Dulu, dari rumah saya di kawasan Jatimurni, Bekasi, kalau hendak mengajar di kampus Salemba, saya cukup berangkat dari rumah pukul 6.30 atau 07.00 pagi. Hanya dalam satu setengah jam saya sudah tiba, dan masih bisa menghirup udara segar. Lagi pula jalanan belum ramai. Ada macet, tapi tak seberapa.
Kalau mau mengajar ke kampus Depok, dari Salemba kami hanya butuh waktu sekitar satu jam. Paling hanya macet di perlintasan rel kereta api. Begitulah dilema akademisi yang harus mengajar dan mengikuti rapat di dua lokasi kampus yang berjauhan: satu di pusat Jakarta, satu lagi di Jawa Barat. Tetapi belakangan, sebelum matahari terbit saya sudah ingin segera berangkat. Itu pun harus melewati “jalan tikus”, menembus kampung yang kalau berpapasan dengan mobil lain terpaksa kami harus masuk ke pekarangan rumah masyarakat. Kalau telat sedikit dan matahari sudah naik, maka begitu masuk jalan tol, jalan sudah super padat.
Dan akibatnya saya terlambat berjam-jam. Bukan tambah sejam, melainkan bisa tiga jam. Luar biasa! Itu berarti hari masih sekitar pukul 04.30. Saya tidak sendiri, saya lihat tetangga dan masyarakat sekarang juga sudah meninggalkan rumahnya pagi itu. Ratusan motor bergerak cepat, sekali mobil berhenti klakson marah langsung terdengar dari motor di belakang yang jumlahnya, ampun, banyak sekali. Sebagian besar mereka hendak ke Jakarta. Apa yang mendorong mereka berangkat pada pagi buta? Dalam suatu kesempatan, saya mendengar cerita mereka. Katanya, mereka yang tinggal di kawasan penyangga Jakarta, seperti Bogor, Tangerang, Depok, atau Bekasi, kalau berangkat pagi buta sangat memungkinkan tiba di kantor lebih cepat, sejam saja.
Jadi, sekitar pukul 05.30 sudah sampai. Setelah itu ada sebagian dari mereka yang masih bisa sarapan, kemudian melanjutkan tidurnya 1,5-2 jam di mobil atau di ruang kantor kalau pintu kantornya sudah buka. Sekitar pukul 08.00 mereka resmi mulai ngantor. Mengapa tidak berangkat pukul 06.00? Seperti kata saya tadi, mereka bilang, kalau berangkat jam segitu, mungkin baru bisa sampai kantor pukul 09.00. Sesampai di kantor kondisi fisik dan emosinya pasti lelah. Siapa yang tak lelah didera kemacetan 2,5-3 jam di perjalanan? Belum lagi menghadapi tekanan dari rekan kerja yang sinis melihat kita terlambat.
Saya tercenung mendengar cerita mereka. Bagi Anda yang kurang yakin, silakan cek di kantor-kantor. Mungkin belum banyak yang melakoni cara hidup seperti ini, tetapi ada. Saya kira dalam beberapa waktu ke depan, kalau tak kunjung ada perbaikan dalam layanan transportasi publik, jumlahnya pasti akan semakin bertambah. Celakanya, waktu pulangnya kita tak bisa menghemat waktu selain pulang lebih malam setelah sebagian besar orang sampai di rumah. Jadi hampir pasti semuanya tiba di rumah dengan perut lapar dan kondisi fisik yang sudah lunglai. Sementara rumah makan dan perpustakaan kompak pukul 22.00 sudah tutup. Padahal, mungkin banyak orang yang membutuhkan layanan mereka justru di saat jalan sedang macet-macetnya.
Dulu dan Sekarang
Itulah fenomena perubahan sosial yang terjadi di depan mata. Sungguh merisaukan. Kehidupan macam apa yang sebetulnya tengah dijalani oleh para pekerja yang tinggal di kawasan penyangga Jakarta? Belum lagi para buruh yang hanya mampu tinggal di rumah kontrakan yang sempit jauh dari kantor. Baiklah, saya tak ingin menyinggung soal produktivitas. Apalagi membandingkannya dengan pekerja negara-negara tetangga yang setiap hari hanya menghabiskan maksimal dua jam di jalan? Bukan itu yang membuat saya risau, melainkan apa jadinya masa depan keluarga Indonesia?
Apa jadinya dengan hubungan suami-istri (angka perceraian, konflik, dan KDRT) dan anak-anak, yang setiap hari mungkin hanya bertemu satu-dua jam dengan orang tuanya itu pun dengan kondisi fisik yang sudah sangat kelelahan. Dan, ingat kian banyak suami-istri yang keduanya sama-sama bekerja. Dulu, mungkin kita masih mendengar cerita tentang keluarga yang rukun dan bahagia. Setiap hari bisa menikmati makan malam dan berdoa bersama. Kini, berapa banyak di antara mereka yang masih bisa makan malam bersama di ruang keluarga? Dulu mungkin kita masih mendengar ada orang tua yang memeriksa PR dan mendampingi anak-anaknya belajar.
Kini, berapa banyak di antara mereka yang masih punya waktu untuk melakukan hal ini? Dulu mungkin kita masih mendengar ada orang tua yang kerap menceritakan dongeng sebelum tidur pada anak-anaknya. Kini, berapa banyak di antara mereka yang masih sempat menceritakan dongeng sebelum tidur kepada anak-anaknya? Sementara semua yang saya tanyakan di atas masih dilakukan traditional parents di negara-negara maju. Inilah kegelisahan saya sebagai orang tua sekaligus pendidik yang setiap hari berkawan dengan anak-anak Anda, apakah di kampus atau lewat social media.
Backbone Transportasi
Sekarang mari kita sejenak berangan-angan. Andai kita bangun jam 05.30, lalu berolahraga 20-30 menit. Jam 06.00, masih sempat sarapan bersama anak-anak, sebelum melepas atau mengantar mereka ke sekolah. Jam 06.30, mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor. Lalu, jam 08.00 sudah sampai kantor. Bagi Anda yang tinggal di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi, dan bekerja di Jakarta, mungkinkah itu terjadi? Mimpi! Sebaliknya, saya melihatnya sangat mungkin, dengan catatan, jangan pakai kendaraan pribadi. Lupakan pula bus kota, antarkota atau antarprovinsi. Satu-satunya moda yang memungkinkan Anda sampai ke kantor hanya dalam tempo satu jam adalah kereta.
Bentuknya bisa monorel, atau kereta rel listrik. Itu sebabnya saya sangat jengkel ketika pembahasan monorel tertunda-tunda, bahkan terhenti. Kita jengkel ketika mendengar jalan tol baru enam ruas dikejar agar dibangun di tengah kota. Semua itu sama sekali tidak akan membantu mengurai masalah yang membuat kita menghabiskan begitu banyak waktu di jalan. Penambahan ruas jalan tol tadi hanya akan merangsang masyarakat untuk membeli kendaraan pribadi. Belajarlah dari negara-negara maju yang menjadikan kereta api sebagai backbone transportasi publik.
Di sana, semua orang lebih suka menyimpan mobilnya di garasi, atau di area parkir stasiun, dan kemudian mereka melanjutkan perjalanannya ke kantor dengan kereta. Tapi, jangan pembangunan rel dan keretanya diserahkan ke swasta. Semua mesti dikerjakan dan dibiayai oleh pemerintah, sehingga tak perlu memikirkan kapan investasinya bakal kembali. Ini bukan bisnis. Ini public service, yang menjadi tugas utama pemerintah untuk menyediakannya. Jadi sudah tidak selayaknya lagi pemerintah memikirkan return on investment.
Apalagi uang untuk membangun jaringan rel dan keretanya bukan uang pemerintah, tapi uang kita yang dipungut melalui pajak. Bedakanlah antara mengurus return (yang menjadi hitungan kaum bisnis) dengan mengurus keekonomian dan kesejahteraan (yang menjadi urusan negara). Inilah waktunya bagi pemerintah untuk kembali ke khitahnya. Ini soal meningkatkan produktivitas pekerja, memperbaiki daya saing, meningkatkan kualitas hidup keluarga, masa depan anak-anak dan kebahagiaan banyak orang. Kalau pemerintah masih mau hitung-hitungan soal ini, sungguh bebal!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Setuju, bagaimana kalau kawasan perkantoran di bangun di tengah hutan satu satunya transportasi hanya kreta, simpel udaranya segar,akses cepat,kehangatan rumah tangga terjalin jadilah masyarakat yang bahagia /hanya untuk perkantoran tidak untuk pabrik
Kasihan masyarakat Jabodetabek, Tua di jalan. Selain transportasi publik, yang perlu di genjot itu adalah pembangunan daerah dan kota di luar jawa. Pulau jawa itu sdh sesak, istilahnya sudah merupakan “barang jadi”. Saya kadang punya angan2 suatu saat orang akan berbondong2 ke indonesia timur untuk mengadu nasib, mencari nafkah, dan memilih hidup menetap disana, karena ekonomi dan pembangunan nya sudah sangat maju.