“Kok bisa ya, akun Twitternya Ditjen Pajak mendapat banyak perhatian dari netizen?”
Pertanyaan tersebut tidak sekadar terlontar satu atau dua kali saja. Ada pula akun Kementrian PUPR yang juga tidak kalah diperhatian oleh netizen. Pasalnya, konten mereka lucu dan cukup mengundang tawa siapapun yang membacanya. Memangnya, mereka mengunggah konten yang seperti apa sih?
Meme, Konten Digital yang Menarik Perhatian
Membuat materi publikasi sebuah brand atau event biasanya berkutat pada konten tertulis. Sebut saja iklan pada media massa atau melalui copywriting yang langsung menggaet hati. Tetapi ada lagi yang bernama “meme” (dibaca “mim).
Pertama kali istilah “meme” ditemukan pada buku The Selfish Gene karya Richard Dawkins. Menurut Dawkins, “meme” adalah satu unit dari transmisi budaya atau imitasi budaya. Kata “meme” itu sendiri asalnya dari bahasa Yunani “mimema” yang memiliki arti harfiah “mengimitasi.”
Misalnya seperti yang di bawah ini:
Untuk para pengguna media sosial seperti Instagram dan Twitter, melihat meme rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari. Ada yang digunakan untuk semata-mata bercanda, ada yang mengusung topik tertentu, ada pula yang dimanfaatkan oleh brand-brand untuk meraih awareness dari netizen.
Tetapi, apakah meme bisa digunakan begitu saja oleh brand?
Dari Meme ke Marketing
Meme yang hanya sebatas hiburan kemudian semakin berkembang menjadi sebuah bahasa dan memiliki peran dalam lifestyle terutama bagi para millennial. Namun, untuk mengadaptasi meme menjadi bahasa penyampaian yang mengomunikasikan produk brand, ada hal yang harus diperhatikan. Meskipun memang betul, menjadi terlalu serius di media sosial bisa saja membuat netizen atau target audiens merasa kalau brand tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.
Alangkah baiknya, apabila ingin menggunakan meme melihat terlebih dahulu konteks atau topik apa yang ingin dibawakan. Dengan begitu, meme tidak sekadar tiru-tiru semata atau ajang untuk menunjukkan brand mana yang lebih dahulu beradaptasi dengan tren terkini. Melainkan dapat memunculkan diskusi dan interaksi antara representasi brand (atau seringkali disebut sebagi “admin/mimin”) dengan target audiensnya.
Misalnya saja sahut-menyahut di Twitter antara akun Kaesang Pangarep dengan akun Ditjen Pajak RI. Dari gambar di atas terlihat bahwa akun Ditjen Pajak memberikan formulir laporan pajak kepada akun Kaesang sebagai bentuk tanggapan terhadap ciutannya yang berisi harga pakaian yang ia kenakan. Tetapi yang tidak kalah seru adalah bagaimana netizen merespon interaksi keduanya.
Mensirkulasikan konten melalui meme dengan topik yang memang ingin diusung oleh brand akan membuat topik tersebut lebih mudah dimengerti. Implikasinya, brand pun juga akan dikenal karena menggunakan bahasa yang memang digunakan oleh target audiens. Setiap meme yang diproduksi diharapkan mudah dipahami dan direspon secara positif oleh netizen.
Apakah setiap brand harus menggunakan meme sebagai bentuk komunikasinya?
Jawabannya bisa jadi iya, namun bisa jadi tidak. Meme yang beredar di internet sebagian besar bertumpu pada materi yang bersifat komedi. Maka dari itu perlu melihat lagi bagaimana citra dari brand tersebut sebelum menggunakan meme. Sebab, penggunaan meme yang tidak tepat malah akan melemahkan brand dan membuat netizen memandang negatif brand itu. Tetapi, apa bila bisa memanfaatkannya dengan baik, meme malah bisa membantu meningkatkan engagement dengan target audiens.