SEJAK DULU SAYA KAGUM dengan kemampuan para pengusaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kita untuk bertahan dalam iklim bisnis yang seperti apapun. Ketika iklim bisnis sejuk dan nyaman, bisnis mereka berkembang ke mana-mana. Ketika iklim bisnis tak ramah, banyak pebisnis UMKM yang menyusutkan skalanya, tapi tak sampai menutup usahanya. Bagi mereka, maju mundur dalam bisnis adalah hal biasa.
Belakangan membuat saya terpukau tak hanya kemampuan mereka bertahan, tetapi juga potensinya yang luar biasa. Bicara potensi, supaya jelas, saya ajak Anda untuk sedikit mencermati data yang menjadi bahan diskusi saya dalam acara Dialog Perbankan dan Ekonomi di Metro TV, Selasa, 21 Januari 2014, bersama dengan Menteri Koperasi dan UKM Syariefuddin Hasan, Ketua Asosiasi Produsen dan Eksportir Handicraft Indonesia (ASEPHI) Rudy Lengkong, dan Direktur Bank Danamon Ali Yong.
Data terbaru dari Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini kita memiliki 56,5 juta unit UMKM—dengan porsi terbesar di usaha skala mikro. Dari jumlah tersebut, ternyata yang memiliki akses ke perbankan baru mencapai 25%-nya. Bagi saya, jumlah ini terbilang masih sedikit. Mengapa bisa begitu?
Masalah utama adalah soal legalitas. Maksudnya, kebanyakan mereka ternyata tidak memiliki badan hukum baik yang berupa Perseroan Terbatas (PT) maupun Commanditaire Vennootschap (CV). Inilah yang membuat perbankan kesulitan mengucurkan kredit ke mereka. Mengapa para pebisnis skala kecil tersebut enggan mengurus legalitas usahanya?
PERIZINAN USAHA MEMANG masih menjadi masalah besar di negeri ini. Menurut Global Competitiveness Report yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, sepanjang 2012 peringkat Indonesia turun empat tingkat dibandingkan tahun sebelumnya. Jika tahun 2011, Indonesia masih berada di peringkat ke-46 dari 144 negara, pada 2012 posisinya turun menjadi peringkat ke-50. Menurut laporan tersebut, dua problem teratas dari menurunnya daya saing Indonesia adalah faktor inefisiensi birokrasi pemerintahan dan korupsi. Kita dengan mudah menebak simpul dari dua problem tersebut: perizinan.
Sebetulnya dampak dari tidak adanya izin usaha tersebut bukan hanya membuat kalangan usaha skala kecil sulit memperoleh akses ke perbankan, tetapi lebih luas dari itu. Misalnya, mereka tak dapat menjadi pemasok perusahaan-perusahaan besar. Selain itu, mereka juga tidak bisa memperluas pasarnya ke luar Indonesia atau melakukan ekspor.
Kondisi itulah yang membuat mereka sulit naik kelas dari usaha skala mikro ke skala kecil, atau usaha kecil ke skala menengah. Padahal, bisnis mereka sangat layak didanai. Di sisi lain, para pebisnis skala kecil tersebut juga sebetulnya membutuhkan modal untuk pengembangan usahanya. Tapi, lantaran berbelit-belitnya masalah perizinan, gayung tak pernah bersambut.
Itu sebabnya saya senang membaca berita bahwa pihak Pemprov DKI Jakarta dan sejumlah daerah lainnya mengembangkan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dengan adanya PTSP, pengurusan izin menjadi lebih jelas syaratnya, jelas biayanya dan jelas kapan selesainya. Jadi, lebih ada kepastian.
Saya berharap PTSP dikembangkan secara masif di seluruh Indonesia, sehingga akan ada lebih banyak UMKM yang mau mengurus legalitas usahanya, dan pada gilirannya layak memperoleh pendanaan dari perbankan. Jika sumbat ini berhasil dibuka, mungkin tak lama lagi kita akan menyaksikan era boom UMKM. Semoga.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan