Saya pernah membahas bahwa sebagai bangsa, kita suka sekali membangun, namun sayang, kurang suka merawat.
Akibatnya lihat saja, banyak sekali gedung dan fasilitas publik yang baru selesai dibangun, sebentar kemudian sudah terlihat rusak. Atapnya bocor, cat atau dindingnya mengelupas, retak-retak, terlihat kotor dan tak terawat.
Apalagi di masa lalu saat koruptor merajalela, bahkan banyak gedung yang rusak sebelum diresmikan, bahkan mangkrak hingga hari ini.
Kita juga menjadi bangsa yang suka mengawasi, tetapi kurang suka diawasi. Akibatnya kita bisa dengan cepat menemukan kesalahan orang lain, tetapi sulit mengakui kesalahan yang kita buat sendiri.
Kita suka menilai, tetapi kurang suka dinilai. Kita suka mengkritik, tetapi kurang suka dikritik. Kita suka mengevaluasi, tetapi kurang suka dievaluasi.
Itulah potret sebagian masyarakat kita. Juga, potret diri kita. Akui sajalah.
Bicara soal mengawasi, menilai dan mengevaluasi, siapa pun pasti mengakui pentingnya. Mau di sini, mau di luar begri sama saja. Siapa lalai pasti celaka. Apa yang terjadi kalau setiap pekerjaan tidak diawasi, dan tidak dievaluasi? Akibatnya pasti fatal. Saya ajak anda ke Teluk Meksiko, melibat langkah fatal berikut.
Deepwater Horizon
Dalam industri migas, kasus terbesar dari kelalaian proses evaluasi tercermin dari tenggelamnya salah satu anjungan minyak lepas pantai terbesar di dunia: Deepwater Horizon. Anjungan yang berlokasi di Teluk Meksiko, Louisiana, Amerika Serikat, itu milik perusahaan pengeboran asal negara itu, Transocean, yang disewa oleh perusahaan energi asal Inggris, BP Plc.
Kisah tentang terbakarnya Deepwater Horizon ini menjadi ribuan berita. Ia berserak dalam berbagai tulisan di media cetak, media online, dan tayangan di ribuan stasiun TV dunia. Bahkan kisah ini kemudian diangkat ke layak perak dengan judul yang sama: Deepwater Horizon.
Bagi Anda yang menyaksikan film tersebut tentu paham apa penyebab meledaknya rig Deepwater Horizon. Iya, lantaran ingin menghemat biaya dan kuatnya desakan agar ladang minyak laut dalam itu segera berproduksi (kebetulan memang sudah terlambat 43 hari dari rencana), mereka memangkas salah satu proses.
Celakanya, itu proses yang sangat penting, yakni uji ketahanan semen yang dipasang di dasar laut sana. Apakah semennya sudah cukup keras, sudah cukup kuat, sudah cukup stabil, ketika proses eksplorasi dilakukan? Evaluasi atas hal inilah yang dipangkas oleh BP dengan alasan untuk mempercepat proses produksi dan sekaligus memangkas biaya.
Akibatnya fatal. Ketika dilakukan uji coba produksi, semen yang ada di dasar laut ternyata belum cukup kuat. Alhasil, lumpur yang terpompa melebihi kapasitas. Ini kemudian disusul oleh pelepasan gas yang kemudian menyebabkan rig tersebut terbakar.
Bencana itu menyebabkan 11 pekerja tewas, 17 luka-luka dan tumpahan minyak mentah dari patahan pipa mencapai 5.000-7.000 barel per hari. Diperkirakan saat itu sudah sebanyak 6 juta barel (atau setara 600 juta liter) minyak mentah yang membanjiri kawasan pantai Teluk Meksiko. Ini tercatat sebagai salah satu pencemaran terbesar di dunia, mengalahkan tumpahan minyak dari kapal tanker Exxon Valdez pada 1989. Bencana ini juga sekaligus menyebabkan terjadinya kerusakan alam terbesar dalam sejarah AS.
Akibat ledakan tersebut, Presiden AS Barack Obama turun tangan langsung memantau penanganannya. Bahkan dia terpaksa menjadwalkan ulang kunjungannya ke sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Seandainya saja ketika itu evaluasi dilakukan, pasti tak akan terjadi bencana yang fatal. Bukan saja BP tidak akan mengalami kerugian, bahkan perusahaan itu bakal menangguk untung besar. Anda tahu, cadangan minyak mentah yang tersimpan di ladang minyak tersebut diperkirakan mencapai 3 miliar barel, atau hampir setara dengan cadangan minyak terbukti (kerap diistilahkan dengan P1) milik negara kita.
Mahal sekali kerugian yang bukan hanya ditanggung BP, tetapi juga kita semua. Bayangkan, cadangan minyak mentah sebanyak itu tertumpah di laut begitu saja! Itulah kerugian yang harus kita tanggung bersama akibat lalai dalam melakukan evaluasi.
Harganya Terlalu Mahal
Bicara soal ini, BUMN kita terbilang hebat. Mereka punya tradisi yang bagus dalam melakukan evaluasi. Dan, inovatif.
Ini cerita dari salah seorang eksekutif BUMN. Kisahnya begini. Tahu bahwa evaluasi bukan proses yang menyenangkan, ia memilih untuk tidak melakukannya di ruang rapat. Apalagi di hadapan jajaran eksekutif lainnya. Bukan pula di ruang kerjanya. Lalu, di mana?
Di banyak tempat dan berpindah-pindah. Kadang ia melakukannya sambil ngopi sore hari di kedai-kedai kopi. Kalau waktunya mendesak, ia melakukannya sambil sarapan dan makan siang bersama.
Kali lain, ia melakukannya sambil main biliar di siang hari. Kalau waktunya cukup longgar, ia akan mengajak koleganya yang mau dievaluasi untuk ke gym terlebih dahulu ataujogging. Mereka melakukan olahraga bersama.
Ketika suasana sudah cukup rileks dan cair, barulah ia menyampaikan hasil evaluasinya. Dalam kondisi semacam ini, Anda tahu, pesan akan lebih mudah sampai dan mudah diterima.
Kenyataannya begitu. Kolega-koleganya bisa menerima dengan baik hasil evaluasinya—meski tentu tak semuanya (ada saja orang yang keras kepala dan selalu resisten). Lalu, yang lebih penting lagi adalah mereka meresponnya secara positif. Misalnya, dengan mengusulkan gagasan-gagasan untuk perbaikan.
Begitulah, setiap orang punya cara dalam melakukan evaluasi. Intinya adalah evaluasi harus selalu dilakukan.
Ini penting. Apalagi bagi eksekutif di industri migas. Anda tahu, bisnis migas adalah bisnis padat modal dan padat teknologi. High risk, meski sekaligus juga high return. Jadi, bisnis ini harus dikelola dengan cermat dan penuh dengan kehati-hatian.
Kadang kita mempunyai anggapan yang salah terhadap eksekutif yang terlalu hati-hati dalam mengambil keputusan. Kita kerap menganggapnya penakut, lamban, dan tak berani memikul tanggung jawab. Kita lupa dalam bisnis migas, setiap kelalaian—termasuk lalai dalam melakukan evaluasi, harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, seperti pada kasus Deepwater Horizon tadi.
Meski begitu, dalam konteks evaluasi di industri migas, menurut saya, pesannya mesti sampai dan diterima dengan baik. Ini yang nomor satu. Soal suasana, atau kapan enaknya menyampaikan evaluasi, itu urusan nomor dua. Di bisnis yang high risk, seperti industri migas, perbaikan tak bisa ditunda. Risikonya terlalu tinggi, dan harga yang harus dibayar terlalu mahal, sehingga kita enggan membayarnya.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan