Inilah mindset tuntutan zaman baru. Meskipun diberi nama corporate mindset atau mindset korporat, bukan berarti mindset ini adalah untuk mereka yang mengabdi pada perusahaan atau hanya berlaku untuk dunia usaha. Bukan itu. Ini adalah mindset tuntutan baru bagi kita semua yang hidup pada zaman baru, zaman digital yang serba cepat, mobilitas tinggi, informasi melekat pada diri setiap pemimpin, pelayanan, atau calon pemimpin.
Artinya, ini juga berlaku bagi kita semua. Entah kita seorang penerbang atau pelaut, masinis kereta api atau supir truk, penyanyi atau atlet, pegawai negeri atau pejabat negara, dosen atau dokter, wirausaha atau politisi — semua orang.
Tuntutan itu adalah respons
Bayangkan jika seseorang mengirimi Anda sebuah pesan, tetapi Anda baru meresponsnya sehari kemudian. Ini adalah mindset lama!
Sepuluh sampai dua puluh tahun lalu respons seperti itu bisa diterima. Namun, tidak hari ini. Bahkan, respons satu jam kemudian saja dirasa sudah terlalu lama. Kita hidup dalam era kecepatan eksponensial, di mana manusia menuntut kesegeraan, real time. Inilah corporate mindset.
Untuk mudahnya, kira-kira begini. Kalau Anda masih memiliki mindset birokrat (ini bukan sebutan untuk PNS belaka, melainkan untuk siapa pun yang belum ber-mindset korporat), Anda masih memiliki sikap seperti ini:
Pertama, Anda sangat terikat dengan waktu dan tempat. Waktu Anda adalah antara pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Di luar itu, Anda merasa bahwa itu adalah jam pribadi Anda, pribadi keluarga, di luar kantor.
Anda juga merasa bahwa bekerja itu terikat tempat, yaitu meja kerja di kantor Anda. Oleh karena itu, di luar jam dan tempat kerja Anda menolak melayani dan meminta orang lain sabar menunggu. Kalau Anda tak ada di tempat, pekerjaan tak dieksekusi. Waktu terbuang sia-sia.
Ini tentu berbeda dengan mereka yang ber-mindset korporat yang sadar betul bahwa teknologi informasi telah membuat jarak dan waktu mati. Manusia bisa terhubung 24 jam sehari, 7 hari seminggu, tanpa terikat waktu dan tempat. Oleh karena itu, di mana pun dan kapan pun ia bisa terhubung, tanpa harus melihat jam, bisa turun tangan merespon. Sesegera mungkin eksekusi dilakukan. Waktu sangat berharga dan tak dibiarkan hilang sia-sia karena harus menunggu. Respons segera dilakukan. Anda bisa menikmati semuanya berbarengan, ya bekerja, ya bermain.
Kedua, rasa memiliki sangat kuat. Namun, memiliki berarti menguasai. Sikal yang dipakai adalah seperti menjaga warung, menunggu pada waktu dan tempat pelayanan, bukan menjemput bola atau proaktif. Semenara itu, yang bermental korporat cenderung melayani, proaktif, mendatangi.
Ketiga, sikap terhadap uang tampak jelas dalam pelaksanaan anggaran. Manusia bermental birokrat punya kecenderungan tidak \”menanam\” dan tidak mengambil inisiatif \”untuk membuka\” sesuatu. Mereka baru bekerja kalau anggarannya ada. Persis seperti anak-anak yang belum belajar atau belum diberi kesempatan mengambil keputusan oleh orangtuanya di rumah. Akibatnya, segala kesempatan dipandang sebagai constraint. Ada rasa frustasi terhadap boleh-tidak boleh.
Akibatnya, manusia yang seperti ini menjadi kurang kreatif, kurang daya dobrak, dan jiwa kewirausahaannya rendah.
Ini berbeda dengan manusia ber-mindset korporat yang melihat uang sebagai ilusi yang bisa diciptakan dari kekuatan ide, inisiatif, kepercayaan, dan reputasi. Bagi mereka, setiap masalah adalah peluang untuk diatasi. Mereka berprinsip di setiap dinding selalu ada pintu.
Sikap berikutanya adalah perhatian pada media sosial. Manusia-manusia birokratis punya kecenderungan hanya melihat media sosial sebagai alat hiburan pribadi, gaya hidup belaka. Mereka juga khawatir rahasia pribadi mereka akan diketahui orang lain sehingga mereka amat berhati-hati menyimpan rahasia.
Sebaliknya, manusia ber-mindset korporat melihat media sosial sebagai alat untuk menangkap aspirasi, melakukan komunikasi, alat bantu bekerja, serta alat untuk engagement dan berinovasi.
Kelima, manusia birokrat punya kecenderungan membuat alasan terhadap masalah yang dihadapi, sedangkan manusia korporat justru mencari solusi.
Hal ini terkait dengan sikap keenam, yaitu terhadap perilaku manusia ber-mindset birokrat yang punya kecenderungan takut menyaksikan perubahan. Mereka menjadi repot sendiri dan cenderung defensif, malah memaksakan segala sesuatu yang baru agar tunduk pada peraturan yang sudah ada. Mereka tidak memberikan solusi-solusi baru. Hanya memaksakan. Akibatnya, terkesan ribet dan menutup pintu terhadap ketukan perubahan.
Dan terakhir, yang ketujuh, sikapnya terhadap strategi. Strategi hanya disikapi sebagai suatu cara untuk kemajuan, tetapi hanya direspons sebagai suatu perintah yang mati dan tertutup. Strategi bagi mereka adalah perintah sehingga gagal atau berhasil bukanlah sesuatu yang harus dipikirkan. Cukup dijalankan saja sehingga menutup diri terhadap kreativitas. Apalagi mereka guyub, ingin sama rata-sama rasa dengan semua rekan kerja. Tak merasa perlu ada langkah terobosan.
Ini berbeda dengan mereka yang ber-mindset korporat yang punya kecenderungan sangat mengedepankan strategi. Bagi mereka, strategi adalah cara berpikir untuk mencapai tujuan. Dan, karena mereka sangat berorientasi pada hasil dan proses, maka kreativitas sangat diperlukan. Mereka percata, strategi tak dapat dipisahkan dari implementasi, mereka sadar betula tak semuanya bisa dikerjakan sendiri. Oleh karena itu, mereka membutuhkan mitra dan kerja sama. Syaratnya adalah: rela berbagi kue.
Mindset korporat menjadi tuntutan zaman, di mana pun kita berada. Rakyat boleh tidur pukul 10 malam, tetapi pemerintah dan aparatnya harus berhaga 24 jam. Kantor Anda boleh tutup pukul 5 sore, tetapi layanan dan produk-produknya tetap dicari orang 24 jam. Teknologi mengikuti manusia, memberi layanan tiada batas yang bisa memfasilitasi kesejahteraan manusia. Ia menjadi sumber kegembiraan jika manusia bisa melihat dunia baru ini dengan kacamata yang disrupted. Kalau seseorang masih hidup dalam peradaban lama yang terikat waktu dan tempat, dengan mindset birokrat, mereka pasti hanya akan bisa mengelak dan menolak berdamai.
Tentukanlah di mana Anda berada dan belajarlah menerima disruption ini!* Anda bisa mempelajari lebih dalam mengenai disruption melalui Reformulating Strategy in the Era of Disruption atau Marketing in the Era of Disruption.
*dikutip dari buku Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber karya Prof. Rhenald Kasali
Sangat mencerahkan