Hari-hari ini mungkin Anda dapat menemui buku baru saya yang berjudul Agility: Bukan Singa Yang Mengembik. Ini tentu ada hubungannya dengan banyaknya permintaan yang datang pada akhir tahun untuk membahas Outlook tahun depan (misalnya 2015) yang selalu membuat kepala saya pening.
Padahal bagi sahabat-sahabat saya yang bergelut dalam bidang ekonomi, semua masa depan itu seakan-akan bisa dipetakan. Intinya, pengusaha dan eksekutif ingin mencari tahu apa saja yang akan terjadi pada perekonomian nasional setahun ke depan. Lalu, apa respons yang harus diambil agar dapat. Dipersiapkan jauh-jauh hari. Well, itu baik-baik saja. Hanya, maaf, ini tentu amat merepotkan.
Businesslandscape yang kita hadapi kini benar-benar berbeda. Bahkan amat sulit diramalkan. Kalau sepuluh tahun yang lalu kita bisa pakai scenario planning, maka kini dunia sudah menganut pendekatan lain: competitive dynamics . Ya , medan yang kompetitif yang cara mengayuhnya sudah sama sekali berbeda.
Kita tahu dalam beberapa tahun belakangan dunia berubah sangat cepat dipicu oleh perkembangan teknologi informasi. Data, informasi, produk, karya seni, bahkan uang dan inovasi sudah berubah dari serba fisik menjadi serba digital yang cair dan cepat berpindah. Berkat teknologi informasi pula perubahan yang terjadi di suatu negara bisa langsung berpengaruh terhadap negara-negara lainnya.
Itu juga membuat ketergantungan suatu negara dengan negara lainnya menjadi semakin kuat. Kondisi ini membuat kita semakin sulit untuk meramalkan apa yang bakal terjadi. Saya punya contohnya. Beberapa waktu lalu muncul analisa, jika pemerintah mengalihkan subsidi BBM, nilai rupiah bakal menguat.
Kenyataannya itu tidak terjadi karena pada saat yang bersamaan terjadi perubahan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS) yang diikuti oleh melemahnya mata uang Rusia. Kondisi ini memaksa pemerintah Rusia menaikkan suku bunganya dari semula 10,5% menjadi 17%. Siapa yang bakal menyangka bahwa penguatan rupiah tidak terjadi karena faktor Rusia?
Jadi, teknologi informasi juga era digital memang membuat segalanya menjadi lebih transparan secara serentak. Tapi itu sekaligus juga meningkatkan ketidakpastian. Outlook mungkin layak dijadikan referensi, tetapi bukan lagi sebagai dasboard untuk melihat semua keadaan di sekitar kita.
Maka lebih penting bagi kita untuk paham manajemen seperti apa yang sebenarnya dituntut dalam lingkungan yang demikian dinamis. Ini tentu ada analisisnya, menyusul memudarnya relevansi sejumlah merek besar dalam percaturan global seperti Nokia dan Kodak, atau menurut perkiraan para ahli, kini juga tengah dilalui oleh Starbucks dan banyak perusahaan lokal kita. Ini terjadi secara luas yang pada akhirnya dapat menjawab apakah bisnis kita masih relevan dan apakah kita masih dapat bertahan dengan kompetensi yang “terperangkap” seperti ini sehingga seakan-akan kita akan sukses selama-lamanya? Banyak orang yang tak paham, bahwa pemerintahan kita saja tengah berubah,
menjadi lebih responsif, lebih tangkas (agile) dan membentuk sebuah dinamika baru yang membuat segala outlook dan kompetensi lama dalam usaha kita menjadi kurang relevan. Dalam bingkai ekonomi baru itu akan terjadi banyak keajaiban, meretasnya banyak ikatan lama, serta sejumlah surprise yang menuntut kita keluar dari zona nyaman, dan berubah, mengadopsi agility.
Rigidity ke Agility
Saya mengamati, negara kita rupanya tengah mengalami masa transisi dari the age of rigidity and corrupts menjadi agile and clean nation. Apa maksudnya? Anda tentu paham betul dengan ungkapan “kalau bisa diperlambat, mengapa dipercepat.” Itulah, antara lain, wajah birokrasi kita di masa lalu, pada era rigidity.
Semuanya begitu lambat. Begitu rigid. Kita begitu sulit berubah. Mengapa itu terjadi? Jelas karena banyak kepentingan yang tersembunyi di dalamnya. Anda tentu mengenal kata mafia. Di negara ini, di manamana ada mafianya. Ada mafia minyak, mafia beras, mafia gula, mafia bawang putih, mafia tanah, mafia garam, dan Anda bisa menambahkan puluhan mafia lainnya.
Semua itu membentuk sikap mental yang serba rigid. Ada regulatory rigidity, space rigidity, personal rigidity, technology rigidity, resource rigidity dan seterusnya. Pokoknya semua serba rigid, ya aturannya, areanya, manusianya, sumber dayanya dan seterusnya. Kalau itu mafia maka mafia ini sesungguhnya bekerja sebagai pemburu rente (rent seeker).
Jangan tunjuk orang lain, karena akan sangat mungkin perusahaan tempat Anda bekerja pun telah dipetakan KPK, PPATK, atau badan resmi lainnya sebagai pelaku yang turut membuat semua menjadi rigid, alias mafia. Mafioso telah menjadi strategi yang dipakai pelaku usaha untuk mengamankan usaha yang rigid dan tak pasti karena tak ada yang mampu meretasnya. Mafia atau para pemburu rente membuat segalanya menjadi macet.
Mengurus izin menjadi begitu lama. Mau mengirimkan bantuan prosesnya berbelit- belit. Urusan tanah untuk membangun jalan tol, perluasan pelabuhan dan bandara, atau untuk membangun kawasan relokasi pengungsi bencana Sinabung tak beres-beres. Mau menaikkan harga BBM sulitnya bukan main. Ditolak di sanasini, termasuk oleh DPR. Karena infrastruktur tidak mengalami kemajuan, dunia usaha mengalami banyak sumbatan dan ketidakpastian. Mereka mengatur strategi menyiapkan buffer stock yang lebih besar, menggunakan aneka moda transportasi, termasuk menyiapkan proteksi hukum yang berlapis-lapis, risk management yang mahal,
serta ada kalanya tetap membayar upeti, bribery atau sejenisnya melalui tangan pihak ketiga yang terkesan resmi (apakah konsultan, sponsorship, dana CSR, melalui pengacara dan sebagainya) Kondisi inilah yang, saya cermati, ingin diputus oleh pemerintahan Jokowi-JK melalui gerak cepat keduanya.
Anda tentu bisa menyaksikannya. Urusan relokasi tanah untuk pengungsi Sinabung, yang lama terkatung-katung, mereka bereskan dalam hitungan hari. Perizinan yang lama dan berbelit dipangkas melalui penerapan layanan satu pintu. Para pencuri ikan yang dulu dibiarkan saja beroperasi di lautan kita, kini ditangkapi dan perahunya dibakar. Harga BBM yang dulu sulit betul kalau mau dinaikkan, langsung mereka naikkan selagi DPR-nya sibuk bertengkar sendiri meski kini diturunkan lagi akibat turunnya harga minyak dunia.
Semua ini mudahmudahan baru tahap awal, sehingga walau hasilnya belum besar tetapi direction -nya mulai direspons sejumlah perusahaan. Lalu soal kurs mata uang dan sebagainya saya kira akan tetap sama: uncertainty. Kalau ini terjadi maka ketangkasan usaha (business agility) menjadi penentu masa depan dalam dunia yang penuh dinamika ini.
Maka kapabilitas perusahaan pun perlu diperbaiki, bukan untuk “membaca” apa yang akan terjadi, tetapi untuk bergerak cepat mendahului datangnya “gelombang” agar kita tak tergulung di dalamnya, malah kita bisa dibantu melaju lebih cepat. Diberi semacam energi penggerak. Itulah cara kerja agile government. Cepat, sigap, dan trengginas dalam memanfaatkan momentum. Strategi semacam ini juga sangat ampuh “mematikan” semua ancaman. Ketika lawan belum lagi siap menghadapi, segalanya sudah selesai.
Dynamic Capability
Dua ilustrasi tadi, baik di lingkungan internasional dan dalam negeri, adalah perubahan-perubahan yang mesti direspons oleh perusahaan-perusahaan kita. Bagaimana caranya? Saya kira perusahaan perlu mengembangkan dynamic capability-nya. Apa itu? Sederhana-nya, dynamic capability adalah kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, membangun dan merekonfigurasi kompetensi internal dan eksternal untuk merespons cepatnya perubahan di lingkungan bisnis.
Jadi, perusahaan jangan larut hanya dalam keunggulan operational capability, tetapi mereka juga harus terus memperbaiki kapasitasnya. Baik kapasitas inovasi maupun kompetensinya. Kita semua menyaksikan betapa perusahaan yang hanya fokus pada operational capability kini mengalami kesulitan menghadapi dunia yang begitu cepat berubah.
Menghadapi perubahan perilaku, pola komunikasi dan pola konsumsi para konsumen, yang dipicu oleh hadirnya teknologi informasi dan digital. Dulu, Kodak dan Fuji pernah berjaya. Sekarang, entah di mana posisi mereka? Nokia pernah begitu merajai pasar ponsel. Kini, posisinya semakin surut. Mungkin tak lama lagi kita juga bakal menyaksikan pertarungan yang ketat antara industri perbankan dengan operator selular.
Bukankah semakin lama ponselponsel kita semakin digdaya, semakin agile itu sebabnya kini kita menyebutnya dengan istilah smartphone. Perubahan-perubahan semacam itu tentu bakal menuntut perusahaan untuk memperluas dan mengembangkan kompetensinya. Langkah semacam ini, saya lihat, sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan.
Perusahaan migas BP, misalnya, memanfaatkan bisnis migasnya untuk modal memperluas kompetensi menjadi perusahaan energi. Jadi, bukan hanya minyak dan gas. Langkah serupa saya kira juga mesti dilakukan Pertamina. Mereka harus mengembangkan sumber-sumber energi baru.
Bukan hanya terpaku pada minyak dan gas. Pertamina harus keluar dari zona nyamannya ketika gaji para pegawainya sudah tinggi namun lifting yang didapat dan keuntungannya tergerus terus. Starbucks, jika hanya mengandalkan bisnis kopinya, juga bakal segera mengalami kesulitan.
Maka mungkin mereka kini harus memperluas kompetensinya dalam industri makanan dan minuman. Hal serupa tengah terjadi dalam bisnis telco, media massa, airlines, food & beverages, tobacco, entertainment, pendidikan, travel, keuangan, riteldanfarmasi. Bahkan, partai politik dan perguruan tinggi serta sekolah internasional saja mengalami pergulatan besar.
Begitulah, kini perusahaan-perusahaan dituntut untuk menjadi lebih agile, lebih sigap dan tangkas, dalam merespons setiap perubahan. Baik perubahan yang terjadi di lingkungan nasional maupun internasional. Itu pula sebabnya saya menyebut tahun 2015 sebagai Tahun Agility. Research mengenai hal ini bisa saudara temui dalam buku baru saya yang saya harap bukan membuat para singa mengembik karena mereka dipimpin oleh seekor kambing.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan