Anda tahu Swiss Army? Kita bisa menyebutnya sebagai alat serbaguna. Ada pisau, obeng, bahkan juga kikir, pembuka botol, serta korek kuping. Betul-betul serbaguna.
Apa yang menjadi kekuatan Swiss Army? Selain serbaguna, menurut saya, justru karena simpelnya. Apanya yang simpel? Lihat saja, jika ingin memakai pisau, kita cukup mengeluarkan bagian pisaunya saja. Bagian yang lain tetap tersimpan. Begitu pula jika kita ingin memakai yang lain, yang tidak ingin dipakai tetap tersimpan. Betul-betul simpel.
Idenya dimulai pada 1884 oleh Karl Elsener yang kemudian berkembang menjadi perusahaan besar yang meneruskan tradisi kualitas dan spirit buatan Swiss. Perusahaannya, Victorinox, kini juga memasuki industri travel gear, fashion and fragrances. Semua sukses karena prinsip simplicity tersebut.
Prinsip itu kemudian ditiru banyak inovator. Semakin canggih, harus semakin simpel. Bukan njlimet. Persis kata Leonardo da Vinci, ’’Simplicity is the ultimate sophistication’’. Dan itulah modal keberhasilan Microsoft, Apple, Samsung, Toyota, dan sebagainya.
Mendiang Steve Jobs menyebut prinsip stay foolish. Maksudnya, buatlah seakan-akan penggunanya orang bodoh. Itu tecermin pada gadget-gadget buatan Apple. Lihatlah iPod. Di sana hanya ada lima tombol. Juga iPad. Hanya fitur-fitur yang ingin kita pakai yang perlu kita munculkan. Lainnya biarkan tersimpan.
Hasilnya, Apple begitu menguasai pasar sehingga bisa sedikit sombong, ’’Di dunia hanya ada dua pengguna komputer, yakni pemakai Apple dan mereka yang ingin memakai Apple.’’
Tapi, jangan tanya rumitnya teknologi yang ada di belakangnya untuk membuatnya menjadi simpel bagi para penggunanya. Jobs mengatakan, ’’Mantra saya adalah fokus dan simpel. Untuk itu, buatlah pikiran Anda benar-benar bersih.’’
Dibuat Rumit
Kalau Anda mau menilai apakah gagasan Anda simpel atau rumit, ilmuwan Albert Einstein punya caranya. Katanya, ’’Kalau Anda tidak bisa menjelaskan gagasan Anda kepada anak berusia 6 tahun, berarti Anda sendiri tidak mengerti isi gagasan Anda.’’
Di kita, yang terjadi kerap sebaliknya. Di sekolah, anak-anak balita kita sebetulnya hanya perlu diajak bermain seraya diajari berperilaku yang baik. Tapi, kita membuatnya menjadi rumit dengan mengajari mereka membaca dan berhitung.
Di luar negeri, anak-anak SMA sejak awal hanya fokus pada beberapa mata pelajaran dan mendalam. Jadi, cukup membawa beberapa buah buku. Di kita, kasihan anak-anak sekolah yang terbungkuk-bungkuk membawa puluhan buku, seakan-akan harus tahu semua hal.
Demikian pula untuk menaikkan harga BBM, sebenarnya jauh lebih simpel dan adil –tidak diskriminatif. Tapi, kita memilih cara yang lebih rumit, yakni dengan mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Cara itu terasa kurang adil bagi SPBU-SPBU di jalan tol.
Pekan-pekan ini perhatian kita akan terpusat ke Mahkamah Konstitusi. Di sana, salah satu pasangan capres dan timnya tengah berjuang agar hasil pemilu berpihak kepada mereka. Sebagian di antara kita mungkin tidak mengerti. Apa gunanya berumit-rumit mengerahkan ratusan pengacara dan ribuan saksi? Kata hakim MK, yang penting buktinya kuat atau tidak. Apalagi di mata rakyat sesungguhnya sudah selesai. Maksudnya, pemilu sudah selesai.
Benar kata Kong Hu Cu, orang bijak dan filsuf Tiongkok, ’’Hidup itu sesungguhnya sederhana. Tapi, kitalah yang membuatnya jadi rumit.’’
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan