Kalau negeri tak berdaya, bukalah teori tentang harga. Harga bukan untuk diobral, melainkan untuk membentuk perilaku. Dan begitu teori tentang harga diabaikan, akibatnya mudah dilihat.
KALAU negeri tak berdaya, bukalah teori tentang harga. Harga bukan untuk diobral, melainkan untuk membentuk perilaku. Dan begitu teori tentang harga diabaikan, akibatnya mudah dilihat.
Ambil contoh jalan tol dalam kota di Jakarta. Alih-alih bebas hambatan karena berbayar, ternyata kerap kali ia lebih macet daripada jalan biasa. Kata orang, ada harga ada rupa. Harga yang pas akan menghasilkan kesenangan: sama-sama untung. Harga yang kemurahan juga berakibat sama: sama-sama buntung. Sudah membayar, masih mengumpat.
Tarif tol itu terbentuk karena pertemuan dua hal ini: konsumen vokal yang menuntut tarif murah dan pengambil keputusan yang populis. Memang murah, tapi opportunity cost-nya besar. Padahal, apa susahnya mengatur harga? Bukankah pada jam-jam tertentu peminatnya tinggi sehingga harganya bisa dibuat tiga kali lipat? Sebaliknya, pada jam-jam kosong bisa diberi diskon.
Tampaknya itu juga yang terjadi dengan harga BBM, listrik, dan tiket pesawat terbang serta mungkin juga harga tahu dan tempe yang membuat produsennya semakin susah hidup. Namun anehnya, itu tidak terjadi pada bunga bank, premi asuransi, pulsa telepon, air mineral, rokok, atau segala barang dan jasa buatan asing yang kita bayar dari keringat kita. Harga rokok sudah di atas Rp 15.000, namun tetap laku. Demikian juga air minum dalam kemasan yang makin mahal.
Beberapa Contoh
Di Indonesia, kita sudah lama mengidam-idamkan sistem ekonomi yang efisien. Pada sistem itu, mekanisme pasar bekerja dengan sempurna. Harga terbentuk dari penawaran dan permintaan.
Perusahaan yang beroperasi pada sistem ekonomi seperti itu sehat. Artinya, pendapatan selalu berada di atas biaya. Biaya dapat dikendalikan, namun harga jual dapat disesuaikan dengan segmennya sehingga pembelinya loyal karena puas. Negara membuka banyak pilihan agar terjadi kontrol harga yang layak. Misalnya harga pertamax saja, yang begitu kemahalan, pembelinya beralih ke SPBU asing.
Saat ini harga avtur buatan dalam negeri ternyata 15 persen lebih mahalketimbang harga bahan bakar avtur di luar negeri. Garuda melayani 600 penerbangan per hari. Dengan harga itu, kebutuhan bahan bakar mencapai USD 1,8 miliar per tahun. Komposisi biaya tersebut mencapai 35 persen–40 persen dari total biaya operasional. Konon, harga avtur domestik mahal karena ia dibuat pada kilang-kilang tua yang dulu untuk membuat minyak tanah. Dengan tingkat kompleksitas yang rendah, kilang-kilang kita menjadi kurang efisien. Tetapi, itu amat merugikan. Apalagi, tarif tiket pesawat (batas atas) diatur negara sehingga harganya tak bisa dinaikkan mengikuti kenaikan biaya.
Akibatnya, Garuda Indonesia saat ini terseok-seok. Pada semester I 2014, maskapai itu merugi Rp 2,4 triliun. Selain harga avtur, melemahnya nilai rupiah juga menjadi penyebab. Apalagi, sekitar 75 persen biaya operasional Garuda menggunakan dolar AS.
Itu di satu sisi. Di sisi lain, Garuda ternyata tak bisa menetapkan tarif penerbangan sendiri. Ada aturan batas atas dari pemerintah. Padahal, konsumen Garuda siap membayar dengan harga yang lebih tinggi asal layanan memuaskan. Kalau harganya kemahalan, pilihannya pun sudah banyak. Tiap-tiap segmen akan berkunjung pada pintu yang sesuai dengan daya beli dan ekspektasinya.
Indonesia tentu harus menciptakan iklim usaha yang sehat. Apalagi menjelang ASEAN Economic Community (AEC). Kalau tidak, kita hanya akan menjadi pasar. Sudah tak efisien, salah menerapkan harga, tak membuka kompetisi yang sehat, lalu jasa-jasa yang harganya premium hanya dinikmati asing. Itu sudah lama terjadi dalam jasa pelayanan kesehatan tatkala pasien kelas atas berobat ke luar negeri.
Jangan Gebyah Uyah
Namun, mekanisme pasar harus diimbangi dengan pelayanan publik yang baik. Negeri ini masih membutuhkan pengaturan, terutama agar rakyat kecil tidak dikeluarkan dari pasar. Tarif tinggi boleh saja ditujukan kepada segmen premium, tetapi jangan memberikan kualitas buruk untuk rakyat yang diberi subsidi.
Saya masih ingat saat menikmati subsidi di Amerika Serikat. Sebagai pembayar pajak yang bergaji USD 1.500 (sebagai research assistant), kami termasuk dalam kategori prasejahtera. Namun, saat menikmati layanan kesehatan, kamar yang saya tempati bersebelahan dengan CEO perusahaan terkenal. Kami bisa sama-sama menikmati layanan kesehatan premium. Bedanya, biaya saya ditanggung negara. Itu terjadi di negeri kapitalis.
Kasus itu tentu mengingatkan kita pada cara-cara subsidi yang masih jauh dari harapan selama ini. Saat harga beras melambung, rakyat hanya diberi raskin yang banyak batunya dan kurang layak dimakan. Rumah sakit rakyat juga hanya sekelas puskesmas dan banyak sekolah rakyat yang hampir roboh, bahkan gurunya pun honorer.
Semua itu menunjukkan bahwa teori harga belum benar-benar kita pahami. Ada pasar, ada konstitusi. Keduanya harus bisa hidup berdampingan karena tujuan negeri ini adalah kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dan sekarang ada kebutuhan untuk meningkatkan keunggulan daya saing. Dibutuhkan kebijaksanaan dan kewirausahaan untuk menata kehidupan saat kesejahteraan kita tumbuh dengan tingkat yang beragam.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan