor satu, mereka nomor dua. Penyebabnya simpel. Biar bagaimana lahan kebun sawit kita jauh lebih luas ketimbang Malaysia.
Jadi tak mengherankan kalau volume produksi CPO kita pada akhirnya berhasil mengalahkan Malaysia. Sayangnya meski bersama-sama dengan Malaysia kita menjadi eksportir CPO, soal harga lain perkara. Harga CPO dunia masih ditentukan oleh pihak pembeli, yakni China, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Bahkan bursa komoditas CPO saat ini masih berada di Rotterdam, Belanda. Bukan di Indonesia atau Malaysia.
Padahal Belanda sama sekali tidak punya perkebunan sawit. Selain itu, kita juga sudah memiliki Bursa Berjangka Komoditas sejak tahun 2000. Lalu, apa yang mesti kita lakukan bersama-sama dengan Malaysia untuk kembali mengangkat harga CPO di pasar dunia? Jelas kita harus bisa bermain seperti OPEC. Jika OPEC untuk minyak, kali ini untuk komoditas minyak sawit.
Bagi Indonesia, yang pernah menjadi negara anggota OPEC, tentu paham bagaimana cara memainkan volume produksi dan ekspor untuk menjaga harga CPO dunia agar tidak terus turun. Apalagi beberapa petinggi Indonesia pernah menjadi sekjen OPEC. Mereka antara lain Prof Dr Soebroto, Dr Purnomo Yusgiantoro, Iin Arifin Takhyan, dan Maizar Rahman. Para pelaku dibisnis minyak sawit bisa belajar dari mereka.
Adapun Malaysia mungkin sementara akan ikut dengan strategi kita. Sebab negeri jiran itu bukan anggota OPEC. Jadi mungkin kurang berpengalaman berdiplomasi dalam pasar minyak dunia. Salah satu strategi menurunkan pasokan CPO ke pasar dunia adalah mengonversi sebagian produk untuk bahan bakar nabati (biofuel).
Jadi kita ubah kebun-kebun sawit kita menjadi kebun energi. Dengan cara seperti itu, kita bisa menjadi “Arab Saudi” untuk biofuel. Menurut saya, ini penting bukan hanya untuk mengangkat kembali harga CPO di pasar dunia, tetapi juga karena cadangan sumber daya energi kita yang berbasis mineral dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) seperti minyak, gas atau batu bara terus berkurang jumlahnya.
Jadi kita harus meningkatkan cadangan sumber daya energi yang dapat diperbaharui (renewable resources). Selama ini penggunaan biofuel di negara kita masih terlalu sedikit. Pertamina, misalnya, porsinya masih 7% dari total BBM yang mereka hasilkan. Volume ini, saya kira, perlu dinaikkan. Secara nasional mungkin komposisi biofuel perlu dinaikkan sampai 20%. Sebagai imbangannya, kita tentu juga bisa meminta Malaysia meningkatkan alokasi CPO-nya untuk produksi biofuel -nya. Mungkin volumenya bisa sama dengan kita.
Peran Pemerintah
Strategi semacam itu, saya yakin, bisa kita terapkan untuk beberapa komoditas lainnya yang harganya tengah tertekan. Misalnya, karet, timah, dan beberapa mineral lainnya. Di komoditas karet, kita menjadi produsen kedua terbesar di dunia. Sementara nomor satu Thailand. Untuk komoditas timah, kita adalah produsen terbesar di dunia.
Posisi nomor dua ditempati Malaysia. Hanya untuk dua komoditas ini, mungkin kita perlu menerapkan strategi yang berbeda. Selama ini untuk karet, kita kebanyakan mengekspor dalam bentuk mentah (crumb rubber). Maka kita mesti mendorong tumbuhnya industri-industri pengolahan karet (hilirisasi).
Jadi kelak yang kita ekspor adalah ban untuk kendaraan bermotor, sarung tangan karet, atau berbagai peralatan rumah sakit dan alat-alat rumah tangga lainnya. Bukan lagi karet alam. Kalau untuk timah, kita punya PT Timah Tbk. Mereka sudah mencanangkan strategi untukmengurangiproduksiguna mengurangi pasokan. Hanya masalah terbesar di komoditas timah adalah banyaknya pertambangan liar.
Jika kita tidak bisa mengendalikan, mereka bisa mengacaukan rencana produksi. Alhasil, upaya PT Timah Tbk mengendalikan pasokan bisa gagal. Saya kira, di sini pemerintah mesti mengambil peran. Negara mesti hadir. Tapi tak semua komoditas kita terpuruk harganya. Contohnya kakao. Saat ini kita produsen kakao ketiga terbesar di dunia. Peringkat pertama Pantai Gading, kedua Ghana.
Sepanjang tahun 2016 pasokan kakao dunia diperkirakan bakal berkurang. Dampak El Nino bakal memicu terjadinya kekeringan, terutama di negaranegara Afrika Barat yang menyumbang 70% pasokan kakao dunia. Faktor lain adalah dampak wabah virus ebola yang mematikan. Meski Pantai Gading dan Ghana tak terkena wabah tersebut, kekhawatiran masyarakat dunia tetap ada.
Serangkaian sebab tadi bakal membuat pasokan kakao dunia menurun. Indonesia, sebagai produsen kakao ketiga terbesar di dunia, mesti memanfaatkan momentum ini. Jangan hanya terlena menikmati naiknya harga, tapi gunakan juga momentum itu untuk mendorong tumbuhnya industri hilir kakao.
Begitulah potret komoditas kita. Oleh karena masalahnya berbeda-beda, cara penanganannya tentu tak boleh sama. Di sini kepiawaian pemerintah kita untuk menjadi “dirigen” guna mengorkestrasi bisnis komoditas di pasar dunia sungguh-sungguh diuji. Mampukah pemerintah kita berubah dari hanya “mesin birokrasi” menjadi “pemain pasar”? Saya harap kali ini pemerintah kita bisa lulus ujian. Bukankah kita dipimpin oleh duet yang keduanya berlatar belakang pebisnis?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan