Sebagian kita mungkin tersenyum melihat repotnya pejabat yang menjungkirbalikkan logika soal LCGC. Itu singkatan dari low cost green car, mobil murah ramah lingkungan. Pemerintah ingin menjadikan LCGC sebagai instrumen untuk menekan subsidi BBM.
Di banyak negara maju, kita pasti sulit menemukan mobil murah yang sekaligus ramah lingkungan. Mobil murah jelas ada. Mobil ramah lingkungan juga ada. Tapi, mobil murah sekaligus ramah lingkungan? Kita tahu, kebanyakan mobil ramah lingkungan, entah yang berbahan bakar listrik, tenaga surya, atau hybrid, harganya masih mahal.
Maka, menggabungkan konsep low cost dengan green car ibarat kawin paksa: Akan banyak masalah. Contohnya, betapa repot para pejabat kita itu dalam mencari pembenaran untuk LCGC.
Mobil itu dijual dengan harga murah—meski sejatinya harga Rp125 juta tak murah-murah amat bagi sebagian masyarakat kita. Sebagian pembelinya mungkin mereka yang karena kesejahteraannya membaik beralih dari sepeda motor ke mobil. Jadi, bukan kelompok masyarakat yang sangat kaya. Kelompok pembeli itu tentu ingin mobil dengan biaya operasional yang murah.
Namun, karena mobil LCGC diembel-embeli kata green car, mereka diimbau untuk memakai bahan bakar pertamax. Mana mempan! Sebab, apa gunanya mereka membeli mobil murah kalau biaya operasionalnya ternyata lebih mahal. Jelas mereka akan memilih premium.
Alhasil, upaya mengotak-atik supaya LCGC menjadi klop itulah yang membuat kita tersenyum maklum. Misalnya, Pertamina diminta mengubah diameter nozzle BBM Pertamax dengan ukuran yang lebih kecil. Agar pas dengan lubang tangki BBM mobil LCGC- yang katanya diameternya dibuat lebih kecil, padahal kenyataannya tidak.
Saya ragu apakah Pertamina mau melakukannya. Kita tentu masih ingat ketika tahun lalu pemerintah merencanakan mengurangi konsumsi BBM bersubsidi. Caranya, setiap mobil dipasangi alat pengendali BBM bersubsidi. Biaya pemasangan alat itu tidak murah dan menjadi tanggungan Pertamina. Tapi, entah mengapa sampai kini kita tak pernah tahu bagaimana nasib kebijakan tersebut.
Jadi, kalau nasib kebijakan yang semula “kelihatan serius” saja kini tidak jelas, apalagi LCGC. Menurut saya, mengaitkan mobil LCGC dengan penghematan subsidi BBM malah akan membuat pemerintah kehilangan fokus. Yang sudah kusut menjadi semakin ruwet.
Untuk mengurainya, sebaiknya pemerintah fokus pada dua hal. Pertama, kurangi subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Kedua, kembangkan transportasi publik yang aman dan nyaman dengan kereta sebagai backbone-nya. Problem utama penghapusan subsidi BBM sebetulnya sosialisasi. Rakyat tahu subsidi BBM tidak tepat sasaran. Penikmat subsidi justru orang-orang mampu.
Kurangi subsidi BBM, bisa dilakukan secara gradual, maka banyak masalah terselesaikan. Maka, soal LCGC langsung beres. Inisiatif mengembangkan bahan bakar alternatif akan bermunculan, gerakan penghematan energi bakal marak, dan seterusnya.
Lalu, dana penghapusan subsidi BBM bisa dialokasikan untuk subsidi pendidikan dan kesehatan, pembangunan infrastruktur, dan penyediaan transportasi publik. Kita tahu, di negara-negara maju orang yang mampu pun lebih suka naik kereta ketimbang mobil pribadi. Michael Bloomberg, mantan Walikota New York, misalnya, selalu berangkat dan pulang kantor dengan kereta. Jadi, negara bisa kita sebut sejahtera ketika orang-orang kayanya mau memakai transportasi publik, bukan malah orang yang dulu miskin menjadi mampu membeli mobil.
Kita berterima kasih karena Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sudah mewariskan jaminan kesehatan sosial nasional (JKSN) dan Pesawat Kepresidenan. Kita tunggu satu lagi warisan yang sangat penting: mengurangi subsidi BBM.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan