Sampah – Koran Sindo

Mungkin hanya di Indonesia masalah sampah bisa menjadi cerita yang begitu dramatis. Anda mengikuti beritanya bukan? Ini cerita tentang truk-truk pengangkut sampah dari Jakarta ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Bantargebang, Kota Bekasi, yang sampai harus dikawal polisi.

Pengawalan polisi ini mengindikasikan betapa seriusnya masalah sampah di Ibu Kota. Bukan hanya semasa DKI Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama, tetapi juga semasa gubernur-gubernur sebelumnya. Dan mohon maaf ya para anggota DPRD Bekasi, sampah juga masih menjadi masalah besar di Bekasi.

Bukan soal truk lewat jalan-jalan di Bekasi atau adanya TPA Bantargebang, maka Bekasi sulit mendapat penghargaan Adipura, melainkan karena Bekasi juga belum menangani sampah-sampahnya dengan baik. Jadi kita juga harus memperbaiki masalah sampah kita. Jangan hanya urus soal kontrak perusahaan PT Godang Tua dengan Pemda DKI saja.

Saya lihat masalah sampah ini tidak pernah diselesaikan secara komprehensif. Penyelesaiannya hanya sepotong-sepotong. Cuma angkut-buangtumpuk lalu uruk. Bayangkan, volumenya di seluruh Indonesia setiap hari terus bertambah. Pada 2013, misalnya, volume sampah di Jakarta mencapai 6.500 ton per hari. Setahun kemudian, 2014, volumenya sudah bertambah lebih dari 7%- nya menjadi 7.000 ton.

Ingat, ini per hari. Sekarang sebagian orang Jakarta sudah pindah ke Bekasi, tapi orang-orang daerah juga pindah ke Ibu Kota. Demikian juga kota-kota lain. Jadi ini akan jadi masalah yang tereskalasi. Seperti apa gambaran sampah dengan volume sebesar itu? Angka 7.000 ton sampah itu kurang lebih setara dengan 25.000 meter kubik.

Jika Anda pernah berwisata ke Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, volume candi itu adalah 55.000 meter kubik. Jadi, jika dalam dua hari saja sampah di Jakarta tidak diangkut, timbunannya kurang lebih setara dengan volume Candi Borobudur, bukan?

Mafia Sampah 

Tapi, di balik sedemikian seriusnya masalah sampah di Jakarta, saya melihat begitu banyak fenomena yang sebetulnya berangkat dari urusan tidak nyambung. Apa maksudnya? Anda pernah mendengar istilah bank sampah? Rumah-rumah tangga mengumpulkan sampah yang sudah dipilah: sampah organik, sampah anorganik, dan sampah bahan berbahaya dan beracun seperti batu baterai bekas, bahan-bahan kimia.

Sampah-sampah yang sudah dipilah tadi disetorkan di tingkat RT atau RW dan dihargai senilai tertentu dan dicatat sebagai tabungan. Kelak sampah-sampah itu disetorkan ke pengepul. Atau model lainnya adalah asuransi sampah yang digagas oleh dr Gamal Albinsaid di Malang. Jadi, setoran dalam bentuk sampah dihargai senilai tertentu dan dijadikan premi asuransi.

Tapi, terus terang, sebagai orang yang pernah urus sampah, saya sebenarnya meragukan keberlangsungannya. Maaf, dalam soal sampah ini, ada banyak orang yang sulit diurus. Baiklah kita lihat keadaan di tempat lain. Kalau Anda pernah berkunjung ke pabrik-pabrik semen yang ada di Indonesia, beberapa dari mereka menyiapkan tempat-tempat penimbunan sampah. Ukurannya besar-besar.

Sampah itu kelak mereka jadikan sebagai bahan bakar, pengganti batu bara yang sangat polutif. Maklum, biaya terbesar dari produksi semen adalah api. Jadi, pabrik-pabrik semen sebetulnya membutuhkan sampah. Jenis apa pun. Mereka siap menampung jika volumenya besar dan kering. Kita sebut itu biomassa dan mitra saya pernah menjadi pemasoknya untuk Indocement.

Biomassa itu adalah by product sampah yang sudah dicacah dan dipisahkan dari kompos yang terdiri atas berbagai limbah yang sulit dihancurkan, lalu dipres sebesar dua kali ukuran batu bata. Nah, di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta pusing setengah mati mencari tempat pembuangan sampah warganya.

Kalau melihat kasus bank sampah, asuransi sampah, pabrik semen yang mencari sampah, belum termasuk para pembuat pupuk kompos, kelihatan bukan kalau ada yang tidak nyambung di sini? Tahukah Anda di Jepang ada pabrik pengolahan sampah yang kalau dari jauh kita pikir itu Disney Land? Tahukah Anda, negara-negara Skandinavia ada yang sengaja impor sampah dari Inggris untuk menghasilkan listrik? Gila, sampah saja ada harganya.

Jadi, di satu sisi ada supply , di sisi lain ada demand , tetapi keduanya ternyata belum ketemu. Oya, saya juga mendengar bisikbisik soal mafia sampah. Luar biasa. Di sampah pun ternyata ada mafianya. Ini benar kok karena saya sendiri pernah merasakan. Begitu kami bisa mengolah sampah dalam skala kelurahan, paniklah para mafia itu.

Mereka pun memutus mata rantai ekonomi sampah yang sudah kami bangun. Kini tahu rasalah mereka yang mainmain saat bertemu Gubernur yang gila. Saya pikir inilah saatnya perubahan. Mafia ini tingkatannya banyak juga, biasanya diawali dengan kegiatan mengumpulkan jenis-jenis sampah tertentu dari tumpukan yang ada di TPA. Di antaranya botol-botol atau benda apa pun yang terbuat dari plastik.

Kelak, botol-botol plastik atau barang plastik itu akan dicacah dan kemudian diolah kembali menjadi biji-biji plastik. Biji plastik inilah yang mereka jual ke pabrik pembuat botol atau aneka produk yang berbasis plastik. Bagi mafia, botol plastik seperti ini penting agar truk-truk sampah terus mengirim sampah ke Bantargebang.

Kalau sampai berhenti, bisnis mereka bakal terganggu. Tapi mereka ini masih mafia kecillah. Beruntung juga pabrik-pabrik semen kita belum menjadikan kaca-kaca bekas bangunan atau botol-botol minuman dari kaca sebagai bahan baku pembuatan semen. Padahal, kacakaca tersebut bisa dijadikan sebagai pengganti pasir kuarsa. Jadi, cukup kaca-kaca bekas tersebut digerus halus, jadilah ia sebagai bubuk kaca.

Bubuk ini, kalau saya baca dari beberapa penelitian, bisa digunakan sebagai pengganti pasir kuarsa—yang selama ini juga menjadi bahan baku untuk pembuatan kaca. Keuntungan pabrik semen dengan memakai kaca bekas adalah lebih ramah lingkungan. Sebab mereka memanfaatkan limbah kaca sebagai bahan bakunya. Saya berharap tulisan ini tidak menjadi pemicu lahirnya mafia kaca bekas.

PLTSa 

Bicara sampah, satu hal yang membuat saya sejak dulu gelisah adalah perlunya kita mengubah mindset. Kita tahu di banyak negara sampah tidak menjadi masalah, tetapi malah berkah—sh;kecuali sampah masyarakat, tentu saja. Referensinya ada di mana-mana. Di mana berkahnya? Di negara-negara tersebut sampah mereka olah sebagai bahan baku untuk pembangkit listrik tenaga sampah atau biasa disingkat PLTSa.

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, PLTSa-nya mampu menghasilkan daya sekitar 2.500 megawatt (MW). Untuk menghasilkan daya yang sebesar itu pihak PLTSa membutuhkan sekitar 35 juta ton sampah. Jumlah ini baru setara dengan 17% dari total sampah yang dihasilkan warga AS.

Di negara-negara Uni Eropa, pengolahan sampah dengan teknologi waste to energy (WTE) sudah sejak lama mereka lakukan. Mereka bahkan memiliki puluhan hingga ratusan fasilitas WTE. Di Denmark, lebih dari 80% sampahnya diolah di fasilitas WTE yang tersebar di beberapa kota. Prancis, negara ini memiliki 130-an WTE atau PLTSa. Negara yang terkenal dengan pastanya, Italia, memiliki 50-an fasilitas WTE.

Lalu di Jerman, negara ini juga memiliki 60-an WTE. Negara terdekat kita, Singapura, juga memiliki empat unit incinerator plant yang masingmasing unitnya memiliki kemampuan untuk mengolah mulai dari 1.100 ton sampah per hari sampai yang 3.000 ton per hari. Tapi energi kok dibakar pakai energi? Sayang juga ya. Tapi, baiklah, itu juga lumayan solusi kalau kita anggap kebersihan nomor satu.

Kita sebetulnya juga memiliki beberapa fasilitas PLTSa. Di daerah Gedebage, Bandung, kita memiliki fasilitas PLTSa yang membakar 2.000-3.000 meter kubik sampah guna menghasilkan daya 7 MW. Sayangnya fasilitas PLTSa Gedebage yang berbasis incinerator ini tengah mendapat sorotan dari sebagian warga Bandung. Meski begitu saya yakin di dunia ada banyak teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan.

Selain menggunakan incinerator, setahu saya ada teknologi yang lain seperti gasifikasi, proses termal hingga pirolisis. Jadi, teknologi mestinya bukan persoalan. Justru persoalannya adalah mindset yang belum melihat sampah sebagai peluang. Bukan hanya peluang untuk mengubahnya menjadi energi, tetapi juga peluang untuk mengubah pola pikir dan perilaku pejabat dan masyarakat dalam mengelola sampah yang setiap hari mereka hasilkan.

Saya pikir bagus jugalah DKI menghadapi masalah ini sehingga terpicu untuk berubah. Masa dengan anggaran Rp400 miliar untuk angkut sampah ke TPA Bantargebang kita tak bisa buat pengolahan yang canggih? Masa hidup kita mau seperti ini terus? Kalau ini bisa kita lakukan, saya yakin bakal terjadi perubahan besar di masyarakat kita. Dan inilah salah satu bentuk revolusi mental yang dicanangkan Jokowi-JK.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *