Badai dahsyat menerjang Filipina, menyapu rumahrumah dan perdesaan. Muelmar Magallanes, seorang pekerja bangunan berusia 18 tahun, menerobos badai untuk mengungsikan keluarganya ke tempat yang lebih tinggi.
Setelah selesai, aksi heroik Muelmar tak berhenti di situ. Dia berenang melintasi banjir dan menyelamatkan 30 tetangganya. Setelah menaikkan seorang ibu dan bayinya ke sebuah rakit yang terbuat dari styrofoam, Muelmar yang kelelahan pun hanyut oleh banjir. Tubuhnya ditemukan beberapa hari kemudian.
“Dia menyerahkan nyawanya untuk anak saya,” kata Menchie Penalosa, sang ibu, kepada Daily Mail. “Saya tak akan pernah melupakan pengorbanannya.” Di seluruh pelosok dunia, di mana hati nurani manusia ada, di situ selalu ada pahlawan yang terpanggil untuk mengulurkan tangan. Apakah sebuah gerakan spontan individual, kolaborasi massal, relawan organisasi kemasyarakatan, atau orang yang terpanggil secara kebetulan seperti yang dilaporkan berbagai media dalam hari-hari ini.
Di Manado misalnya seorang tukang ojek yang sedang mengantarkan tamu turun ke jurang menyelamatkan sejumlah orang yang mobilnya terseret air bah. Ketika rakyat tergerak, ke manakah para elite? Justru di panggung demokrasi ini kita jarang melihat semangat kepahlawanan yang muncul atau sengaja dimunculkan pada saat rakyat justru membutuhkan.
Kita hanya melihat kumpulan cercaan pada mereka yang berusaha mati-matian turun ke bawah. Kita hanya melihat kepongahan dan teori yang jauh panggang dari api, yang artinya miskin leadership.
Heroisme Benih Leadership
Badai Haiyan yang menerjang Filipina menjelang pertengahan November 2013 memang sangat dahsyat. Di Kota Tacloban saja badai itu menewaskan sekitar 100 orang dan melukai ratusan orang lainnya. Reporter CNN yang ada di kota itu melaporkan betapa Badai Haiyan, yang oleh penduduk setempat disebut Badai Yolanda, menyebabkan kota tersebut porakporanda bak diterjang tsunami.
Bandara hancur, jaringan telekomunikasi terputus, listrik padam, rumah rata dengan tanah, dan longsor terjadi di mana-mana. Namun, badai yang merenggut nyawa puluhan ribu orang dan menghancurkan rumah-rumah itu juga melahirkan pahlawan-pahlawan. Muelmar salah satunya. Bencana tsunami yang melanda Aceh akhir 2004 juga melahirkan pahlawan-pahlawan.
Majalah TIME mencatat, setelah delapan minggu di pengungsian, ada lima wanita yang memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Lampaseh. Mereka adalah Cut (kehilangan cucunya yang berusia 17 tahun), Neneh (kehilangan tujuh dari sembilan anaknya), Azmi (kehilangan orang tua dan tiga saudaranya), Nuraida (kehilangan tiga saudara), dan Sulastri (kehilangan suami, putri, dan anak bungsunya).
Rumah mereka hancur. Semua hilang, kecuali semangatnya. Berlima, mereka memutuskan kembali ke kampung halaman. Mereka tahu belakang kampung halamannya sudah luluh lantak diterjang tsunami. “Tapi, kami ngotot ingin kembali,” kata Azmi. Ada LSM yang tahu, lalu melibatkan mereka ikut dalam program membangun kembali desanya yang hancur. Jangan lupa, justru di tengah bencana itulah para kombatan Aceh Merdeka sepakat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Berkat kegigihan dan ketulusan hati semua, seluruh energi diarahkan untuk program kemanusiaan dan kedamaian. Perang berhenti, perdamaian dimulai. Di mana ada bencana, selalu ada peluang untuk memunculkan kepemimpinan.
Moment of Truth
Jadi SETIAP KRISIS BUKAN SAJA selalu melahirkan pahlawan- pahlawan, melainkan sekaligus juga melahirkan para pemimpin—dalam segala tingkatan. Bagi saya, krisis bahkan menjadi semacam moment of truth untuk menilai kualitas kepemimpinan para elite. Apakah dia seorang pemimpin sejati, pemimpin berkualitas emas, atau pemimpin gadungan yang berkualitas tembaga.
Dalam kondisi krisis, seorang pemimpin sejati akan berkilau sinarnya, sementara pemimpin gadungan menghilang entah ke mana. Banjir yang terjadi di Jakarta dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia serta bencana letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara—yang tidak menunjukkan gelagat kapan bakal selesai––adalah ajang untuk menguji kualitas para pemimpin kita.
Dalam kondisi krisis, seorang pemimpin sejati akan memimpin rakyatnya untuk bersamasama menyelamatkan para korban seraya mencari jalan keluarnya. Dia bisa menjadi problem solver atau part of the solution. Bukan malah menjadi part of the problem. Sementara para pemimpin gadungan justru menghindar, tak jelas di mana keberadaannya.
Atau, dia malah sibuk bicara ke sana ke mari, menciptakan problem-problem baru dengan menuding kiri-kanan, mengalihkan tanggung jawab, atau sibuk mencari siapa yang salah, dan memaksa-maksa orang lain untuk meminta maaf. Dia melakukan itu karena dalam kondisi krisis (baca, bencana) dia tidak tahu apa yang mesti dilakukannya.
Mengherankan. Padahal, kalau dia menunjukkan empatinya saja, masyarakat tentu akan lebih menghargai. Di mata seorang pemimpin yang cerdas, krisis (baca, musibah, atau bencana) juga bisa menjadi momen yang penting bagi dia untuk mengukuhkan kepemimpinannya. Atau, paling kurang menunjukkan bahwa dialah sang pemimpin.
Di Chile misalnya, Presiden Sebastian Pinera menunjukkan perannya saat negara itu menyelamatkan 33 pekerja tambang terperangkap reruntuhan di terowongan di bawah tanah, di kedalaman lebih dari 700 meter. Presiden Pinera memantau langsung upaya penyelamatan para pekerja.
Disaksikan masyarakat sekitar tambang, di tengah sorotan kamera dan jutaan pasang mata yang menyaksikan via televisi, Pinera memeluk satu per satu pekerja tambang yang berhasil diselamatkan. Melalui bencana tersebut, Pinera menunjukkan kepeduliannya sebagai seorang pemimpin.
Soeharto, terlepas dari segala kontroversi sesudah dia menjabat, mengukuhkan kepemimpinannya saat Indonesia menghadapi pemberontakan PKI. Di situ ia mendapatkan moment of truth yang mengukuhkannya sebagai penjaga stabilitas di tengah dunia yang dilanda ketakutan terhadap perang dingin.
Bertie yang gagap dan tak bisa berbicara di hadapan publik, dan merasa dirinya tak layak memimpin rakyat Inggris, menjadi seorang pemimpin setelah negerinya terancam oleh serbuan Hitler. Bertie kemudian dikukuhkan sebagai Raja George VI yang kisahnya bisa Anda lihat dalam film The King’s Speech. Pidatonya yang terurai rapi menjadi moment of truth justru pada saat rakyat membutuhkannya.
Kita boleh saja jengkel dengan George W Bush Jr yang keras kepala. Namun, dia betul-betul memimpin Amerika Serikat menghadapi serangan terorisme setelah negeri ini menghadapi Tragedi 911. Di mata para Republikan dan militer, dialah pemimpinnya. SAYA, DAN KITA SEMUA, SUNGGUH PRIHATIN DENGAN BANJIR yang melanda Jakarta, Manado, dan sejumlah daerah lain di Indonesia.
Kita juga prihatin dengan bencana Gunung Sinabung yang sudah berlangsung cukup lama. Kita pantas melakukan berbagai upaya untuk membantu meringankan beban para korban. Semampu kita. Meski begitu, saya juga ingin menjadikan bencana kali ini sebagai sarana bagi kita untuk mulai memilah-milah mana para pemimpin yang betul-betul emas dan mana yang loyang.
Siapa pemimpin yang mau turun ke bawah segera, sambil melepaskan segala jubah protokol dan baju safarinya, untuk membantu para korban, dan siapa yang hanya bisa bicara dan menunda masalah. Siapa pemimpin yang betul-betul mencari solusi, siapa yang sibuk menuding. Siapa pemimpin yang sungguh-sungguh mau melayani rakyatnya dan siapa yang maunya hanya dilayani. Semoga kita bisa menemukannya.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan