Suksesi – Koran Sindo

Pekan lalu sahabat saya, Hasnul Suhaimi, resmi mundur dari posisinya sebagai CEO PT XL Axiata Tbk. Ia sudah menduduki jabatan tersebut selama lebih dari delapan tahun.

Pada banyak perusahaan di Indonesia, isu suksesi masih menjadi persoalan serius. Bahkan sangat serius kalau tak bisa didapat dari dalam atau yang dari luar ditolak di dalam. Ini bisa membuat sakit kepala para pemegang saham. Ini karena kerap kali posisi CEO bisa menentukan hidup dan matinya perusahaan.

Maka tak mengherankan kalau suksesi sering menjadi isu yang ramai. Itu yang tidak terjadi dalam suksesi di XL Axiata. Hasnul mundur dengan mulus tanpa gejolak apa pun. Ia menyerahkan posisinya kepada Dian Siswarini yang sebelumnya menjabat sebagai wakil direktur utama. Melihat posisi Dian, kita bisa dengan mudah membaca bahwa Hasnul sudah mempersiapkan calon penggantinya. Mungkin itu pula yang menyebabkan proses suksesi di XL Axiata berlangsung dengan mulus.

Belakangan saya melihat fenomena serupa juga terjadi di beberapa BUMN. Di sektor perbankan, misalnya, saya lihat beberapa pucuk pimpinannya sudah diisi oleh ”orang dalam”. Di Bank Mandiri, misalnya, semula dipimpin oleh Agus Martowardojo yang berasal dari Permata Bank. Namun setelah itu penggantinya, Zulkifli Zaini, adalah orang dalam di Bank Mandiri.

Begitu pula Zulkifli Zaini digantikan oleh Budi Gunadi Sadikin yang sebelumnya pernah menjadi direktur di bank itu. Hal serupa terjadi di BNI dan BRI. Pada bank-bank itu, pucuk pimpinannya berasal dari orang dalam. Atau setidak- tidaknya pernah menjadi direktur di perusahaan tersebut.

Tapi, untuk BUMN sekelas Pertamina, pemerintah sebagai pemegang saham rupanya belum ”berani” menempatkan orang dalam sebagai pucuk pimpinan. Direktur Utama Pertamina saat ini datang dari luar, yakni dari PT Semen Gresik Tbk. Jajaran direksi Pertamina lainnya juga kebanyakan datang dari luar.

Move On 

Mengapa pada sejumlah perusahaan, termasuk BUMN, suksesi masih menjadi isu yang krusial? Bahkan seakan-akan menentukan hidup dan matinya perusahaan? Saya lihat banyak perusahaan yang masih kesulitan untuk move on. Apalagi di BUMN yang kental dengan aroma feodal. Dengan iklim kerja yang masih seperti ini, mereka menganggap pimpinan adalah segala-galanya. Seorang pemimpin kerap dianggap sebagai matahari. Ia segala-galanya.

Di perusahaan seperti ini, mereka menganggap tidak ada matahari kembar. Hanya ada satu matahari. Matahari, dengan sinarnya yang menyilaukan—meski juga memberi kehidupan—, membuat benda-benda langit lainnya seperti bulan atau bintang tak mampu memancarkan sinarnya.

Semuanya redup oleh hadirnya matahari. Untungnya anggapan semacam itu belakangan mulai luntur. Bagi perusahaan yang sudah berhasil move on, banyak CEO tak lagi menganggap dan dianggap sebagai matahari. Ia penting, tetapi bukan yang terpenting. CEO memang hanya ada satu, tetapi bukan menjadi satu-satunya penentu keberhasilan.

Lima Tangga Kepemimpinan 

Bicara soal ini mulusnya suksesi, saya jadi teringat dengan lima tangga kepemimpinan dari John Maxwell. Menurut Maxwell, pada tataran paling rendah adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin karena posisinya atau position. Ia menjadi pemimpin karena ditunjuk, bukan karena kompetensi. Pemimpin yang semacam ini biasanya tak akan bertahan lama pada posisinya.

Kata John Maxwell, ”A great leader’s courage to fulfill his vision comes from passion, not position.” Pada tataran berikutnya adalah pemimpin yang sudah mendapat pengakuan dari lingkungan perusahaan atau pada level permission. Kalau sudah sampai pada level ini, Anda harus terus mengembangkan komitmen, tanggung jawab, kejujuran, integritas, konsistensi, dan sebagainya. Ini agar kepercayaan yang telah diperolehnya terus meningkat. Seorang pemimpin juga dituntut untuk terus meningkatkan produktivitasnya dan produktivitas perusahaan atau level production.

Semakin cepat peningkatan produktivitas ini tercapai, seorang pemimpin akan semakin dikagumi dan dihormati. Berikutnya adalah seorang pemimpin sudah dapat mencetak pemimpin lainnya atau people developer. Mencetak seorang pemimpin itu tidak mudah. Banyak di antara kita yang masih curiga kalau ada orang lain yang menonjol. Jangan- jangan malah mengancam posisi kita. Kesulitan lainnya, kita biasanya mencetak pemimpin sesuai dengan prototipe kita.

Kita ingin dia seperti kita. Padahal, dia harus menjadi pemimpin yang sesuai dengan karakter kepribadian dan kepemimpinannya. Level paling tinggi adalah personhood, yakni ketika jiwa sebagai seorang pemimpin sudah sangat melekat dalam dirinya. Posisinya diakui dan sudah diterima oleh lingkungan perusahaannya dan stakeholdernya.

Dia juga mampu meningkatkan produktivitas dan mampu mencetak pemimpin-pemimpin baru. Saya kira Hasnul sudah sampai pada level itu. Keberadaannya sudah diterima oleh lingkungan internal dan eksternal. Ia juga sukses membawa XL Axiata naik kelas. Kisah transformasinya bisa Anda baca pada buku saya yang berjudul Cracking Zone. Semula XL Axiata menempati peringkat ketiga terbesar, tetapi jaraknya dengan operator peringkat kedua berbeda cukup jauh.

Tapi, Hasnul kemudian berhasil membawa XL menjadi operator kedua terbesar. Meski angkanya masih naik turun, mereka bersaing ketat dengan operator kedua. Ia juga sudah menciptakan banyak pemimpin di lingkungan XL Axiata, termasuk satu yang menggantikan dirinya. Mencetak pemimpin itu tidak mudah. Apalagi bagi seorang CEO. Banyak masalah yang harus ia pecahkan.

Ada banyak target yang harus ia capai. Bawahan pun mesti ia urus. Sementara di sisi lain kompetitor terus mengganggu. Kebijakan pemerintah yang berubah- ubah pun berpotensi mengancam kelangsungan bisnis perusahaan. Semua tekanan tersebut kerap kali membuat kita keteteran dalam mencetak pemimpin-pemimpin baru. Padahal, waktu yang kita miliki sangat terbatas. Saya kira kita bisa banyak belajar dari pengalaman suksesi di XL Axiata dan perusahaan- perusahaan lain.

Di lingkungan bisnis, suksesi kerap berlangsung dalam suasana yang senyap, tanpa ribut-ribut dan ramai-ramai. Itu karena di sana ada kebajikan seorang pemimpin atau virtues leadership. Kalau saja lingkungan politik kita meniru lingkungan bisnis. Barangkali nature lingkungan politik memang lebih gaduh. Tapi, kita bisa menilai antara gaduh yang berbobot dan yang asal ribut.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *