Era #MO semakin di depan mata. Perubahan hadir lebih cepat. Bak ombak, perubahan pun bisa menggulung apa dan siapa saja yang belum siap. Meluluhlantakkan mereka yang tidak punya bekal menuju era #MO.
Dari perubahan itu, kemudian muncul kekhawatiran. Bagaimana jika perusahaannya ternyata sudah ketinggalan? Bagaimana jika para pekerjanya belum memiliki kapabilitas yang sesuai dengan era #MO? Tidak heran jika para CEO jadi ikut memikirkan, adakah cara untuk membuat human capital-nya memenuhi kriteria yang dibutuhkan perusahaan.
Meskipun demikian, nyatanya human capital juga menyadari hal tersebut. Dilansir Harvard Business Review, dari survei yang mereka lakukan di 8 negara (Brazil, China, Prancis, Jerman, India, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat) kekhawatiran para CEO tidak sejalan dengan human capital. Mereka malah sudah mengetahui bahwa cepat atau lambat, pasti ada perubahan sehingga mereka harus bersiap-siap. Termasuk meningkatkan kualitas dan kapabilitas.
Melihat hasil tersebut, Joseph B. Fuller, et. all merekomendasikan tiga tindak lanjut:
Jangan Sekadar Membuat Pelatihan, Ciptakanlah Budaya Belajar
Rasanya hal yang paling cepat direalisasi ialah membekali para human capital melalui program pelatihan. Tetapi apakah dengan begitu, mereka akan otomatis bisa menerapkan hasil pelatihannya?
Selain memprogramkan pelatihan, perusahaan juga bisa membentuk budaya belajar (learning culture). Misalnya dengan “mewajibkan” human capital untuk mengambil kelas MOOC selama 1 jam setiap minggu. Apabila hal ini bisa berjalan dengan baik dan konsisten, maka perusahaan secara tidak langsung menekan angka turn over (yang mana juga berarti penghematan biaya rekrutmen dan lainnya). Tentu saja, budaya belajar ini harus dikoordinasikan dengan baik oleh perusahaan agar output yang ditunjukkan oleh human capital sesuai dengan apa yang diharapkan.
Libatkan. Bukan Sekadar Dipindahkan
Ketika perubahan sudah mendekat, jajaran pengambil kebijakan biasanya menunjuk human capital ke posisi baru. Atau dengan kata lain, “memindahkan” mereka ke dalam sebuah perubahan. Namun, hal tersebut malah membahayakan. Engagement dengan human capital menjadi rendah dan berisiko adanya ketidakpuasan.
Alangkah baiknya jika human capital juga dilibatkan dalam proses transisi menuju perubahan. Salah satu caranya yakni dengan diajak berkomunikasi: why, what, dan how membawa perusahaan agar tetap relevan dengan zaman. Ketika diskusi dengan human capital terbangun, mereka juga ikut berkontribusi terhadap langkah selanjutnya yang bisa diambil oleh perusahaan.
Bantu dengan Proses Kolaborasi. Bukan Kompetisi
Mendorong human capital agar mereka mau terus meningkatkan kapabilitas rasanya sering dilakukan melalui cara-cara yang kompetitif. Perusahaan mengharapkan adanya produktivitas yang terus membaik dan diikuti oleh perkembangan human capital-nya. Tetapi sayangnya, bukan itu yang sebaiknya dilakukan jika ingin menghadapi perubahan.
Daripada membuat sebuah lingkungan kerja yang kompetitif, sebaiknya menciptakan lingkungan yang saling bekolaborasi. Adanya kolaborasi antar human capital dapat membantu percepatan terbangunnya budaya belajar di perusahaan. Mereka pun akan terdorong untuk saling bahu-membahu menyelesaikan target yang ada. Dengan kata lain, perusahaan malah membuka kesempatan baru kepada para human capital untuk berinovasi. Perubahan yang harus terjadi juga bisa dilakukan oleh human capital secara gotong-royong.
(Disadur dari Your Workforce is More Adaptable Than You Think oleh Joseph B. Fuller, et. all)