Rio – Koran Sindo

Anda masih ingat tiga kata yang menjadi kredo bagi para atlet olimpiade? Ketiganya adalah citius, altius, fortius atau faster, higher, stronger. Artinya, lebih cepat, lebih tinggi dan lebih kuat.

Menjadi ketiganya, kalau bisa, itulah mimpi setiap manusia. Dan itulah naluri paling dasar manusia: pengakuan akan eksistensinya. Dengan menjadi yang tercepat, tertinggi dan terkuat, pengakuan akan berdatangan, bahkan dari masyarakat dunia. Pengakuan ini jelas sangat prestisius. Bayangkan begini. Jumlah penduduk dunia saat ini mencapai lebih dari 7 miliar.

Dari sebanyak itu, berapa yang sanggup menempuh jarak 100 meter dalam waktu kurang dari 10 detik? Hanya puluhan. Satu di antaranya dan yang terbaik hingga saat ini adalah Usain Bolt, sprinter asal Jamaika, 9,58 detik. Berapa banyak yang sanggup melompat setinggi 6,15 meter? Hanya satu, Sergey Bubka (Rusia). Ia bahkan bertahan selama dua dekade, sebelum akhirnya dipecahkan rekornya oleh atlet Prancis, Renaud Lavillenie, dengan 6,16 meter.

Berapa banyak di antara miliaran penduduk dunia yang sanggup bertarung sekuat Mike Tyson? Hanya beberapa. Berkat prestasinya, Bolt, Bubka atau Tyson, dielu-elukan banyak orang. Perbaikan ekonomi menjadi kenyataan. Setiap pertandingannya selalu ditunggu-tunggu. Banyak yang menyanjung. Negara pun memperlakukannya sebagai pahlawan. Perjuangannya menginspirasi banyak orang, terutama anak-anak muda.

Dana dan Sinergi 

Di antara miliaran penduduk dunia tadi, Indonesia beruntung mempunyai satu anak muda yang tergabung dalam kelompok 22 pebalap mobil tercepat di dunia. Di dunia ini ada ribuan pebalap, tetapi hanya 22 orang itulah yang sanggup memacu kecepatan mobilnya melebihi 330 km/jam. Saking cepatnya sampai mobil yang dikendarainya pun disebut jet darat. Ajang itu namanya Formula 1 (F1).

Anak muda kita yang membanggakan tadi adalah Rio Haryanto. Saya sebut kita beruntung karena sebetulnya banyak negara yang ingin pebalap mobilnya masuk dalam kelompok 22 tadi. Malaysia ingin, begitu pula dengan Singapura. Sialnya, dua negara tetangga kita tersebut baru bisa menyediakan arena sirkuitnya saja. Malaysia di Sirkuit Sepang, sementara Singapura menyulap jalan rayanya menjadi arena balap. Malaysia, melalui Petronas-nya, pun baru bisa menjadi sponsor untuk tim Mercedes.

Baik Malaysia maupun Singapura tidak menyumbangkan pembalapnya di ajang F1 tahun ini. Kita memang belum punya sirkuit untuk ajang balap sekelas F1, tetapi kita sudah punya Rio Haryanto. Rio bahkan bukan hanya menjadi satu-satunya pebalap asal Asia Tenggara, tapi juga asal Asia, yang berhasil menembus ajang F1. Untuk tahun ini ajang F1 bakal digelar di 21 putaran (negara) dan disiarkan langsung oleh stasiun-stasiun TV mancanegara.

Menurut perkiraan, setiap kali ajang F1 digelar, tak kurang dari 0,5 miliar pasang mata akan menyaksikannya baik secara langsung di arena balap maupun melalui layar TV. Capaian Rio tentu membanggakan, patut kita dukung, meski tak perlu dengan cara yang kurang elegan sebagaimana digagas Menteri Pemuda dan Olahraga kita, Imam Nahrawi” yakni dengan memotong gaji para PNS.

Kasihan para PNS kita. Potongannya sudah banyak. Saya kira BUMN kita, kalau tidak sering diganggu, masih mampu menyokong kebutuhan dana untuk Rio. Jumlahnya memang tidak sedikit meski juga tidak terlalu banyak untuk kelas F1. ”Hanya” 15,5 juta euro atau sekitar Rp225 miliar. Pertamina sudah urunan dengan 5,2 juta Euro (Rp75 miliar).

Kini tinggal kita tunggu partisipasi pihak lain. Tapi untuk lebih maju, jangan lihat partisipasi BUMN ini dari sisi charity-nya alias sumbangan belaka. Itu sudah kuno. Lihat dari sisi bisnisnya. Berapa banyak pasang mata dari warga dunia yang bakal kian mengenal perusahaan-perusahaan asal Indonesia. Apalagi sebagian ajang F1 bakal digelar di negara-negara kaya, seperti Abu Dhabi dan Bahrain, dan negara maju seperti Jepang, Jerman, atau Inggris serta Amerika Serikat (AS).

Kalau dalam proyek Rio ada dana APBN, saya juga setuju. Itu lebih baik ketimbang dana di APBN dikorup, baik oleh para perancangnya di DPR atau eksekutif. Sebab mereka juga memakai moto yang sama: citius, altius dan fortius. Lebih cepat dalam melakukan korupsi, lebih tinggi saat mengajukan anggaran dan lebih kuat membentengi diri agar tidak kena jerat hukum. Maka, lebih baik dana APBN dipakai untuk membuat dunia jadi lebih mengenal dan mengakui ketangguhan atlet Indonesia. Bukan hanya mengenal Bali atau Raja Ampat di Papua.

Monumen 

Setiap bangsa butuh dan membangun monumen. Untuk apa? Apakah sekadar kenang-kenangan? ”Memory is the treasure house of the mind where in the monuments there of are kept and preserved,” kata Thomas Fuller, sejarawan Inggris. Itu sebabnya banyak bangsa membangun monumen. AS punya Patung Liberty yang menjadi monumen selamat datang bagi para imigran.

Taj Mahal di India menjadi monumen cinta yang mendalam dari Kaisar Shah Jahan terhadap istrinya, Ratu Mumtaz Mahal. Kita pun punya Monumen Nasional (Monas) yang menjadi peringatan atas perjuangan bangsa ini dalam merebut kemerdekaannya. Kini, di era yang semakin modern, monumen tak lagi benda mati atau bangunan, tapi bisa berupa sosok-sosok hidup yang melegenda.

Sosok-sosok ini menawarkan begitu banyak inspirasi bagi dunia kita yang semakin tua dan mudah terbelah. Tempatnya bukan di sembarang place, tetapi bisa di dunia cyber. Inilah peradaban baru itu. Anda tahu Jesse Owen? Keberhasilannya meraih medali emas dalam ajang Olimpiade 1936 di Berlin menjadi fenomenal karena mematahkan teori ras Hitler. Bukan ras yang menentukan keunggulan suatu bangsa, melainkan perjuangan dan kerja keras.

Selama lebih dari 350 tahun kita dijajah Belanda. Penjajahan tersebut membuat kita memiliki mental inlander dan inferior. Katanya, bangsa kita sulit meraih prestasi internasional. Siapa bilang? Kita pernah punya Ellyas Pical dan Chris John yang menjadi juara dunia tinju. Atau Yayuk Basuki dan Angelique Wijaya untuk cabang tenis. Di cabang bulu tangkis kita pernah berjaya.

Di sana ada banyak nama, mulai dari Ferry Sonneville, Tan Joe Hok hingga Rudy Hartono dan Liem Swie King atau Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti yang menjadi pengantin Olimpiade. Mereka adalah monument dalam bidang masing-masing. Setiap saat kita merindukan anakanak Indonesia tampil di ajang olahraga dunia. Dan sebentar lagi kita akan menyaksikannya.

Di ajang F1. Kata Ralph Waldo Emerson, filsuf dan penulis ternama asal AS, ”Death comes to all, but great achievements build a monument which shall endure until the sun grows cold.” Semoga Rio menjadi monumen bagi anak-anak muda kita dan para pendukung dananya tidak kapok mencetak sejarah.

Sebab, bagaimanapun, harus diakui, lebih banyak orang yang gemar melarang, menghambat, dan menakut-nakuti ketimbang yang membuka jalan, mendukung, dan memberi harapan. Maju terus Pertamina dan BUMN Indonesia.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

 

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *