Saya ajak Anda mengikuti kisah berikut. Fast Grill, perusahaan makanan, tengah merumuskan berapa pertumbuhan profit yang harus dicapai agar perusahaan tetap bertahan di tengah sengitnya persaingan bisnis.
Dalam suatu rapat, jajaran manajemen membahas beberapa angka. Ada yang menyebut 3,5%, lalu lainnya 5,5%, tapi ada juga yang usul 7,5%. Jadi, berapa angka pastinya? Mereka menoleh ke sang CEO. Jawaban sang CEO kurang lebih begini, “Antara 3,5% dan7,5%.” Semua peserta rapat bingung. Sang CEO menjelaskan, 3,5% adalah angka yang akan mereka sodorkan ke pemegang saham. Lalu, 5,5% angka yang mestinya bisa mereka capai.
Kemudian, angka 7,5% adalah angka bisa diraih jika seluruh jajaran perusahaan betul-betul bekerja keras dan mau memaksa diri. Jadi berapa angkanya? Ketidak jelasan semacam ini bisa menimbulkan masalah bagi perusahaan. Angka mana yang menjadi pegangan bawahan ketika akan membuat rencana kerja untuk mencapai hasil yang diharapkan. Rencana kerja untuk mencapai pertumbuhan profit 3,5% tentu sangat berbeda dengan target 5,5%, apalagi yang 7,5%.
Kasus yang menimpa Fast Grill, saya kira, menimpa kita juga. Kita kerap mengalami kesulitan untuk menetapkan satu target yang jelas dan terukur. Kalau targetnya terlalu tinggi, kita khawatir tidak akan tercapai sehingga bisa mencoreng reputasi jajaran manajemen. Sementara kalau angkanya terlalu rendah, kita juga cemas para pemegang saham akan menilai kita terlalu malas.
ATL vs BTL
Bagaimana kondisi semacam ini bisa terjadi? Roger Connors dan Tom Smith (2004) menuturkan, kasus itu adalah potret dari kurangnya pengembangan budaya akuntabilitas (culture of accountability) di dalam perusahaan. Membangun budaya semacam ini jelas bukan pekerjaan satu malam. Di dalam perusahaan, kita bisa memulai dengan memilah-milah perilaku karyawan dalam dua kelompok yang berbeda secara ekstrem.
Yakni kelompok dengan pemikiran dan perilaku yang bertanggung jawab dan kelompok yang tidak bertanggung jawab. Kelompok pertama (bertanggung jawab) saya sebut sebagai drivers dan kelompok lainnya passengers. Pada kelompok drivers tampak, setiap menjumpai permasalahan, mereka akan berpikir dan bertindak dengan penuh tanggung jawab. Sementara mereka yang passengers , apalagi yang bad passengers, biasanya akan terperangkap dengan mulai mencari siapa yang salah dan merasa selalu menjadi korban. Hidup tidak selalu lurus. Jadi wajar saja jika suatu saat kita terperangkap masuk dalam kelompok passengers. Itu alamiah.
Siapa manusia yang tak pernah melakukan kesalahan? Tapi, kita jangan juga terus membiarkan diri terperangkap di kotak penumpang itu. Begitu sadar, segeralah keluar. Sebab mereka yang berada di kelompok penumpang biasanya tak akan pernah bisa memberikan hasil positif bagi perusahaan. Sementara kelompok drivers akan selalu menjadi bagian dari solusi bagi perusahaan. Setiap kali menemukan masalah, mereka akan selalu mencari cara-cara untuk mengatasinya. Bagi mereka, setiap masalah adalah peluang untuk menjadikan dirinya lebih maju lagi ketimbang sekadar mencari-cari alasan atas suatu kegagalan. Kelompok ini biasanya akan fokus pada apa yang bisa mereka lakukan ketimbang pada apa yang tidak bisa mereka lakukan.
Membangun Drivers
Untuk membangun lebih banyak kelompok drivers yang disebut above the line (ATL) oleh Connors dan Smith, pertamatama kita harus menyadari pentingnya mengenalkan tahaptahap menuju budaya akuntabilitas, yakni See It, Own It, Solve It , dan Do It . See It artinya kita akan terus mencari perspektif baru dari orang lain, berkomunikasi secara jujur dan terbuka, selalu menawarkan dan meminta feedback, siap mendengarkan hal yang paling sulit sekalipun sehingga kita memahami kenyataan yang sebenarnya. Sikap ini bisa diterapkan secara bolak-balik.
Misalnya, dari atasan ke bawahan atau bawahan ke atasan, unit yang satu dengan unit yang lain, atau ke sesama rekan kerja. Mereka adalah mitra-mitra yang akan membantu kita agar berani menghadapi kenyataan. Setelah itu kita jadikan pengalaman tersebut sebagai investasi pribadi atau Own It . Pada tahap ini biasanya kita mulai selalu menyinergikan pekerjaan kita dengan rencana perusahaan. Bila kita mampu melakukannya, akan muncul rasa memiliki.
Jadi, kepemilikan ini sangat tergantung pada kemampuan kita mengaitkan antara di mana kita, apa yang sudah kita lakukan pada hari ini dengan akan ke mana kita dan apa yang akan kita lakukan. Tahap Own It ini adalah jantung dari akuntabilitas. Solve It. Pada tahap ini dibutuhkan upaya yang gigih untuk mengatasi berbagai masalah yang menghadang upaya kita meraih hasil. Mereka yang sudah mencapai tahap ini bisa dengan mudah kita kenali dari pertanyaannya, “Apalagi yang bisa saya kerjakan?” Ini cerminan dari kesungguhannya dalam mengejar hasil, menghadapi permasalahan, dan meraih kemajuan.
Tahap Solve It ini juga meliputi kemampuannya dalam menghadapi permasalahan lintas fungsi, kreativitas kita ketika mengatasi masalah, dan keberanian dalam mengambil risiko secara terukur. Do It. Tahap ini merupakan puncaknya. Ini berarti kita harus melakukan apa yang ingin kita lakukan, fokus pada yang menjadi prioritas, bertahanlah di kelompok ATL dengan tidak menyalahkan orang lain, dan terus menjaga kepercayaan yang sudah tumbuh. Meski kita sudah melewati tiga tahap sebelumnya, untuk bisa bertahan pada kelompok ATL, kita harus melakukan tahap terakhir, Do It.
Perilaku ATL inilah yang menjadi fondasi dari budaya akuntabilitas. Budaya ini hanya akan muncul jika kita menapaki tahap-tahap menuju budaya tersebut. Saat ini kita hidup di lingkungan di mana menjadi nomor satu adalah sesuatu yang penting. Kita juga hidup di lingkungan bisnis yang cepat berubah, entah karena kehadiran teknologi baru, inovasi atau perubahan regulasi. Maka, penting bagi kita untuk mampu dengan cepat mengubah budaya perusahaan.
Semakin cepat kita bisa melakukannya, semakin cepat pula kita mendapatkan hasil dan semakin adaptif pula perusahaan merespons cepatnya perubahan lingkungan bisnis. Ingat, dahulu kita mampu meraih hasil melalui budaya kerja lama. Tapi, dengan berubahnya lingkungan bisnis, mungkin kita tak akan pernah mampu meraih hasil yang sama dengan hanya mengandalkan cara-cara kerja dan budaya kerja yang lama.
Kata Albert Einstein, kita bisa gila jika berharap memperoleh hasil yang berbeda dengan hanya melakukan hal yang sama. Sesederhana itu. Maka, penting bagi seorang pemimpin untuk mampu membangun budaya kerja baru di perusahaannya.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan