Sampai kolom ini saya tulis pada Rabu (22/10) malam, kita semua masih menunggu pengumuman kabinet oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rencananya, Presiden Jokowi akan mengumumkannya di Dermaga 3, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Namun, sampai saya tulis, pengumuman tampaknya urung dilakukan.
Baiklah, meski Anda menunggu nama-nama itu, pokok tulisan saya bukan ke sana, melainkan mengapa Jokowi memilih tempat itu. Pilihan pelabuhan berkali-kali tentu memberikan pesan penting bagi kita. Saya kira, ini sama pentingnya dengan yang dilakukan Jokowi-JK ketika menyatakan deklarasinya saat mereka dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketika itu Jokowi-JK menyatakan deklarasinya di atas kapal pinisi Hati Buana Setia.
Pemilihan pelabuhan sebagai lokasi pengumuman seakan menegaskan kembali tekad pemerintahan Jokowi- JK untuk mengalihkan orientasi pembangunannya dari darat ke laut. Ini bukan perkara mudah. Mengalihkan orientasi juga memaksa kita untuk mengubah mindset dari darat ke laut. Lalu, dari mindset itu kita harus menerjemahkannya menjadi kebijakan dan keberpihakan yang baru.
Belum cukup sampai di situ. Kita juga masih harus menerjemahkannya dengan perilaku dan cara-cara kerja yang baru. Ini harus kita lakukan secara terus-menerus sampai akhirnya menjadi kebiasaan dan pada gilirannya berubah menjadi budaya. Kita tidak hendak mematikan perhatian dari daratan dengan budaya agrarisnya. Bukan itu, melainkan kita ingin memberikan perhatian yang lebih pada lautan kita yang selama ini boleh dibilang terabaikan. Kita ingin membangun dan mengembangkan budaya baru. Budaya maritim.
Membangun Pelabuhan
Mengembangkan budaya baru, budaya maritim tadi, menuntut kesiapan kita. Banyak hal yang mesti dipersiapkan. Di antaranya tentu pelabuhan-pelabuhan lautnya. Bicara dari sisi ini, saya kira kita harus berbangga. Sebab selama beberapa tahun belakangan, pelabuhan- pelabuhan kita menunjukkan perbaikan kinerja yang signifikan. Padahal dulu ia menjadi sumber masalah yang mengakibatkan jalan darat menjadi tumpuan utama, logistic cost kita paling tinggi di kawasan, dan akibatnya daya saing perekonomian terganggu.
Nah bagaimana geliat keempat BUMN pelabuhan kita? Sudah pasti geliat terbesar ada di Jawa, khususnya Jakarta dan Surabaya. Tapi biar adil kita tengok juga bagaimana geliat di ujung barat (Belawan) dan di timur (Makassar). Di barat, Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I) belum lama ini direktur utamanya, Bambang Eka Cahyana, menandatangani MoU dengan Port of Rotterdam Authority untuk pengembangan pelayanan dan pengelolaan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara. Bambang rupanya ingin menjadikan Kuala Tanjung sebagai hub port untuk wilayah Indonesia bagian barat. Ini saya kira sangat nyambung dengan gagasan tol lautnya Presiden Jokowi. Lompatan luar biasa juga dilakukan Pelindo II yang kini lebih dikenal dengan nama PT Indonesia Port Company (IPC). BUMN ini bukan hanya melebarkan usahanya sampai ke Sorong di Papua, melainkan juga memikirkan kesatuan Nusantara sebagai jalur logistik strategis.
Mereka ingin membangun pelabuhan di sana dengan investasi mungkin bisa mencapai sekitar Rp 2 triliun. Dan pendulum Nusantara tak bisa ditawar lagi. Saya kira langkah panjang RJ Lino sebagai direktur utama IPC, tak lepas visinya yang jauh ke depan, yang melihat betapa strategisnya posisi Indonesia. Jika dulu kegiatan ekonomi berpusat di poros Atlantik, kini sudah bergeser ke selatan, ke poros Asia-Pasifik. Saat ini sekitar 75% perdagangan dunia berada di kawasan Asia- Pasifik. Lalu, dari seluruh barang yang diperdagangkan di kawasan Asia-Pasifik, sebanyak 75% diangkut dengan kapal- kapal laut. Dalam konteks itulah Indonesia menempati posisi yang strategis
Letak kita boleh dibilang berada di tengah-tengah poros Asia-Pasifik. Kapal-kapal yang berlayar dari utara ke selatan dan sebaliknya selalu melintasi Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan kawasan perairan Indonesia lainnya. Kapal-kapal itu mengangkut barang senilai USD1.500 triliun per tahun. Kalau saja kita berhasil memetik sebagian saja dari lalu lintas perdagangan di poros Atlantik tersebut, tentu banyak manfaat yang bisa kita petik.
Namun, untuk bisa mengambil manfaat, kita tentu harus berbenah. Pelabuhan pelabuhan kita mesti diperbaiki. Untuk itulah RJ Lino membangun pelabuhan di Sorong dan mengembangkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan membangun New Priok, termasuk terminal petikemas di Kalibaru.
Bergerak ke timur lagi, kita akan bertemu dengan Pelindo III. Saya punya catatan khusus tentang BUMN ini. Awal Oktober lalu, Pelindo III sukses besar saat menawarkan obligasi internasional (global bond) senilai USD500 juta. Kalau kita konversi dengan kurs saat ini, nilainya sekitar Rp 6 triliun. Saya turut dimintai pandangan untuk meratakan jalan perubahan dan saya kira dengan global bond itu sudah pasti mindset kita semua harus berubah.
Saya kira ada sinyal penting dari keberhasilan Pelindo III dalam menjual global bond-nya. Adanya kelebihan permintaan (oversubscribed) yang sampai 13 kali mengindikasikan bukan saja investor percaya terhadap bisnis infrastruktur, terutama pelabuhan, melainkan juga mereka melihat bahwa industri maritim adalah masa depan Indonesia. Ini, saya kira, adalah sinyal penting yang harus segera kita tangkap. Semakin ke timur, di sana kita akan bertemu dengan Pelindo IV. Saya kira BUMN ini sudah memainkan peranan yang sangat penting sebagai motor pembangunan di kawasan timur Indonesia. Pelindo IV belakangan ini sangat intensif membenahi pelabuhan-pelabuhannya. Mereka tengah membangun fondasi untuk tiang pancang crane multiguna di Manokwari dan Gorontalo.
Sinergi & Koordinasi
Dari potret-potret itu, kita bisa melihat betapa pelabuhan- pelabuhan kita tak pernah berhenti memperbaiki diri dan meningkatkan kapasitasnya. Saya kira kita layak berbangga karenanya—meski saya juga mencatat masih banyak hal yang sebenarnya bisa mereka lakukan untuk meningkatkan kinerjanya. Di antaranya soal sinergi. Bangsa kita memang mempunyai masalah besar jika sudah bicara soal sinergi. Bukan karena kita tidak ingin bersinergi. Bukan itu. Sinergi hanya terjadi bila ada koordinasi. Nah di negara kita, koordinasi adalah ”barang” yang sangat mahal harganya sehingga kerap kali tak ”terbeli”. Tapi, sekarang ini saya berani mengatakan bahwa kita memiliki konduktor yang hebat. Dia adalah Jokowi dan JK.
Di tangannya, saya kira, koordinasi tak akan lagi menjadi barang yang mahal. Kini tinggal apakah kita mau menjadi pemain- pemain orkestra yang tunduk pada arahan sang konduktor. Melihat leadership keduanya, saya berkeyakinan kepelabuhan kita pasti akan disinergikan, entah disatupadukan (merger ) atau disatubangunankan (dalam sebuah holding). Bagi BUMN pelabuhan, saya kira, arahnya sangat jelas. Pada kesempatan lalu, saya menulis bahwa dalam era persaingan global, size is matter. Ukuran memainkan peran penting. Pelabuhan-pelabuhan kita tentu akan sulit bersaing di kancah global jika terlalu sibuk ”bermain” sendiri-sendiri. Mereka, saya kira, akan lebih disatupadukan. Formatnya saya kira bisa dirundingkan.
Buat saya, kuncinya adalah segenap kaki dan tangan bergerak hanya dengan perintah dari satu kepala. Bukan kaki yang satu melangkah maju, satunya mundur. Atau, tangan kanan bergerak ke kanan, tangan kiri bergerak ke kiri sehingga keduanya tidak bertemu dalam satu tepukan tangan. Mengingat pentingnya logistik nasional dan gerak cepat kedua pemimpin kita dalam penanganan BUMN ini, saya akan bahas lagi minggu depan. Sinergi ini akan sarat dengan masalah manajerial, khususnya strategic management yang sering kita abaikan dalam pembangunan.
Apa yang selama ini dilakukan Pelindo I, III, dan IV serta IPC menunjukkan betapa mereka sungguh serius membangun Indonesia. Lantas sinyal apa yang dikirim para pemimpin harus dibaca sebagai awal perubahan yang besar bagi Indonesia. Kini saatnya kita menguji bukan hanya keseriusan, tetapi juga ketulusan dalam membangun negeri dan kata kuncinya adalah adaptasi, perubahan! Ia memusingkan, tetapi tanpanya tak akan ada kemajuan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan