Coba kita renungkan bersama-sama. Dalam sepekan, berapa jam Anda bekerja? Mungkin ada yang mengatakan mereka bekerja dari pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Ada pula yang menjawab, pekerjaan yang belum selesai di kantor, dibawa pulang ke rumah atau dikerjakan di kedai kopi selepas pukul 5. Mungkin ada juga yang memiliki jam kerja tidak menentu. Satu hari bisa menghabiskan 12 jam untuk bekerja.
Apakah bekerja selama jam kerja dianggap produktif? Bisa saja. Ada orang yang memang menggunakan jam kerjanya secara optimal sehingga selepas pukul 5 sore, ia sudah bisa melenggang keluar kantor, menuju rumah atau singgah sebentar ke toko buku. Tetapi di sela-sela asyik menyesap kopi, telepon berdering. Dari “Pak Bos.” Segeralah diangkat. Dimintanya untuk mengerjakan beberapa hal secara dadakan dan menyanggupi pernyataan itu.
Terdengar sangat dekat dengan kehidupan kita, bukan?
Sebagian besar Anda adalah salah satu dari mereka. Menjawab permintaan yang berhubungan dengan pekerjaan di luar jam kantor melalui gawai yang ada di genggaman (bisa saja ponsel atau tablet). Karena benar, teknologi kini membuat kita mudah untuk beraktivitas. Apalagi dalam konteks melakukan komunikasi dan koordinasi, termasuk untuk bekerja.
Sayangnya, teknologi yang memudahkan kita tersebut juga membuat kita menjadi ketergantungan. Sedikit-sedikit memegang ponsel. Cek apakah ada pesan masuk atau panggilan yang tidak terjawab. Membuat kita cemas dan jika tidak ada yang menghubungi, berarti kita tidak dibutuhkan orang lain.
Teknologi yang seperti itu nyatanya membawa dua macam implikasi. Pertama, kehadiran hingga produktivitas kita dinilai berdasarkan mudah atau tidaknya seseorang untuk dihubungi. Kedua, produktivitas juga dinilai dari kapabilitas gawai yang kita gunakan untuk bekerja. Misalnya seperti ini, Anda menerima permohonan untuk menerjemahkan sebuah teks ke dalam bahasa asing. Karena ponsel Anda saat ini bukanlah produk terbaru, maka ada kendala seperti kecepatan mengelola informasi. Alhasil, pekerjaan yang bisa dikerjakan selama 10 menit baru bisa disetorkan kepada tim 30 menit. Anda bisa saja dinilai tidak produktif hanya karena hal seperti itu.
Selain ketergantungan hingga dua implikasi terhadap definisi produktif, beberapa riset menunjukkan bahwa efek samping dari penggunaan teknologi yang terlalu sering (hingga adiktif) akan membuat seseorang menjadi depresi, kesepian, merasa terisolasi, menurunnya empati, hingga memiliki pikiran-pikiran negatif.
Dalam buku 24/6: The Power of Unplugging One Day a Week, Tiffany Shlain menjelaskan bahwa mengurangi durasi penggunaan teknologi sangatlah penting. Apalagi di dunia yang semakin kehidupannya 24/7. Anda diharapkan selalu “ada.” Shlain menyarankan agar setiap individu mengambil jeda satu hari dalam seminggu untuk tidak menggunakan teknologi (terutama yang bersinggungan langsung dengan pekerjaan). Unplugging, menurut Shlain membawa banyak keuntungan. Kita bisa istirahat, meditasi, melakukan refleksi terhadap diri sendiri, atau melakukan hobi.
Menjadi tidak produktif terkadang memang diperlukan. Semata-mata untuk menyehatkan kembali keadaan psikis dan mental kita dari sekeliling yang menuntut seluruh waktu kita. Hidup analog di dunia yang serba digital terkadang memang diperlukan agar kita tidak merasa energi kita terkuras habis. Recharging bisa dilakukan dengan melalui unplugging dari teknologi.
Sudah berani melalukan unplugging dan merayakan momen tidak produktif?
(Disadur dan disarikan dari artikel “In Praise of Being Unproductive” oleh JM Olejarz)