Ada berapa banyak dari kita yang merasa sudah cukup dengan intelegensia masing-masing? Sewaktu sekolah kerap menduduki peringkat 10 besar. Ketika ada di bangku perkuliahan, indeks prestasi tidak pernah luput dari angka 3. Bahkan ketika wisuda, mendapat predikat cum laude (atau malah, summa cum laude).
Ada pula yang mengukurnya dengan alat tes intelligence quotient. Berharap bisa berada pada posisi Superior atau sehebat Einstein yang IQ-nya mencapai 160.
Rasanya, kalau sudah mencapai peringkat tertentu dengan IQ yang tinggi, kesuksesan bisa dicapai dengan mudah.
Kenyataannya tidak demikian.
Masih Berupa Awalan
Pada suatu ketika, seorang pskilog dari Stanford melakukan uji coba dengan dua kelompok siswa. Yang satu adalah mereka yang pandai, mendapat peringkat yang bagus di kelas, sedangkan yang satu kelompok lagi tidak. Diberikannya soal ujian kepada dua kelompok tersebut. Apa yang terjadi? Kelompok pertama (yang berisi anak-anak pandai) melakukan protes ketika menemui soal yang tidak bisa ia kerjakan. Dikatakannya, \”materi itu belum diajarkan di kelas.\” Berbeda dengan kelompok kedua. Mereka belum mengetahui apakah materi tersebut sudah diajarkan atau belum. Alih-alih menyerah dan melakukan protes, kelompok kedua terus mencoba mengerjakan sampai waktu yang diberikan habis.
Carol Dweck, psikolog yang melakukan percobaan tersebut menunjukkan akan adanya dua kategori dalam pola pikir manusia. Mereka yang berada di kelompok pertama kemudian disebut dengan fixed mindset dan kelompok kedua disebut dengan growth mindset. Bagi Dweck, orang-orang yang pandai, memiliki tingkat intelegensia tinggi belum tentu sukses jika tidak didukung dengan pola pikir bertumbuh atau growth mindset. Mereka yang sudah pandai merasa bahwa dirinya tidak perlu mencoba hal baru, tidak perlu mengeksplorasi.
Begitu pula dengan apa yang terjadi di sebuah sekolah militer di Amerika Serikat. Angela Duckworth, seorang psikolog, mengobservasi bagaimana seorang kadet bisa bertahan menjalani program selama 2 tahun sebelum nantinya menjadi tentara. Apakah itu karena unsur talenta, intelegensia, atau ada hal lain? Dari pengamatan yang Duckworth lakukan, terbukti bahwa talenta dan intelegensia bukanlah penentu kesuksesan. Para kadet yang sudah pandai belum tentu berhasil melewati masa-masa pelatihan 2 tahun itu. Sebaliknya, kadet yang awalnya merasa ragu pada dirinya sendiri, malah berusaha untuk sukses agar bisa menjadi tentara. Faktor pembeda itu terletak pada unsur yang kemudian disebut dengan grit.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Angela Duckworth memperlihatkan kalau talenta dan intelegensia tanpa adanya usaha (effort), daya lenting (resilience), dan kegigihan (persistence) tidak akan membawa seseorang kemana-mana. Talenta dan intelegensia bisa dikatakan sebagai material awal, tetapi kalau tidak diasah dan diberi 3 hal tadi, akan menjadi sia-sia belaka.
Dipertemukan dengan Self Driving
Apa yang dituliskan oleh Carol Dweck dalam bukunya yang berjudul Mindset dan juga Angela Duckworth dalam Grit sebenarnya saling bersinggungan. Dan apabila ditarik lagi, keduanya memiliki persamaan dengan konsep Self Driving yang dituliskan oleh Prof. Rhenald Kasali.
Begini contohnya. Seorang atlit lari sedari awal sudah memiliki talenta berupa konstruksi fisik yang kuat. Untuk dapat memenangkan perlombaan, maka ia harus berlatih. Deliberate practice, namanya. Latihan yang secara rutin dilakukan dan bertahap dengan goal tertentu. Atlit tersebut melakukannya dengan baik dan rajin. Ia pun mengambil porsi latihan karena tahu bahwa ketika berkomitmen mengikuti kompetisi, ia harus menang. Setidaknya begitulah mindset yang dimilikinya.
Apa yang dialami oleh atlit lari tadi merupakan contoh aplikasi dari growth mindset, grit, dan elemen dalam self driving yakni self-discipline dan play to win. Tanpa adanya self-discipline, atlit tersebut tidak akan mampu menjalani serangkaian latihan. Dan tanpa play to win, ia juga tidak akan mampu bertahan mengikuti latihan sebab hanya berpikir bahwa latihan adalah sebatas formalitas. Bukan berpikir kalau latihan akan membuat dirinya menjadi lebih mahir dan memperbesar peluang untuk menang.
Maka dari itu, talenta dan intelegensia memang bisa dianggap sebagai sebuah berkah. Tetapi material kasar tersebut masih harus diolah. Kalau dibiarkan begitu saja, keduanya tidak akan menghasilkan apa-apa. Tanpa growth mindset, grit, dan self driving elements, kesuksesan pun akan terasa jauh.