Selamat datang tahun baru 2016. Dan, selamat datang pula di era baru. Era itu ditandai dengan hadirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan munculnya kaum muda sebagai wirausaha berbasiskan digital yang meremajakan business model.
Tak pernah terjadi sebelumnya harga minyak mentah dunia mengalami penurunan yang luar biasa cepat sehingga memorakporandakan impian para pekerja tambang.
Juga tak terjadi sebelumnya \”ikan-ikan teri\” (usaha kecil) berbasiskan online membuat konsumen retailer besar beralih. Peristiwa downshifting menjadi gejala yang wajar sejak tahun lalu.
Yang tak kalah menariknya adalah fenomena \”balik arah\” yang terjadi pasca lebaran lalu. Tentu tak pernah pula terjadi sebelumnya, oknum partai politik pendukung membuat sulit presidennya sediri. Atau oknum MKD yang mengadili pelapor lalu berbalik arah.
Tapi sudahlah, ini bukan soal politik yang ada “udang di balik batunya”, melainkan fenomena pasar.
Di Pegadaian sebelumnya tak misalnya, konsumen yang biasa menggadaikan barang menjelang hari raya kini justru menebusnya untuk dipakai pada hari istimewa itu.
Demikian pula penumpang yang ramai di bandara saat hari raya Natal, bukannya mereka yang beragama nasrani yang berlibur melainkan rombongan umroh.
Lantas bagaimana MEA?
Kalau tahun lalu kita lelah berdebat soal betapa kurang siapnya kita menyambut MEA, kini akhirnya kita sampai juga pada era tersebut. Semua debat tersebut kini menjadi tidak relevan lagi, karena kita sudah berada di dalamnya. Jadi, hadapi sajalah.
Saya kira kita sepakat bahwa kita bukan bangsa kita yang takut dan cemas menghadapi era tersebut. Kita cuma ditakut-takuti mereka yang tak pernah menjadi petarung di lapangan.
Vietnam yang kita katakan lebih siap ternyata cemas juga. Sebab, PT. Semen Indonesia Tbk, sudah mengakuisisi Than Long Cement. Lalu, di Myanmar, Brunei Darussalam dan Timor Leste, juga sudah ada PT. Wijaya Karya.
Di Malaysia juga sudah ada Grup Sinar Mas yang masuk ke bisnis properti. Lalu, Pertamina siap-siap masuk ke bisnis eksplorasi migas. Masih ada lagi PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang juga berancang-ancang membuka perwakilan di sana.
Belum lagi para pengusaha sektor pertanian, manajer hotel, ahli tambang, desainer dan tenaga kerja kita.
adi, jangan biarkan masa depan kita didikte oleh orang-orang yang sebentar-sebentar cemas. Karena itu bukan solusi.
Saya malah melihat inilah tahun dimana kita harus mulai menjejakkan kaki kita dalam berinovasi.
Empat Sifat
Kata Abraham Lincoln, “The best way to predict your future is to create it.” Bagaimana caranya menciptakan masa depan? Belajarlah dari BRI yang pada 16 Desember 2015 lalu genap berusia 120 tahun, namun masih tampak bak anak muda yang bugar. Apa kuncinya?
Menurut Arie de Geus dalam bukunya The Living Company, perusahaan akan mampu bertahan jika memiliki empat sifat khas. Pertama, peka terhadap dunia sekeliling.
Perusahaan-perusahaan yang panjang umur adalah perusahaan yang mau belajar, dan beradaptasi dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Kedua, sadar akan identitasnya. Perusahaan bisa menjadi sangat kohesif dan memiliki rasa identitas yang kuat berkat kemampuan membangun bersama-sama dengan masyarakat.
Ketiga, toleran terhadap ide-ide baru. Sifat seperti ini akan membuat inovasi mengalir deras dalam perusahaan. Lalu, seperti halnya manusia, perusahaan juga mesti memiliki sifat sabar: memberikan kesempatan pada anak-anak usaha atau cabang-cabangnya untuk mengembangkan layanan sesuai dengan kebutuhan stakeholder-nya.
Keempat, tentu saja perusahaan perlu mengelola keuangannya secara konservatif. Jangan besar pasak daripada tiang.
BRI memiliki empat sifat tersebut. Misalnya, memahami bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, BRI kemudian mengembangkan Teras Kapal. Jadi, kantor bank BRI ada di sejumlah kapal.
Kelak, melalui kapal-kapal itulah BRI akan melayani nasabahnya yang tersebar di seluruh pulau—terutama pulau-pulau terpencil. Nasabah tersebut tidak hanya bisa menabung, tetapi juga bisa mengajukan permohonan kredit untuk usaha.
Konsep ini merupakan salah satu inovasi khas BRI yang mereka kembangkan melalui dialog dengan stakeholder-nya, yakni para nelayan. Jadi, siapa bilang ide inovasi harus selalu datang dari internal perusahaan. Ide bisa datang dari mana saja.
Loncatan Inovasi
Tapi, menurut catatan saya, salah satu loncatan penting dalam inovasi BRI adalah keberaniannya dalam membeli satelit yang dinamai BRISat dan dibentuknya Innovation center. Ini adalah investasi yang berani karena, Anda tahu, dibutuhkan Rp 2,5 triliun.
BRI menjadi bank pertama di dunia yang memiliki satelit yang akan mengoperasikan sendiri.
Apakah upaya BRI ini tak menuai kontroversi? Sama saja dengan gagasan kereta cepat konsorsium BUMN yang \”diomeli\” politisi, BRI pun pernah diomeli.
Barangkali kalau para politisi itu terjebak dalam kemacetan selama 11 jam di jalan tol Jakarta-Bandung kemarin, barulah mereka bilang \”kita memang sudah butuh kereta cepat.\”
Demikian pula ketika satelit BRISat diumumkan, banyak yang mempersoalkan. Namun begitu tahu bahwa biaya telekomunikasi BRI setiap tahunnya saja sudah Rp 500 miliar dan posisi orbitnya tengah diperebutkan dunia untuk mengganti satelit kita yang sudah berakhir, mereka pun manggut-manggut.
Berbekal BRISat, BRI akan lebih agile melayani nasabah-nasabahnya yang berada di pulau-pulau terpencil. Maklum, jangkauan telekomunikasi dari para operator nasional amat terbatas. Sulit sekali menembus daerah-daerah yang terpencil.
Sementara, dengan BRISat—yang bakal beroperasi pada Oktober 2016, BRI akan memiliki akses telekomunikasi hingga ke daerah-daerah yang terpencil.
Selain BRIsat, ia juga berinovasi dengan layanan kapal. Jadi, ke manapun kapal-kapal BRI berlayar, akses telekomunikasinya tak bakal terputus.
Nah innovation center-nya, akan menampung berbagai gagasan kreatif dari stakeholders-nya untuk menciptakan aneka produk baru, sistem, proses dan tentu saja pendekatan-pendekatan baru.
Bukankah semua ini persis seperti ungkapan Lincoln tadi, yakni the best way to predict your future is to create it. Bukan dengan menunggunya. Dengan keberaniannya membeli satelit, BRI menciptakan masa depannya sendiri. Jadi, mengapa harus takut dengan MEA?
Namanya juga perubahan, akan selalu ditemui siapa pemenang dan siapa pecundangnya.
Semoga kisah ini menginspirasi Anda dalam menyambut tahun yang baru dan era MEA. Jangan takut, hadapi saja dengan inovasi!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan