Banyak prestasi yang dicapai oleh BUMN sepanjang tahun 2016, tetapi kalau kita telisik ke belakang, yang paling banyak menjadi sorotan adalah soal pembentukan holding. Dan dari enam holding sektor (pertambangan, migas, pangan, perbankan-jasa keuangan, jalan tol & kontruksi dan perumahan), hanya satu yang selalu heboh, yaitu migas. Mungkin di situ ada banyak pihak yang berkepentingan juga.
Padahal tahun 2016 Indonesia menyaksikan gegap gempita BUMN dalam pembangunan infrastruktur. Itu terjadi di Papua (381 Km), Sumatra (Medan-Binjai, Palembang-Indralaya, Bakauheni-Terbanggi besar, Pekanbaru-Dumai), sejumlah pelabuhan (yang paling menonjol adalah Kuala Tanjung yang menjorok ke Malaka dan Singapura), bendungan di NTT, serta bandara-bandara (misalnya Silangit Sumatra Utara, Belitung, Jambi, dan Labuan Bajo).
Tak ketinggalan di Jakarta dan sekitarnya. Seperti pembangunan kembali jalan layang Bekasi–Cawang Kampung Melayu yang mangkrak selama 17 tahun dan kini dikerjakan Waskita Karya. Tentu juga jalan raya Bogor-Sukabumi yang lama ditunggu pelaku ekonomi. Baru kali ini BUMN mengambil alih pembangunan yang dibiarkan mangkrak swasta.
Tercatat sejumlah kehebohan dari industri migas. Pertama, soal holding dan kedua soal Undang-undang Migas.
Dalam soal holding kita tinggal menunggu revisi PP No. 44 (2005) tentang Penyertaan Modal Negara agar payung hukum holding ini bisa segera dieksekusi. Bila akhir tahun ini PP itu sudah bisa keluar, maka inbreng saham antar-BUMN bisa menjadi opsi PMN untuk memperbaiki struktur BUMN. Maka saya berharap pada awal 2017, Kementerian BUMN setidaknya sudah mulai bisa mengeksekusi holding migas dan tambang.
Ini menjadi penting karena untuk mengejar pertumbuhan yang tinggi, industri Indonesia memerlukan pasokan energi dan bahan baku dan setengah jadi olahan tambang dalam jumlah besar. Hal itu juga sekaligus untuk mengurangi impor dari barang-barang yang bahan bakunya ada di sini.
Selain holding, Indonesia perlu segera mengeluarkan undang-undang migas yang lebih menjamin masa depan pasokan dalam negeri. Kita ketahui, pascareformasi, atas desakan IMF, peran NOC (national oil company) khususnya Pertamina terus dikecilkan.
UU No 8/1971 yang memberi hak monopoli bagi Pertamina digantikan dengan UU No 22/2001. Akibatnya kini Pertamina hanya menguasai 21% dari total produksi dan hanya 26% dari total cadangan migas nasional. Ini sangat kurang menguntungkan dan fragile.
Kita memberi porsi yang lebih besar pada peran international oil company pada saat peran mereka di negara-negara lain justru sedang dikurangi. Padahal, tren dunia saat ini justru terbalik.
Sejak 1970-1980-an negara-negara penghasil minyak justru memberi porsi yang lebih besar lagi BUMN-nya. Misalnya saja Petrobras (Brasil), Petronas (Malaysia), PTT (Thailand), PDVSA (Venezuela), Stat Oil (Norwegia) dan seterusnya.
BUMN itu tak hanya menguasai cadangan minyak di negara-negara masing-masing, melainkan juga diberi insentif untuk mengeksplorasi di luar negri.
Apabila dikolaborasikan dengan UU Otonomi Daerah, maka hasilnya adalah amat tergantung pada leadership dan politik yang berkembang di masing-masing daerah. Yang jelas, selama 10 tahun terakhir, selain kebijakan yang semakin rigid, terdapat banyak ketidakpastian, sehingga dalam 10 tahun terakhir produksi sektor hulu minyak Indonesia turun dari 2,6 juta setara minyak sehari (barrel oil equivalent per day atau Boed) menjadi tinggal 2,2 juta Boed.
Ini tentu memerlukan perhatian khusus. Karena untuk mendapatkan minyak yang lebih besar, Indonesia perlu menata kembali BUMN migasnya, menjadikan lebih berotot.
Sektor Pangan
Situasi yang masih agak rumit tampaknya ada di sektor pangan mengingat kebanyakan pengusaha kita terlena menikmati konsesi impor.
Indonesia saat ini masih tertinggal dalam ketahanan pangan bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Apalagi harga bahan-bahan pangan kita semakin tak stabil belakangan ini. Oleh karena itu kerja keras dalam holding pangan yang direncanakan ini juga memerlukan sentuhan yang serius.
Apalagi BUMN di sektor pangan Indonesia secara manajerial hanya sedikit yang sudah bersentuhan dengan transformasi. Harus diakui sebagian besar manajemen perusahaan BUMN di sektor ini masih sangat tradisional, sehingga, selain teknologinya ketinggalan, dengan model bisnis yang obsolete, juga menanggung beban murah SDM yang terlalu tua.
Namun demikian, kabar gembira justru ada di sektor keuangan dengan geliat transformasi di hampir semua lini perbankan. Mulai dari BRI-Mandiri-BNI-BTN, pegadaian hingga PNM. Dengan total aset Rp 2.515 (Desember 2015) holding di sektor ini kelak akan menghasilkan sinergi yang amat powerful.
Saya melihat momentum peluncuran satelit BRISAT telah menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kegiatan inklusi keuangan. Ini juga bagus untuk membantu meremajakan BUMN kita menghadapi peristiwa disruption yang sangat dahsyat ke depan, asalkan dilengkapi dengan innovation couth dan perbaikan business model.
Self Disruption
Ke depan, selain keasyikan menikmati proyek-proyek besar pemerintah, ada beberapa catatan yang ingin saya sampaikan.
Pertama, ke depan BUMN-BUMN kita akan mengahadapi dunia baru yang semakin protektif. “Life changing game of disruption” mengancam hampir semua incumbents. Karena dana PMN tak pernah diberikan untuk memajukan teknologi, usaha, business model, maupun SDM, maka BUMN sendirilah yang harus meremajakan dirinya.
Kedua, diperlukan dukungan publik yang besar untuk melakukan sinergi dan efisiensi. Ini baik untuk mengejawantahkan Pasal 33 UUD 45 hususnya dalam menciptakan “sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat”.
Ketiga, saya melihat geliat pembaruan juga ada di BUMN sektor-sektor tertentu yang dulu diramalkan akan mati. PT Djakarta Lloyd misalnya, yang antara 2008-2013 rugi dengan total Rp554 miliar, maka tahun ini sudah kembali menunjukkan tanda-tanda sehat. Di perkirakan tahun ini PT Djakarta Lloyd akan meraup untung Rp40 miliar. Ini tentu belum seberapa bila dibandingkan dengan BRI yang tahun lalu meraup untung Rp25,2 Triliyun.
Keempat, BUMN akan menghadapi tekanan-tekanan publik yang tak ringan di tahun 2017, mengingat battle landscape BUMN sudah agak mirip dengan landscape politik, yaitu “tidak kelihatan”.
Negative campaign terutama diarahkan pada fasilitas infrastruktur publik yang terus diperbaharui (bandara, pelabuhan dan transportasi). Sedangkan kerja sama strategis dengan China juga tak disenangi oleh lawan-lawannya di Asia, serta kaki-tangannya di sini.
Di luar itu, BUMN juga tengah menghadapi business model baru yang dilakukan para pengusaha global yang berpotensi menggerus kekayaan Indonesia lewat teknologi yang tak kasat mata. Pariwisata, transportasi, keuangan (melalui Fintech), perdagangan, pangan dan telko adalah bidang yang harus terus dikawal untuk mencegah disruptive besar-besaran.
Kuncinya adalah disruptive mindset dan melakukan self disruption. Saya percaya BUMN masih akan mencetak banyak prestasi di tahun 2017.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan