Sekembalinya dari Amerika Serikat pada 1998, Elisa Kasali memilih tinggal di pinggiran Jakarta, tepatnya di kawasan Kelurahan Jatimurni, Bekasi. Saat itu dia melihat anak-anak kampung di sekitar rumahnya tidak mengerti pentingnya memakai sandal dan cuci tangan.
Kuku tangan dan kaki mereka bahkan kerap panjang dan hitam. Perut anak-anak itu juga buncit. Posyandu (pos pelayan terpadu) yang menjadi ujung tombak layanan kesehatan buat anak dan balita terletak cukup jauh. Inilah yang kemudian membuat Elisa berinisiatif mendirikan posyandudigarasirumahnya. Sebagai istri seorang guru besar di perguruan tinggi ternama di Indonesia, Elisa pun mengutarakan keinginannya kepada sang suami untuk membangun sebuah tempat belajar agar anak-anak tadi berani punya mimpi masa depan.
Gayung bersambut, si Abang––begitu Elisa biasa memanggil suaminya–– mendukung niatnya itu. Elisa kemudian mendirikan taman baca di tanah kosong di depan rumahnya yang telah dia beli. Bahan bacaan pertama di taman itu adalah buku-buku yang dia bawa dari AS. Ini sedikit cahaya bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu yang masih terlilit masalah ekonomi. Tidak cukup sampai di situ, Elisa pun berinisiatif mendirikan institusi pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak(TK).
Adahalyangistimewa, Elisa mencari anak-anak yang ingin sekolah, bukan orang tua yang mencari sekolah sebagaimana lazim terjadi selama ini. Elisa bahkan tak segan menyusuri kampung untuk mencari anak-anak yang perlu disekolahkan. Awalnya Elisa merasa kesulitan. Tapi, perlahan Elisa memberikan pemahaman kepada setiap orang tua yang ditemui tentang pentingnya pendidikan. Malah para orang tua yang datang ke posyandu miliknya ditanya apakah mereka mempunyai anak usia PAUD dan TK.
Elisa mencari anak-anak dari keluarga kurang mampu seperti anak tukang gorengan, tukang ojek, dan anak kurang beruntung lainnya. Akhirnya pada 2009 Elisa secara resmi mendirikan PAUD-TK dan diberi nama Kutilang yang letaknya satu kilometer dari Rumah Perubahan, lembaga yang didirikan suaminya, Rhenald Kasali. Sekolah ini gratis bagi keluarga kurang mampu. ”Gratis bukan berarti gratisan. Artinya kita sebagai pengelola harus mempunyai jiwa socialpreneur.
Yayasan tidak boleh bergantung pada donatur. Kami menyubsidi Kutilang dari pelatihan yang diadakan Rumah Perubahan,” kata Elisa kepada KORAN SINDO(14/3). Elisa mengaku pendidikan berkualitas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi alat pendidikan edukatif (APE) cukup mahal dan memerlukan perawatan yang bagus. Begitu juga dengan guru yang harus berkualitas dan diperhatikan kesejahteraannya. Tetapi, dengan kesungguhan dan ketulusan, PAUD-TK Kutilang ini telah menjadi contoh sebagai lembaga pendidikan modern.
Sejak tahun ajaran lalu PAUD–TK Kutilang tidak hanya diisi anak dari keluarga kurang mampu. Sekitar 10% siswa berasal dari keluarga mampu yang bisa memberikan subsidi kepada mereka yang tidak mampu. Sedangkan tahun ajaran sekarang ada 30% dari keluarga mampu. Walaupun begitu, subsidi dari Rumah Perubahan tetap masih dibutuhkan. ”Kami memang menyasar keluarga yang tidak mampu dan keluarga yang mempunyai kemampuan lebih.
Sedangkan keluarga yang berada di kategori ‘tengah’ saya yakin bisa membiayai anak mereka untuk sekolah di tempat yang baik lainnya,” kata Elisa. Yastati, salah satu guru di PAUD –TK Kutilang, mengatakan, sekolah mengadakan survei apakah sebuah keluarga tergolong tidak mampu atau tidak. ”Guru akan datang ke rumah calon wali murid,” kata Yastati. Dalam benak Elisa, anak-anak tersebut berhak punya masa depan, berhak punya kebahagiaan yang sama dengan anak-anak lain.
Selama ini mereka terkungkung nasib orang tuanya. Padahal, bukan tidak mungkin anakanak itu berlian-berlian yang belum diasah. Kehadiran Elisa di wilayah yang tercecer dari kebisingan Ibu Kota ini ibarat ”Malaikat Kecil” yang menebarkan harapan kepada anak-anak agar mereka punya jalan nasib yang lebih baik.