Sadar atau tidak, perkembangan teknologi saat ini tengah mengubah kehidupan kita. Sebut saja fenomena kehadiran platform. Pernahkah di tahun 2007 lalu kita membayangkan bahwa kita dapat memanggil ojek dengan aplikasi di smartphone?
Beberapa kebutuhan dasar seperti makanan pun menjadi mudah didapat. Tetapi sadarkah kita kalau kemudahan itu ternyata juga membawa dampak negatif?
Kita merasa ingin memiliki semua. Baik kebutuhan tersier ataupun keahlian yang harus kita update terus menerus. Akhirnya beberapa dari kita merasa \”terlalu penuh\”. Baik dari segi mental atau fisik.
Melihat unggahan di media sosial sang idola kini tak lagi menyenangkan. Melihat karir teman yang melesat malah semakin tidak termotivasi.
Jika merasa demikian, tenang. Kita tidak sendiri.
Mari kita dalami satu kisah dari Elizabeth Dulemba, seorang ilustrator lulusan University of Glasow. Dalam sesi TED Talk-nya, ia mengatakan bahwa hidupnya terlanjur \”stuck\”. Bukan karena kekurangan, kehidupan ekonominya bahkan sudah melampaui \”American Dream\” dari hasil penjualan buku cerita anak karangannya yang laris manis.
Meski demikian, ia merasa belum hidup. Di usianya yang hampir kepala 5, ia hanya mampu menjalankan 1 dari 5 mimpi yang pernah ia tuliskan pada saat umurnya 25 tahun. Akhirnya, dengan dukungan suaminya, ia bertekad pindah ke Skotlandia untuk menempuh salah satu mimpinya, mencapai gelar magister.
Sewaktu Dulemba bersiap untuk pindah ia melihat banyaknya barang yang ia miliki di rumah. Ia baru menyadari kalau selama ini sudah menjadi “korban iklan” ketika mendapati 5 aroma sabun cuci piring yang berbeda di dapurnya. Itu adalah salah satu contoh dari duplikasi atas barang yang ia miliki. Bersamaan dengan hal itu, Dulemba menjadi tahu mengapa manusia senang menumpuk barang.
Menyederhanakan Diri Sendiri
Kisah Elizabeth Dulemba mungkin tidak asing di telinga kita. Saya dan juga Anda mungkin juga pernah mengalami hal serupa.
Disadur dari buku Self Driving karya Prof Rhenald Kasali, saat ini kita sedang berada di titik krisis pada garis peradaban. Ketika ilmu pengetahuan berkembang, maka manusia bertambah pintar tetapi tuntutan untuk memangkas yang rumit pun menjadi prioritas.
Coba kita lihat pisau lipat Swiss Army. Bagaimana jadinya jika semua fungsi yang bermanfaat tersebut dikeluarkan secara bersamaan? Yang ada, pisau canggih ini menjadi tidak berguna. Maka dari itu, rumus Einstein yang paling mutakhir juga sederhana. Bisa menebaknya? Ya, E=mc2.
Lalu, bagaimana caranya agar kita menjadi \”sederhana\” kembali? Kita bisa melakukan apa yang disebut dengan “decluttering”.
Decluttering adalah kegiatan di mana kita dapat memilah apa saja yang penting dan berguna dari milik kita. Yang lebih menarik, kita dapat menerapkan decluttering di berbagai aspek.
Misalnya saja yang dilakukan oleh Mark Zuckerberg, Steve Jobs, dan Sundar Pichai dalam gaya berpakaian. Memilih untuk berpakaian lebih simple membuat mereka lebih fokus dengan apa yang benar-benar penting.
Langkah pertama yang perlu kita lakukan sebelum decluttering adalah mengetahui tujuan hidup kita: Apa yang menjadi fokus penting kita saat ini? Kita bisa bertanya pada orang-orang di sekeliling mengenai kelebihan diri atau datang pada lembaga asesmen.
Setelah mengetahui apa yang benar-benar penting untuk kita, saatnya menyingkirkan yang tidak perlu.
Marie Kondo melalui bukunya \”The Life-Changing Magic of Tidying Up\” mengajarkan konsep \”Spark Joy\”. Sedangkan, ada pula konsep \”MIT: Most Important Things & Most Important Task\” yang dapat digunakan di berbagai aspek.
Ketika saya masih menjadi mahasiswa desain, saya memang membutuhkan 2 penggaris dengan merk berbeda. Namun meletakkannya di meja akan membuat ruang kerja saya terbatas. Maka saya memutuskan untuk menata penggaris tersebut bersama alat tulis yang lain sehingga saya dapat mudah mengambilnya.
Lambat laun kuliah saya tidak lagi membutuhkan penggaris. Maka penggaris tersebut berpindah tangan ke adik tingkat. Dan begitu seterusnya. Selain menghemat ruang, hal tersebut juga berarti menghemat anggaran pengeluaran saya.
Dimulai dari hal-hal seperti itu, kita bisa mulai menyederhanakan hidup kita. Lama-lama, ketika sudah menjadi kebiasaan, pola pikir (mindset) kita pun juga terbiasa untuk membuat prioritas terhadap pikiran kita.
Semoga kita selalu ingat untuk fokus dengan yang paling penting di hidup kita masing-masing.