Ketika pemerintahan Jokowi-JK mengurangi subsidi BBM dan mengalihkan dananya untuk membangun infrastruktur, saya dan semoga kita semua senang.
Subsidi BBM yang diberikan pemerintah selama ini memang kurang mendidik. Konsumsi BBM kita cenderung boros dan subsidinya sama sekali tidak tepat sasaran. Lebih banyak orang kaya yang menikmatinya ketimbang orang miskin. Memang ini tak mudah. Pembangunan infrastruktur kita selalu dirundung masalah. Di antaranya soal pengadaan lahan dan permainan para pemegang lisensi yang tak punya kesungguhan untuk membangun.
Lalu, masih banyaknya masalah yang terkait dengan prosedur pencairan dana. Baiklah, mungkin memang tak mudah melakukan sesuatu untuk pertama kalinya. Saya berharap ke depan prosesnya bisa semakin cepat dan saya menaruh harapan yang tinggi untuk itu. Seiring dengan itu, saya ingin mengajak Anda untuk memiliki perspektif yang lebih luas tentang infrastruktur.
Sebab saya yakin sebagian Anda, ketika berbicara tentang infrastruktur, pasti yang terbayang adalah jalan raya atau jalan tol, rel kereta api, atau pelabuhan udara maupun laut. Mungkin bisa ditambahkan dengan infrastruktur telekomunikasi dan listrik.
Infrastruktur Lainnya
Infrastruktur yang perlu kita bangun bukan hanya itu. Jauh lebih luas lagi. Saya ambil ilustrasi untuk industri minyak dan gas. Infrastruktur yang mesti kita bangun mulai dari hulu sampai hilir. Di sektor hulu, misalnya, infrastrukturnya berupa jaringan pipa yang digunakan untuk mengalirkan minyak mentah atau gas dari sumursumur minyak ke kilang-kilang minyak.
Di pengilangan minyak, kita juga mesti membangun tangki-tangki timbun untuk minyak mentah dan gas. Bagaimana kalau jaringan pipanya tidak ada? Apa boleh buat, minyak-minyak itu mesti diangkut dengan mobil-mobil tangki. Ongkosnya mahal sekali. Di sektor hilir, infrastruktur yang harus kita bangun juga jaringan pipa untuk mengalirkan minyak mentah dan gas dari kilang ke lokasi-lokasi penimbunan BBM atau BBG.
Bahkan termasuk jaringan pipa sampai ke SPBU-SPBU atau SPBG, atau ke pembangkit-pembangkit listrik. Bicara soal tangki timbun BBM, selama ini di masyarakat kita banyak yang salah kaprah. Pemerintah selalu mengatakan stok BBM kita cukup sampai 18- 20 hari. Padahal, stok yang dimaksud adalah stok BBM itu adalah stok yang berada di tangki-tangki timbun di kilang-kilang milik Pertamina.
Jadi bukan tangki yang dibangun secara khusus untuk menimbun BBM. Apa keterkaitan stok BBM tersebut dengan ketahanan energi kita? Erat sekali. Sebagai perbandingan, kalau kita menyebut stok BBM di negaranegara lain, seperti di Malaysia yang 20 hari atau Singapura yang 25 hari, itu artinya betulbetul stok yang ada di tangki timbun. Bukan stok yang ada di kilang-kilang.
Bahkan lebih dari itu. Beberapa negara juga memiliki stok minyak mentah di tangkitangki penimbunan. Jadi kalau sudah begini, baru ketahuan bahwa kita sebetulnya tak punya stok BBM. Apalagi stok gas. Kita juga tak punya stok minyak mentah dan gas yang belum diolah. Dan tradisi ini sudah berlangsung bertahun- tahun. Kalau sudah begini, masihkah kita berani bicara soal ketahanan energi? Saya, tidak.
Kalau sudah begini kita jadi tahu betapa tertinggalnya pembangunan infrastruktur kita. Maka tak aneh kalau pemerintahan Jokowi-JK mengalihkan dana subsidi BBM untuk pembangunan infrastruktur walau belum sampai ke infrastruktur minyak dan gas. Kalau saya ajak Anda untuk melihat infrastruktur dalam arti luas, ketertinggalan kita bahkan semakin menjadi-jadi. Misalnya infrastruktur dalam bentuk air bersih.
Instalasi pengolahan air bersih kita masih sangat terbatas. Apalagi infrastruktur untuk distribusinya. Maksud saya jaringan pipa untuk mengalirkan air bersih tersebut ke rumah-rumah penduduk hingga pabrik-pabrik. Listrik juga begitu. Produksinya masih kurang, begitu pula dengan jaringan distribusinya. Bahkan termasuk infrastruktur pendukungnya.
Misalnya, trafo-trafo yang ada di pembangkit-pembangkit listrik atau gardu-gardu induk. Mudah-mudahan Anda masih ingat dengan padamnya listrik seputar Jakarta, Tangerang, dan Bekasi pada awal Desember 2013. Jangan anggap sepele masalah ini. Di RS Pirngadi, Medan, tiga pasiennya meninggal dunia akibat trafo yang terbakar. Mengapa trafo itu sampai terbakar?
Setelah diselidiki ternyata akibat listrik di Medan yang bolak-balik byar pet. Mati-hidup, mati hidup. Itu akibat lain dari keterbatasan infrastruktur listrik. Akibat lainnya, rasio elektrifikasi kita masih 84,35%. Artinya masih ada 15,65% rumah tangga di Indonesia yang belum menikmati aliran listrik. Kita mungkin sulit memaknai angka 15,65%. Untuk sederhananya, kalaujumlahpendudukIndonesia saat ini berkisar 240 juta, itu artinya masih ada lebih dari 37 juta rakyat kita yang belum menikmati aliran listrik. Ini jumlah yang tidak sedikit.
Tak Ada Habisnya
Sekarang saya ajak Anda untuk melihat yang lebih seram lagi, yakni keterbatasan infrastruktur pangan kita. Belum lama ini kita merasakan akibatnya. Beberapa pekan lalu harga daging sapi melonjak hingga mencapai Rp150.000/kg. Konon kabarnya sebagian pedagang menuruti kehendak pengimpor: mogok jualan.
Akal sehat kita langsung mengerti maksudnya: mereka menekan pemerintah agar diberi izin impor yang lebih besar lagi, tetapi harga mereka yang mendikte. Hebat bukan? Kalau harga daging mahal, barang substitusi akan ikutan. Benar saja, harga daging ayam melonjak ke Rp45.000/kg. Dua kasus tadi, bagi saya, cermin dari belum tertatanya infrastruktur pangan kita. Baik di tingkat produksi maupun sampai distribusinya.
Di tingkat produksi, misalnya, ternyata pemerintah kita tidak memiliki infrastruktur informasi yang lengkap tentang jumlah sapi yang dikuasai masyarakat. Maaf, kalau bicara infrastruktur pangan lebih luas lagi, kita mesti menyinggung pula soal air dan energi. Berapa banyak waduk dan jaringan irigasi yang masih harus kita bangun? Setiap kali para petani kita juga masih mengalami kekurangan benih dan pupuk.
Demikian juga energi, bila tak mumpuni, pangan tak bisa dimakan. Lalu, saya paling tidak tega kalau sudah bicara tentang pendidikan. Akibat keterbatasan infrastruktur, banyak anak kita yang bersekolah di bangunan seadanya. Sama sekali tidak layak disebut sekolah.
Dari situ, mudah-mudahan segera terbayang di benak kita tentang betapa beratnya tugas pemerintahan Jokowi-JK. Maka, saya sungguh tak habis mengerti dengan mereka yang masih saja dengan telengasnya memainkan isu, mengolok-olok dengan akun-akun bodong mengatasnamakan rakyat, bahkan cengeng sekali gayanya.
Negeri ini selalu mendua. Ibarat saat membaca berita tentang pemerkosa yang membunuh korbannya: kita pun mengutuk dan menuntut agar penjahatnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Namun begitu penjahat itu ditangkap dan beberapa tahun kemudian orang itu dihukum mati, banyak orang yang menyayangkannya.
Kita justru mengutuk hakim yang tega memutus perkara dengan hukuman maksimal. Hal sama juga terjadi di Kampung Pulo. Waktu gubernurnya mendiamkan mereka membangun rumah dan membuang sampah di sana sampai kebanjiran, kita bilang ini garagara gubernurnya lembek. Pas gubernurnya tegas tanpa kompromi memindahkan mereka ke pemukiman yang lebih baik, kita bilang ia tidak manusiawi.
Pantaslah kita jadi sulit maju. Bukan karena kekurangan leader, melainkan karena mental yang terlalu lembek, kurang gigih, dan mudah menyerah begitu diejek.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan