Suatu siang pada beberapa tahun silam. Saya menerima telepon dari seorang pemimpin perusahaan. Ia mengajak saya bertemu sambil makan malam.
Oleh karena tak ada agenda khusus, saya mengiyakan. Malamnya kami bertemu di sebuah restoran. Setelah basa-basi dan makan malam, sampailah ia pada tujuan utamanya. Ia mengambil setumpuk dokumen dari dalam tasnya. Katanya, itu dokumen tentang perusahaan kompetitor. Isinya sebagian besar tentang rencana masa depan sang kompetitor yang dibumbui dengan adanya analisis mengenai dugaan kecurangan-kecurangan mereka dalam berbisnis.
Untuk mendapatkan dokumen tersebut, ia mengaku harus membelinya dengan harga yang lumayan mahal dari sebuah institusi yang kerap disebut-sebut sebagai “pusat intelijen bisnis”. Ia berharap saya mau menuliskan materi yang dibawanya, terutama yang berisi tentang dugaan kecurangan tersebut, di media cetak. Lalu, panjang lebar ia menjelaskan tentang isi dokumen tersebut, termasuk menunjuk dugaan-dugaan kecurangannya. Kami menghabiskan waktu selama lebih dari tiga jam.
Ketika malam semakin larut, kami pun memutuskan untuk berpisah. Jangan salah, saya tak ingin berkisah tentang bagaimana kelanjutan dari dokumen tersebut. Tapi, yang ingin saya sampaikan adalah betapa di masa lalu kita begitu sulit mendapatkan dokumen-dokumen tentang rahasia bisnis, terutama milik kompetitor. Dokumen semacam itu, antara lain, berisi apa saja yang ingin kompetitor lakukan dalam setahun, dua atau bahkan lima tahun ke depan.
Kian Terbuka
Kini, era sudah berganti. Kondisi sudah berbalik 180 derajat. Mengelola perusahaan saat ini ibarat masuk ke dalam sebuah akuarium. Apa yang kita lakukan bisa dengan mudah dilihat banyak orang. Bahkan oleh kompetitor kita. Apalagi kalau perusahaan itu adalah perusahaan terbuka. Kita harus membuka semua data masa lalu. Dari situ, kompetitor bisa dengan mudah membaca jejaknya dan mencari peristiwa-peristiwa penting yang relevan, yang pernah terjadi pada masa lalu.
Berbekal informasi tersebut, ditambah dengan analisis dari para pakar, strategi bisnis kita pun begitu mudah terungkap. Tapi, hal yang sebaliknya juga bisa kita lakukan terhadap para kompetitor. Kita juga bisa dengan mudah mempelajari rekam jejak mereka dan strategi bisnisnya. Jadi, saat ini boleh dibilang nyaris tak ada rahasia bisnis yang bisa kita tutup-tutupi dengan sempurna. Kecuali mungkin kalau semuanya masih tersimpan di dalam kepala kita. Belum dituliskan dan terlebih lagi belum dilakukan. Bagaimana rahasia bisnis yang di masa lalu tersimpan rapat-rapat, kini bisa dengan mudahnya tersingkap?
Semua itu terjadi berkat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perangkat teknologi tersebut memang membuat pasokan data tiba-tiba menjadi berlimpah, tersedia di mana-mana. Ini memudahkan kerja intelijen bisnis. Di tangan mereka, data yang digali dari berbagai sumber tersebut kemudian mereka olah menjadi informasi sehingga memudahkan banyak pemimpin perusahaan untuk menganalisis situasi yang berkembang dan menyusun strategi bisnis. Mungkin karena semakin sulit menyimpan rahasia, kini banyak perusahaan malah menjadi tak segan memaparkan strategi bisnisnya.
Mereka dengan enteng memaparkan rencana-rencana bisnisnya hingga beberapa tahun ke depan. Itu mereka lakukan terutama untuk memikat perhatian para investor. Mereka tidak takut rahasia semacam itu diketahui para kompetitornya. Sebab, sebagaimana para kompetitor dengan mudah mengetahui rahasia bisnisnya, ia pun dengan mudah mencari tahu strategi para kompetitornya. Kondisi semacam inilah yang membuat platform bisnis berubah. Apa yang dahulu oleh banyak perusahaan dianggap sebagai rahasia bisnis, kini tidak lagi. Hari-hari belakangan ini kian sulit bagi kita untuk menyembunyikan rahasia bisnis.
Man Behind the Gun
Apa yang membuat perusahaan- perusahaan tersebut kini tak terlalu khawatir lagi jika strategi bisnisnya diketahui para kompetitornya? Rupanya, sehebat- hebatnya kita menyusun strategi bisnis, semua akhirnya terpulang pada sumber daya manusia (SDM)-nya. Apakah kita mempunyai SDM yang hebat, yang mampu mengeksekusi semua strategi yang tadi sudah dirumuskan. Jadi, ujung-ujungnya tetap man behind the gun. Maka, kini medan pertempuran berganti.
Mungkin strategi bisnis yang menjadi penentu, tetapi kemampuan untuk memperebutkan SDM-SDM yang andal kini menjadi jauh lebih menentukan. Para pemenang perang adalah perusahaan-perusahaan yang mampu mendapatkan dan mempertahankan SDM unggulannya. Buat perusahaan-perusahaan di Indonesia, kondisi semacam ini bisa menjadi masalah besar. Sebab di pasar tenaga kerja, pasokan SDM yang unggul jumlahnya sangat terbatas. Kondisi semacam inilah yang kemudian memaksa perusahaan untuk mengubah konsep rekrutmen, retain, talent management, termasuk juga sistem kompensasi dan lingkungan kerjanya.
Dulu banyak perusahaan besar tak terlalu peduli dengan sistem retain atau talent management dan pentingnya membangun lingkungan kerja yang kondusif. Untuk menahan SDM-SDM-nya, termasuk yang unggulan, mereka menganggap semuanya cukup dengan menaikkan gaji. Nyatanya strategi semacam itu sama sekali tidak bisa diandalkan. Meski ditawari gaji lebih tinggi, satu per satu SDM-SDM unggulan meninggalkan perusahaan itu. Mereka lupa bahwa banyak karyawan yang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar gaji. Imbasnya signifikan.
Laju pertumbuhan perusahaan mulai melambat. Bahkan terancam stagnan. Bagaimana itu bisa terjadi? Sederhana saja. Persaingan yang kian sengit menghadapkan perusahaan pada semakin banyak masalah. Lalu, persaingan yang kian sengit juga memaksa perusahaan tak boleh berhenti berinovasi. Tapi, itu semua seakan-akan mandek karena perusahaan tak lagi memiliki SDM unggul yang mampu mencari solusi-solusi bisnis yang inovatif.
Sayangnya masih ada saja perusahaan yang kurang menyadari adanya fenomena semacam ini sebagaimana saya saksikan terjadi pada sebuah perusahaan besar yang tengah merintis usaha barunya. Akibat salah mengelola SDM-nya, kini satu per satu karyawan mulai meninggalkan perusahaan.
Mungkin perusahaan itu bisa menutupinya dengan merekrut karyawan-karyawan baru. Tapi, saya lihat itu akan menyisakan masalah besar. Membangun kesamaan visi dan chemistry agar sejalan dengan visi dan chemistry perusahaan, juga dengan karyawan lama, adalah masalah yang tidak mudah untuk diurus. Maka, jangan sembarangan mengelola SDM.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan