Semua perusahaan dan organisasi agaknya sedang berlomba agar menjadi yang paling inovatif. Pembaruan generasi, pelatihan untuk memacu kreativitas, hingga pengaturan tata letak ruang kerja pun sudah menjadi hal lumrah (dan seakan menjadi prasyarat) ketika ingin membawa atmosfer yang lebih kreatif. Cara kerja Google seakan menjadi patokan. Berharap agar kultivasi ide-ide baru bisa menjadi cepat sehingga perusahaan tidak perlu khawatir akan tergerus perkembangan zaman. Termasuk, apa yang tengah dilakukan saat ini: menjadi relevan dalam era Mobilisasi – Orkestrasi.
Namun, di luar dari human capital dan ruang kerja yang didesain sedemikian rupa, masih ada hal yang tidak boleh dilewatkan: culture alias budaya. Perubahan yang tampak mata tidak akan berarti apa-apa jika budayanya juga tidak ikut diubah. Boleh jadi, memiliki human capital dari generasi milenial adalah suatu potensi besar sebuah perusahaan. Tetapi, sudahkah disilplin menjadi tata nilai dalam setiap aktivitas?
Apa yang membuat sebuah perusahaan selalu menjadi inovatif?
Mentolerir Kesalahan Tidak Sama Dengan Mentolerir Inkompetensi
Pencarian solusi dan inovasi melibatkan eksplorasi terhadap hal yang belum kita ketahui. Maka tidak heran jika kesalahan dan kegagalan akan kerap menjadi teman selama perjalanan sampai akhirnya menemukan mana inovasi yang sesuai dengan keadaan pasar. Masalahnya adalah, masih banyak human capital yang merasa bahwa mentolerir kesalahan adalah cara perusahaan memaafkan kegagalan.
Pada praktik idealnya, seseorang yang berani mengeksplorasi seharusnya memiliki sifat disiplin. Ketika satu kesalahan terjadi, ia akan berusaha mencari jalan lain dengan kemungkinan kesalahan yang lebih kecil. Ia tidaklah sembarangan mengambil alternatif. Sedangkan, individu yang tidak disiplin hanya sekadar mengeksplorasi tanpa melakukan persiapan (hingga perhitungan) terlebih dahulu. Memang benar, menciptakan inovasi membutuhkan orang yang kompeten dan disiplin.
Keinginan untuk Bereksperimen Mempersyaratkan Disiplin Tinggi
Tanpa sifat disiplin, semua hal akan terlihat sebagai sebuah eksperimen. Sedangkan, eksperimen yang dilakukan berdasarkan sifat disiplin akan melihat pada kemungkinan dan juga potensi perusahaan. Mereka tidak akan asal-asalan. Riset pun dilakukan karena ingin memberikan inovasi yang hasil akhirnya paling mendekati kebutuhan pasar dan perusahaan.
Tanpa sifat disiplin, ketika menemukan kegagalan dari satu hasil eksperimen, ia tidak segera menargetkan dirinya untuk membuat eksperimen baru. Dalam perusahaan, melakukan sesuatu tanpa jangka waktu yang jelas akan cukup berisiko untuk produktivitas dan pengembangan produk.
Disiplin juga Membutuhkan Psychological Safety
Psychological safety merupakan suatu kondisi dimana setiap individu bisa mengemukakan pendapatnya tanpa merasa takut akan cibiran atau pandangan negatif dari sekitarnya. Dalam lingkungan organisasi, hal ini menjadi cukup penting. Tidak mungkin inovasi yang diiringi kedisiplinan akan muncul dan menjadi budaya apabila para human capital yang didalamnya tidak merasa aman secara psikologis.
Ketika seseorang menjabarkan ide ataupun hasil eksperimennya kepada forum, di situ setiap anggota forum bisa memberikan umpan balik. Tentu saja, umpan balik yang bersifat konstruktif, mengkritisi data dan metodologi. Bukan mengkritisi hal-hal yang tidak esensial. Perlu diketahui pula, siapapun boleh mengkritisi dan harus siap dikritisi. Bukan berarti hanya yang berada pada level atas saja yang bisa memberikan umpan balik. Mereka yang ada di timnya pun juga bisa.
Keadaan psychological safety yang demikian bisa membantu terbentuknya budaya disiplin. Mereka akan sadar bahwa suatu inovasi tidak akan bisa dieksekusi tanpa bantuan tim yang lain. Dan hal itu membutuhkan sifat disiplin.