Setiap kali melihat orang-orang yang mudah marah, saya selalu merasa ada “rintihan jiwa” yang meradang. Dulu saya berpikir itu urusannya orang-orang politik yang sering kita lihat di televisi. Lalu juga kita temui orang-orang yang fanatik buta, bahkan yang dogmatik, sekalipun mereka memakai jubah agama yang sangat kental. Mudah marah, reaktif, terlalu cepat menuding orang lain salah, senang mengolok-olok orang lain lewat tulisan dan kata-kata, bahkan bila perlu bermain fisik. Sembur, siram, banting, semprot, selepet pakai kertas atau tendang. Pokoknya camera branding-nya buruk sekali.
Tetapi belakangan saya melihat dan mendengar, hal-hal seperti ini semakin banyak ditemui di hampir semua kegiatan. Ya di antara para guru dan dosen, karyawan dan pimpinan bank-bank swasta, Badan Usaha Milik Negara, auditor, bahkan juga di antara aparatur negara.
Di balik intelektualitas, gelar akademik, jabatan dan profesi-profesi besar selalu ditemui “jiwa-jiwa merintih”, yang dalam terminologi Jagdish Seth disebut sebagai orang-orang yang memiliki kebiasaan merusak diri (Self Destructive Habits) atau dalam bahasa perilaku organisasi sebagai miss behavior.
Biasanya arogan, terlalu cepat menolak segala hal yang baru, mudah curiga, reaktif, selalu menyangkal, senang membentengi teritori (“silo”) nya masing-masing. Senang membuat orang lain susah, susah melihat orang lain senang, sulit berkoordinasi dengan orang lain, cemas melihat keberhasilan orang lain, mudah iri, senang “colek” atau adu orang lain, gemar mempermasalahkan orang-orang yang dikatakan hebat, senang mempertontonkan kehebatan sekaligus mengolok-olok orang-orang lain.
Dalam manajemen, menjadi lebih menarik lagi karena biasanya orang-orang ini pandai menyembunyikan aktingnya. Mengaku kenal dan tahu persis, padahal hanya tahu dari koran atau kata orang lain. Baik ke atas, tetapi memindas ke bawah. Leadership-nya tidak 36o◦. Tugas-tugas dari atasan hanya yang menyenangkan hatinya saja yang dijalankan. Ini bisa berakibat kepemimpinan perusahaan atau lembaga menjadi tidak efektif. Servis kepada pelanggan dan karyawan buruk, keluhan masyarakat dan budaya organisasi rusak. Inilah yang disebut Toxic Culture. Satu orang yang “sakit” menimbulkan keseluruhan sistem rusak dan menularkan kebencian- rasa iri.
Bad Passengers
Tak dapat dipungkiri, tradisi sehari-hari dalam masyarakat kita telah lebih banyak menghasilkan passengers mentality (manusia bermental penumpang) ketimbang drivers mentality (manusia bermental pengemudi).
Di tambah kebiasaan di sekolah yang “menekan” siswa sejak SD, dengan mengharuskan anak-anak duduk “manis” dengan tangan dilipat di atas meja. Pokoknya diam, tak boleh berisik atau ngomong sendiri, harus patuh, meski mengantuk.
Anda mungkin masih ingat, betapa takutnya memasuki ruang guru. Dengan jari-jari tangan yang dilipat, berdiri kaku, Anda merasakan betapa intimidatifnya ruang guru. Guru-guru yang ada di situ seakan tak peduli dengan kecemasan Anda. Lalu begitu masuk ke kelas yang lebih tinggi kita merasakan tekanan-tekanan lingkungan yang begitu besar. Pelajaran banyak sekali, tugas banyak, semua harus dihafal membuat kita bingung.
Karena banyak masalah, orang-orang tua mengambil alih hampir semua keputusan yang harusnya bisa kita ambil. Mulai dari urusan pakaian, sepatu, sekolah, jurusan, perjalanan liburan, makanan, pekerjaan, sampai pacar, kawin dan perkawinan. Bahkan nama anak, pesta ulang tahun anak pun diurus pada orang tua yang sudah menjadi grandpa dan grandma.
Mentalitas penumpang telah membuat banyak orang menunggu perintah (miskin inisiatif), kurang berani menghadapi tantangan-tantangan baru, kurang kreatif, banyak takut, dan cenderung melakukan hal yang sama. Akibatnya apa lagi kalau bukancomplacent. Ini yang terjadi dalam dunia kerja sehai-hari dan berimplikasi dalam masa depan bangsa.
Semua yang saya sebut di atas adalah ciri-ciri passengers. Ini berbeda dengan masyarakat yang sejak muda didorong untuk keluar, bertarung menghadapi masalah bukan dilindungi apapun kesalahannya, tidak biasa dituntun, diberi kebebasan berpikir dan mengambil keputusan, dipercaya oleh orang tua untuk memilih, hidup dalam keterbatasan namun dibenarkan “keluar” atau pergi jauh, bahkan berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri.
Okelah hal-hal seperti kita sebut passengers. Sejak muda sudah dilatih menjadi penumpang. Sepanjang mereka tak menggangu orang lain tentu oke oke saja.
Masalahnya, dalam dunia yang volitile dan uncertaint ini, passengers biasanya tidak perform dalam karier dan bisnis. Bisa saja gelar akademiknya bererot panjang. Tetapi apa yang dibuat dan dihasilkan tidak seberapa. Kalau ini terus berlangsung, orang yang kurang punya self confidence (biasanya, passengers low self confidence) akan tidak puas pada dirinya. Orang-orang yang tidak puas terhadap hidupnya dan “miskin pujian” akan merefleksikan tindakannya pada orang-orang lain. Jadi passengerberpotensi menjadi bad passengers dan bila bad passengers diberi “kunci mobil”, maka mereka dapat menjadi bad drivers.
Inilah orang-orang yang berani berbicara, namun menyuarakan kesakitan-kesakitan jiwanya, yang tampak dalam bahasa sinis, sensitif, reaktif dan “membakar” orang lain untuk melawan atau membangkang.
Bad Drivers
Tentu saja Bad Drivers tidak melulu terungkap dalam wajah-wajah yang marah. Banyak jiwa-jiwa sakit yang “blocking” sehingga berat langkahnya. Banyak di antara mereka yang \”kecelakaan\” mendapat kepercayaan dari perusahaan atau organisasi. Namun sesungguhnya banyak di antara eksekutif-eksekutif yang jiwanya merintih.
Di Rumah Perubahan, kami mempunyai program yang disebut Self Transformation training yang mentransformasi passengersmenjadi drivers. Dan kami biasa menangani jiwa-jiwa yang merintih seperti itu. Memang kadar \”kesakitan\” mereka belum separah para politisi yang sering kita lihat di TV, tetapi mereka jelas perlu bantuan.
Melalui program selama 2 -5 hari, kami akhirnya berhasil menemukan cara-cara baru untuk mempercepat proses transformasi, yaitu mengubah bad passengers menjadi good passengers. Atau bahkan mengubah good passengers menjadi great drivers. Ini tentu diperlukan untuk mendampingi perubahan. Sebab perubahan bukanlah melulu aspek struktur, peraturan atau teknologi, melainkan juga manusia-manusia yang neophobia (phobia terhadap pembaruan). Banyak sekali orang-orang yang hidupnya kecewa atau pernah dikecewakan keluarga, teman, kekasih atau bahkan atasan dan lingkungan kerjanya.
Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah, apalagi bila seseorang sudah menyusun benteng yang tinggi. Tetapi dari pengalaman kami ditemui manusia pada dasarnya mau kok untuk berubah.
Apa dasarnya? Tentu saja \”harus ada ijin\” dari yang bersangkutan untuk membuka diri dan memperbaiki hidupnya. Bukankah apa yang dipikirkan, dan dilakukan seseorang cerminan dari apa yang dirasakannya.
Koran SINDO, 18 Juli 2013
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan