Cobalah periksa isi dompet Anda dan hitung ada berapa banyak kartu plastik. KTP, SIM, kartu pajak (NPWP), kartu pegawai, beberapa kartu kredit dan debit, kartu asuransi, serta kartu rumah sakit. Mungkin juga bisa ditambahkan kartu keanggotaan untuk klub kebugaran, golf, frequent flyer dari maskapai penerbangan, dan keanggotaan profesi.
Wow, itu saja sudah 13. Tak banyak yang menyadari, semakin hari saku orang Indonesia semakin tebal.
Saya saja sudah tak lagi menaruh dompet di saku celana. Tidak enak rasanya.
Maka, sebenarnya saya senang ketika pemerintah menggagas e-KTP. Mulanya bayangan saya, e-KTP ini bakal menjadi semacam single identity number (SIN) yang pernah marak sebagai bahan diskusi pada awal 2000-an. Di Amerika Serikat ada social security number. Nomor itu menjadi nomor pembayaran pajak saya, nomor mahasiswa, SIM, asuransi, rumah sakit, dan seterusnya.
Nomor dan Data
Dari bentuknya, kartu SIN sama persis dengan KTP biasa, tetapi di dalamnya ditanam chip yang bisa diisi berbagai data. Apa saja data yang bisa di-input di dalamnya? Sangat beragam.
Mungkin Anda pernah membaca berita tentang inovasi yang dilakukan I Gede Winasa ketika menjabat Bupati Jembrana selama dua periode (2000-2005 dan 2005-2010). Dia menjadikan KTP sekaligus sebagai kartu kesehatan dan kartu kredit. Dengan kartu itu, setiap warganya yang sakit bisa berobat cuma-cuma ke rumah sakit atau Puskesmas.
Di sana warga Jembrana tinggal menyerahkan KTP-nya. Di dalam KTP itu ada chip yang berisi, antara lain, data riwayat kesehatan si pemilik kartu. Untuk mengetahui data tersebut, dokter tinggal memasukkan KTP ke peranti card reader. Berbekal data itu, dokter bisa memberikan obat yang pas buat pasiennya. Dan, di Jembrana kala itu, semua biaya berobat ditanggung pemerintah kabupaten.
Kartu SIN lebih dari sekadar itu. Banyak fungsi yang bisa diintegrasikan di dalamnya. Nomor kartu SIN, misalnya, bisa berfungsi sebagai nomor rekening bank atau kartu kredit. Jadi, kita bisa bertransaksi hanya dengan memakai KTP.
Tapi, bagi sebagian orang, kartu SIN juga berpotensi membuat mereka bertambah repot. Misalnya jika nomor kartu SIN sekaligus menjadi nomor pajak atau NPWP. Jadi, di kartu ini tersimpan semua data pajak Anda, misalnya PPh atau PBB.
Kalau semua data pada kartu tersebut diintegrasikan, profil Anda yang sebenarnya bakal terungkap. Misalnya, Anda seorang Pegawai Negeri Sipil dengan gaji, katakanlah, Rp 10 juta per bulan. Tapi, kalau merujuk data PBB, ternyata Anda tinggal di kawasan elit. Lalu, dari pajak kendaraan yang Anda bayarkan, terungkap bahwa mobil milik Anda ternyata bukan mobil murah.
Data tersebut juga bisa dikroscek dengan uang Anda yang tersimpan di bank dan pola belanja Anda. Misalnya, rekening tabungan Anda ternyata mencapai miliaran rupiah. Kemudian, belanja Anda dengan kartu kredit per bulan ternyata mencapai Rp10-an juta. Setiap musim libur Anda dan keluarga selalu berwisata ke Eropa. Pada gilirannya, Anda tentu harus menjelaskan semua “ketidakwajaran” tersebut kepada PPATK. Merepotkan kalau Anda ingin sembunyi, bukan? Tapi itulah awal sebuah penegakkan keadilan.
Mungkin itu pula sebabnya gagasan SIN yang ramai dibahas pada awal 2000-an dengan cepat mengempis. Penerapan SIN bakal membuat repot banyak kalangan yang biasa menelikung. SIN tentu kurang cocok dengan selera sebagian kecil elite kita, seperti teman-teman di DPR atau di instansi pemerintahan lainnya yang sudah biasa menikmati transaksi kas tanpa ada yang melacaknya.
Alhasil, ide SIN akhirnya “turun pangkat”, menjadi e-KTP. Menurut saya, ini perkembangan yang sangat mengecewakan. Maka, saya sangat antusias ketika perkara ini akhirnya ditelisik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan anggaran senilai Rp5,9 triliun, rakyat kita membayar terlalu mahal jika hanya mendapatkan e-KTP. Seharusnya SIN. Kira-kira begitulah.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan