Saya kira, kita sudah semakin akrab menyaksikan fenomena semacam ini. Anak-anak muda pergi ke restoran. Mereka memesan hidangan. Sambil menunggu pesanan datang, mereka sibuk memotret diri sendiri. Selfie, begitu istilahnya.
Ketika pesanan datang, mereka juga tak langsung makan. Mereka sibuk memotret makanan atau minuman yang tersaji. Bukan dengan kamera, melainkan dengan smartphone.
Kadang beberapa di antara mereka meminta bantuan para pelayan restoran untuk memotret. Pada bulan Ramadan, bukannya membaca doa begitu waktu berbuka, tetapi meng-upload dulu hasil foto ke akun media sosial mereka. Bisa ke Twitter, Facebook, atau Instagram. Kita menyebutnya dengan istilah update status.
Baru setelah itu, mereka menyantap hidangan.
Sebagian kalangan menilai wajar aksi anak-anak muda itu. Tapi, ada juga yang menilainya sudah berlebihan. Silakan kalau Anda punya penilaian tersendiri.
Promosi Gratis
Hanya, bukan itu yang menjadi bahasan saya kali ini. Saya hanya ingin mengingatkan kalangan praktisi bisnis agar tidak memandang sepele aksi anak-anak muda tersebut. Saya tahu persis, ada beberapa pebisnis restoran yang menganggap serius hal itu. Mereka tidak hanya melihat aksi selfienya, tetapi juga berkombinasi dengan fenomena narsistisnya.
Foto-foto itu pasti tidak hanya digunakan sebagai dokumentasi pribadi, melainkan diunggah ke media sosial sehingga menjadi informasi bersama. Itu sebabnya banyak pemilik restoran kini sudah menambah satu lagi persyaratan bagi calon karyawan yang ingin bekerja di restorannya, yakni tahu cara memotret dengan smartphone.
Bagi karyawan yang telanjur bergabung, mereka harus belajar cara memotret yang benar dengan smartphone. Itu bukan pekerjaan yang sulit, meski juga tidak bisa dibilang gampang. Mengapa?
Catat, mereka bukan asal bisa memotret. Tapi, mereka juga harus mampu serba sedikit untuk bertindak sebagai pengarah gaya. Lalu, mereka juga harus tahu dan mampu mengarahkan pelanggan agar mau berpose di lokasi-lokasi yang bagus di restorannya.
Sebagai pebisnis, Anda tahu bukan apa yang dimaksud dengan lokasi yang bagus? Iya, benar. Lokasi di mana logo atau nama perusahaan atau restoran tercantum.
Atau lokasi yang menjadi penanda kehadiran perusahaan Anda.
Begitu foto-foto selfie itu di-upload oleh pelanggan ke akun media sosial mereka, entah di Twitter, Facebook, atau Instagram, bayangkan berapa banyak pasang mata yang akan melihat logo atau nama perusahaan Anda. Lalu, ada mesin pencari Google yang menautkan foto-foto dari media sosial dengan kebutuhan orang lain akan informasi. Klop.
Jadi, ketika ada orang mencari via Google tentang tempat makan yang enak, sangat boleh jadi yang bakal muncul adalah nama restoran Anda. Bukankah itu semua merupakan sarana promosi yang gratis.
Kalangan yang paham periklanan bahkan memberikan nilai lebih bagi promosi gratisan semacam itu. Mengapa? Sebab, yang menjadi endorser adalah orang ketiga. Pihak yang netral. Bukan bintang iklan yang sengaja dibayar untuk itu.
Jadi, dalam kasus ini, maraknya aksi selfie dan narsis dari customer akan meningkatkan reputasi restoran. Apa jadinya kalau makanan dari restoran Anda tidak enak, pelayanannya buruk, tak ada sudut-sudut yang menarik untuk berfoto, atau pelayannya tak mampu memotret dengan baik? Anda menuai badai.
Menurut Sherry Turkle, profesor psikologi dari Massachusetts Institute of Technology, selfie merupakan cara seseorang merekam momen untuk diperlihatkan kepada orang lain. Katanya, orang tidak lagi merasa menjadi dirinya sendiri, kecuali mereka berbagi pikiran dan perasaan kepada orang lain. Jadi, kalau dulu Descartes, filsuf Prancis, mengatakan, \”I think, therefore I am,\” sekarang dengan adanya internet dan media sosial berubah menjadi, \”I share, therefore I am.\”
Berbagi, termasuk berbagi foto atau cerita, adalah sesuatu yang baik-baik saja. Namun, yang perlu mendapat perhatian, sebagian besar remaja cenderung narsis kalau mengalami depresi.
Selain itu, sisi aktivitas sosial mereka cenderung rendah. Itu sebabnya mereka menghabiskan banyak waktu di dunia maya. Jadi, betul kata pepatah klasik, \”Sesuatu yang berlebih-lebihan itu tidak baik.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan