Menjadi Millennial di Era #MO

#MO – Mobilisasi Orkestrasi – adalah sebuah fenomena. Kehadiran teknologi yang semakin canggih didukung dengan internet yang semakin cepat dan mudah diakses membuat distribusi informasi saling adu cepat dan tumpang tindih. Saling bersaing untuk mendapat perhatian paling banyak. Apabila tidak tahu mana yang harus diikuti atau tidak tahu apa yang sebenarnya dicari, bisa saja tersesat. Tidak tahu arah dan menjadi kehilangan pegangan.

Dalam masa-masa transisi dari dunia perkuliahan menuju profesional, atau bahkan sudah memasuki dunia kerja, seringkali dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memperkuat karakter. Tetapi sayangnya, ada pula yang masih belum memiliki karakter. Mereka masih terombang-ambing atas banyaknya opsi di depan mata. Ada pula yang mengira kalau karakter bisa dipelajari selayaknya duduk diam di dalam ruang kelas. Kenyataannya tidak demikian. Pembentukan dan penguatan karakter membutuhkan latihan yang tidak ada tenggat waktunya.

Karakter yang bisa menghadapi #MO hingga akhirnya bisa berjalan beriringan dengan perkembangan zaman adalah mereka yang tidak takut menjadi rajawali. Mereka yang tidak takut untuk menjadi berbeda demi tidak berada dalam lingkaran kelompok yang #GagalPaham.

Tulisan ini bukanlah pemecahan masalah. Melainkan sebuah awal mula sebagaimana tradisi memulai tahun dengan hal baru yang positif. Dari buku-buku yang akan disebutkan dibawah, semoga bisa menjadi pemantik untuk bertransformasi ke arah yang lebih baik.

The Basic Behavior

Menjadi Millennial di era MO membutuhkan modal sikap dan perilaku. Mereka yang sudah punya, tinggal memperkuat untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan minat masing-masing. Tetapi, apa sajakah modal tersebut?

Dalam buku Self Driving karya Prof. Rhenald Kasali, disebutkan ada 7 Elements of Self Driving yang membuat seorang individu tergolong dalam Good Driver. Di sini, terminologi driver bukan mengarah pada profesi sopir. Melainkan kapabilitas individu untuk memberikan arahan terhadap dirinya sendiri menuju goal yang ingin dicapainya. Ketujuh elemen yang disinggung terdiri dari Self Discipline, Growth Mindset, Creative Thinking, Critical Thinking, Risk Taker, Power of Simplicity, dan Play to Win. Masing-masing individu biasanya sudah memiliki (minimal) satu elemen tersebut. Namun, mereka bisa menambahkan keenam sisanya untuk membentuk pribadi yang Good Driver.

\"\"

Masih bersinggungan dengan 7 Elements of Self Driving, seseorang yang ingin menghadapi era #MO juga perlu membekali dirinya dengan pola pikir (mindset) yang benar. Prof. Carol Dweck melalui bukunya yang berjudul Mindset memaparkan bahwa IQ tinggi bukan menjadi jaminan seseorang bisa survive. Ada pola pikir yang membuat seseorang menjadi pantang menyerah. Itulah yang dinamakan sebagai Growth Mindset.

Modal awal berupa 7 Elements of Self Driving dan Growth Mindset akan membukakan pintu menuju pembentukan dan penguatan karakter.

Millennial in Professional Career

Sebagai generasi Millennial, label negatif terus menerus muncul. Terutama datang dari kelas profesional. Ada yang beranggapan bahwa Millennial hanya mau enaknya saja, entitled, sehingga malas berusaha untuk berjuang lebih keras. Hal itu ditampik oleh Chris Tuff melalui bukunya The Millennial Whisperer. Di sana, Tuff menuliskan kalau Millennial mencari tiga hal dalam hidupnya (termasuk ketika mereka memilih pekerjaan): purpose, profit (yang tidak selalu berbentuk uang), dan acknowledgement. Sayangnya hal tersebut seringkali luput dari perhatian pemimpin atau perusahaan tempat di mana Millennial berkarir.

\"\"

Gambaran mengenai Millennial juga dirangkum dalam sebuah buku karya Yoris Sebastian, Generasi Langgas. Meski hanya berupa paparan singkat, buku tersebut menunjukkan bahwa adanya perbedaan cara asuh dan kebiasaan sehari-hari-lah yang membuat Millennial selalu mendapat cap yang buruk. Padahal itu juga karena adanya perubahan secara sosial. Tetapi mereka tetap punya sesuatu yang dikejar, sama seperti yang dikatakan oleh Chris Tuff.

Millennial Find Purpose(s)

Mengikuti atau mengidolakan sosok inspiratif bisa menjadi jalan bagi para Millennial untuk mencari purpose dalam hidupnya. Purpose tidak tertutup hanya untuk tujuan hidup, ia juga bisa diartikan makna hidup. Berbeda dengan generasi sebelumnya, di mana masa muda difokuskan pada bekerja dan menabung untuk hari tua, generasi Millennial malah senang mencari purpose and meaning sembari mereka berkecimpung di dunia profesional. Untuk itu, rasanya tepat jika mereka juga memahami konsep Ikigai.

Ada banyak buku yang membahas Ikigai. Misalnya saja buku Ikigai yang disusun oleh Hector Gracia dan Francecs Miralles. Buku tersebut mencoba menerjemahkan Ikigai yang diinternalisasi oleh orang Jepang sebagai salah satu metode dalam menjalani hidup. Ujungnya, mereka bisa menemukan purpose and meaning sehingga tahu, langkah apa yang sebaiknya diambil.

\"\"

Perlu diingat juga, ketika mencari purpose and meaning, seringkali menjadi tidak fokus. Distraksi datang dari mana-mana. Yang terdekat seperti ponsel saja juga bisa menjadi variabel yang membuat Millennial menjadi hilang arah. Asupan informasi yang membanjiri otak perlu untuk dibatasi. Maka dari itu, ada baiknya membaca buku mengenai stoikisme seperti yang ditulis oleh Henry Manampiring dalam buku Filosofi Teras. Menggunakan dikotomi kendali, seseorang bisa memutuskan mana yang sebaiknya mereka pikirkan dan mana yang tidak. Sebab, untuk fokus terhadap hal yang tidak bisa dikontrol diri sendiri merupakan suatu kesia-siaan belaka. Padahal, waktu yang dimiliki sama-sama sebanyak 24 jam. Mengapa tidak memanfaatkannya dengan bijak?

Selain belajar stoikisme, mungkin bisa menerapkan metode KonMari. Metode yang diperkenalkan oleh Marie Kondo ini bisa dibaca dalam buku The Life-Changing Magic of Tidying Up. Melakukan declutter terhadap benda-benda di sekitar bisa membuat pikiran menjadi lebih jernih dan fokus. Metode KonMari pun juga bisa digunakan dalam memilah apa yang sebaiknya dipikirkan dengan pertanyaan, “Apakah hal ini perlu saya pikirkan? Apakah hal itu bisa saya kontrol?” Dengan begitu, generai Millennials bisa memfokuskan dirinya pada sesuatu yang memang bisa dikendalikan. Termasuk, menjemput purpose and meaning of life.

Deliberate Practice

Modal perilaku sudah dimiliki, praktik terhadap fokus dan pengendalian pikiran juga sedang berjalan. Tetapi masih ada hal yang perlu diingat lagi: latihan.

Angela Duckworth melalui bukunya yang berjudul Grit menuliskan bahwa semua modal yang sudah dimiliki oleh individu untuk berkembang tidak akan menghasilkan apa-apa selama mereka tidak melakukan latihan. Dalam hal ini disebut dengan istilah “deliberate practice”. Mempraktikkan latihan agar bisa menjadi karakter yang relevan di era #MO membutuhkan persistensi dan konsistensi. Ditambah pula, harus bersedia untuk mengkuadratkan usaha (bukan sekadar melipatgandakan).

\"\"

Latihan dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari berbeda tipis sehingga ketika menemui kegagalan, sering diasumsikan sebagai kegagalan secara keseluruhan. Untuk itu, perlu memahami pula bahwa memang ada kalanya berhasil dan ada kalanya menjadikan kegagalan itu sebagai sebuah pelajaran. Sebagaimana terdapat dalam buku Sometimes You Win, Sometimes You Learn karya John C. Maxwell.

 

Menjadi Millennial di era #MO yang penuh dengan distorsi memang harus mampu memilih di bagian mana harus menjadi fokus. Pun dalam menentukan purpose and meaning of life agar tidak mudah terseret ke dalam lingkaran yang salah atau #GagalPaham.

 

Sebarkan!!

1 thought on “Menjadi Millennial di Era #MO”

  1. DRAJAT 201510973854

    Subhanallah, luar biasa. Saya setuju sekali, memang demikian jika kita tidak berani melakukanm perubahan, cepat atau lambat akan “terbunuh” atau “dibunuh” bahkan “bunuh diri” dari pergaulan dunia. Intinya harus berani melakukan perubahan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *