Di sebuah media online, saya membaca cerita tentang sobat saya, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan, yang terbengong-bengong ketika memantau arus mudik di Stasiun Senen, Jakarta, Lebaran kemarin.
Ia mendapati sejumlah penumpang kereta api kelas ekonomi yang datang ke stasiun tersebut dengan menggunakan taksi. Bagaimana bisa? Saking penasarannya, Jonan bertanya kepada seorang pemudik yang baru turun dari taksi, ”Berapa tarif taksinya tadi?” Sang pemudik menjawab, ”Lima puluh ribu.” Pemudik ini adalah salah satu penumpang Kereta Api Kertajaya tujuan Surabaya.
Anda tahu mengapa Jonan terbengong-bengong? Pasalnya, tarif KA Kertajaya jurusan Jakarta-Surabaya–yang jaraknya sekitar 800 kilometer–ternyata sama dengan tarif taksi tadi, yakni Rp50.000. Padahal, jarak tempuh taksi tadi mungkin hanya sekitar 10 kilometer. Harga tarif KA Kertajaya ini bisa murah sebab pemerintah menanggung sebagian biayanya dalam bentuk subsidi Rp60.000 per penumpang.
Jadi kalau penumpang mampu membayar tarif taksi Rp50.000, apakah pemerintah perlu memberikan subsidi lagi. Bukankah lebih baik subsidi tadi dialihkan untuk membangun jalur kereta api di daerah lain? Buat saya, cerita tadi adalah satu dari sejumlah fenomena irasional yang terjadi seputar mudik Lebaran. Mungkin tidak hanya kali ini, tetapi juga pada Lebaran tahun-tahun sebelumnya, dan mungkin kelak Lebaran tahun-tahun mendatang.
Fenomena Wisata?
Dulu mungkin kita masih menganggap mudik sebagai fenomena agama. Umat Islam, setelah menjalani ritual keagamaan –berpuasa sebulan penuh– mengakhirinya dengan saling bermaaf-maafan. Dengan sanak-saudara, dan terutama dengan orang tua yang tinggal di kampung halaman. Namun, kalau kita cermati, mereka yang pulang mudik ternyata bukan hanya umat Islam.
Banyak orang yang nonmuslim pun memanfaatkan momentum tersebut untuk pulang ke kampung halamannya, menengok orang tua dan sanak-saudara, bahkan di sana mereka ikut merayakan Lebaran. Mereka bersilaturahmi, saling bermaaf-maafan. Kita melihat Lebaran akhirnya bukan hanya menjadi milik umat muslim, melainkan milik bersama. Melihat terus meningkatnya jumlah orang yang kembali ke kampung halaman saat Lebaran, kalangan sosiolog menyebut mudik sebagai fenomena sosial dan budaya.
Disebut fenomena sosial karena ini adalah momen di mana orang mencoba kembali untuk menemukan akar kesejatian dirinya. Mudik seakan-akan menjadi semacam ajang pelepasan. Para pemudik kembali ke kampung halaman, melepaskan diri dari semua kesibukan yang mendera selama bekerja di perkotaan. Lalu disebut sebagai fenomena budaya, karena mudik sudah menjadi tradisi. Pokoknya Lebaran harus mudik.
Tapi belakangan ini, kita juga bisa melihat ajang mudik sebagai fenomena wisata. Selama masa Lebaran, kita bisa melihat betapa sejumlah lokasi wisata di sejumlah daerah diserbu oleh para pengujung. Mereka tidak hanya menikmati indahnya kekayaan alam, sarana hiburan, tetapi juga menikmati hidangannya.
Fenomena Bisnis
Jelas, mudik adalah fenomena bisnis. Banyak pedagang yang memanfaatkan momentum menjelang dan semasa Lebaran dengan menaikkan harga jual produknya. Hotel-hotel di daerah tujuan pemudik, selama masa Lebaran selalu penuh. Begitu pula restoran-restoran dan pusat-pusat jajanan. Selain itu, banyak pula bisnis baru yang bermunculan selama musim mudik, di antaranya jasa infal untuk pembantu rumah tangga.
Lalu, bisnis rumah penitipan hewan peliharaan mulai kelas biasa-biasa saja sampai kelas mewah. Ada juga bisnis yang bersifat tahunan, tetapi permanen. Contohnya, bisnis perbaikan jalan di sepanjang jalur pantai utara jawa (pantura). Selama 2013, biaya perbaikan jalan sepanjang jalur ini menghabiskan anggaran hingga Rp1,28 triliun.
Sekadar informasi, yang disebut jalur pantura membentang sepanjang 1.340 kilometer, mulai Anyer di Provinsi Banten hingga Ketapang di Banyuwangi, Jawa Timur. Untuk tahun 2014, anggaran perbaikannya diperkirakan meningkat. Sebagai gambaran, untuk perbaikan ruas jalur pantura yang ada di wilayah Jawa Barat saja, yang sepanjang 70 kilometer, menghabiskan dana hingga Rp700 miliar. Belum termasuk perbaikan untuk jalur pantura yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Proyek Nasional
Bagi saya, mudik juga fenomena pergerakan penduduk terbesar di seluruh dunia. Mereka yang dari luar negeri, dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan berbagai daerah lainnya berduyun-duyun kembali ke Jawa dan berbagai daerah lainnya. Begitu pula sebaliknya terjadi perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari Jawa ke berbagai daerah lain di luar Jawa. Jumlahnya setiap tahun selalu meningkat.
Untuk tahun ini, jumlah pemudik diperkirakan mencapai lebih dari 27 juta jiwa. Angka ini naik hampir 7% dibandingkan tahun lalu. Itu sebabnya jumlah pemudik yang menggunakan mobil pribadi pada tahun ini tumbuh 100%, sementara pemudik dengan menggunakan sepeda motor tumbuh sekitar 40%. Dengan perpindahan jumlah penduduk yang sebesar itu, bisa dipastikan sarana transportasi yang tersedia tak akan pernah memadai. Begitu pula dengan jalan-jalan raya.
Permintaannya pasti akan jauh lebih tinggi ketimbang pasokannya. Maka tak heran kalau kemacetan semasa mudik menjadi sangat luar biasa. Melihat besarnya perpindahan jumlah penduduk yang terjadi hanya dalam waktu sekitar satu-dua minggu, rasanya ritual mudik ini sudah tak memadai lagi jika ditangani dengan pendekatan business as usual. Hanya ditangani dengan cara-cara biasa. Sudah waktunya mudik dijadikan semacam ”proyek nasional”.
Apalagi korban jiwa yang terjadi semasa mudik Lebaran tidak sedikit jumlahnya. Setiap mudik, saya selalu sedih mendengar cerita tentang ”pemecahan rekor”. Mudik dua tahun lalu mereka harus menempuh waktu perjalanan hingga 20 jam. Untuk tahun lalu naik menjadi 22 jam. Dan, seterusnya. Sambil bergurau, mereka berkata, bukan mudik kalau tidak macet. Betulkah? Mestinya tidak. Saya menangkap gurauan itu sebagai pelarian dari rakyat kita yang sejatinya tidak pernah letih berharap agar perjalanan mudik bisa lebih singkat. Dan, tidak kena macet.
Dengan menjadi semacam ”proyek nasional”, mudah-mudahan mudik Lebaran 2015 bisa menjadi ”pemecahan rekor baru”. Bukan 24 jam, tetapi turun menjadi 20 jam, atau bahkan 18 jam. Saya yakin ini bisa dilakukan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan