Satu hal yang jarang diceritakan anak-anak muda para wirausahawan yang dewasa ini berkilauan adalah bagaimana mereka mendapatkan aset-aset “emas” yang sekarang menjadi kuda mereka. Publik lalu bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang ada di balik mereka. Konglomeratkah, bank kah, jenderal? Atau siapa pejabat dan orang kuat di belakang mereka?
Memang kita juga menyaksikan lahirnya pengusaha ujug-ujug yang di belakangnya ada orang kuat, sponsor atau endorser. Bahkan pemberi konsesi dan penjamin sehingga cepat menjadi besar. Tapi belakangan model seperti itu mulai ditinggalkan, kecuali mereka yang memang dipelihara orang-orang politik untuk mencari uang.
Sebenarnya kalau Anda jeli, rahasianya mudah ditemukan. Dan Andapun bisa mengikutinya asal fokus dan mengerti sedikit soal lika-liku financial restructuring. Dalam buku kisah Si Anak Singkong yang membuat perjalanan bisnis Chairul Tanjung, terungkap bagaimana ia mendapatkan sebuah bank (Bank Tugu) yang sekarang dikenal sebagai Bank Mega. Bank Tugu diperoleh CT dari internal pejabat-pejabat Bank Eksim yang saat itu mencari nasabah yang mau membeli yang kreditnya tengah bermasalah di bank tersebut. Singkatnya bisa Anda simak dalam buku itu. Artinya, Bank Tugu adalah \”aset yang teronggok\” yang kadang disebut juga sebagai kredit yang mangkak.
Air Asia Juga Begitu
CT mengaku hanya perlu membayar satu rupiah saja untuk mengambil Bank Tugu. Hal serupa juga terjadi pada Tony Fernandes yang pada tahun 2001 berhasil membeli Air Asia dari pemerintah Malaysia hanya dengan harga 25 ringgit. Baik Bank Tugu maupun Air Asia dijual murah karena perusahaan itu secara finansial benar-benar sakit.
Jadi harganya pasti murah, pembelinya tak banyak yang berminat, bank pemberi kredit sudah kehilangan kepercayaan dan kesabaran pada pemilik lama, dan bank mencari pembeli yang dipercaya mampu memperbaikinya, lalu mengurus kredit baru. Biasanya bankir sudah punya list nama-nama orang yang bisa dipercaya. Atau bisa juga Anda berjuang meyakinkan bank untuk mengambil alih dengan program yang jelas.
Saya dengar Garuda Indonesia juga perah mengalami hal serupa. Dalam buku yang sedang saya tulis, timbul pemikiran-pemikiran untuk memberi judul : From One Rupiah to be One Billion Company. Indonesia harus bangga bahwa BUMN kebangsaan bangsa ini tidak berpindah tangan, lalu dipreteli jadi kecil-kecil. Tapi pernah, saat nilai assetnya hanya dinilai satu rupiah diwacanakan untuk diambil alih pihak lain. Entah disengaja atau karena ignorant, pernah ada brutal facts yang menimpa masa-masa sulit di Garuda Indonesia. Kita pantas bangga, ada kepemimpinan bagus di BUMN yang bisa melakukan turn arround dan justru melahirkan kekaguman dunia.
Saya juga pernah diceritakan oleh founder Bosowa Group, Aksa Mahmud yang dulu mengembangakan usaha tambak udang sebelum mendirikan industri semen. Aksa mengaku sengaja mengambil posisi shalat di sebelah Dirut Bank Bumi Daya saat itu untuk berkenalan dan kemudian mengajukan proposal mengambil alih aset nasabah BBD yang sedang bermasalah. Aset-aset bermasalah itu ada di banyak bank, dan kalau ketemu tangan yang tepat ia bisa berubah menjadi usaha yang sehat.
Asril Sutan Amir, pengusaha karet terbesar Indonesia juga mengaku melakukan hal serupa. Setelah berhenti sebagai konsultan keuangan (dan auditor) ia mendatangi bank dan menanyakan pabrik karet mana yang bermasalah kreditnya. Bank umumnya senang bertemu dengan nasabah-nasabah yang dapat dipercaya.
Asril melihat perusahaan-perusahaan itu menjadi bermasalah karena pemiliknya tidak fokus, tidak serius mengelola usaha, sekedarnice to have, punya banyak aset tapi tak punya control system dan SDM yang baik. Ia pun dengan berani mengambil alih dan memperbaikinnya. Maklum, karena bermasalah maka harganya relatif murah.
Para mantan kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) juga menceritakan, konglomerat-konglomerat muda yang sekarang dikenal publik umumnya adalah penasehat-penasehat keuangan yang dulu direkrut perusahaan-perusahaan bermasalah. Mereka jagoan restructuring. Belakangan dengan bantuan orang-orang tertentu mereka bisa mendapat back up untuk membeli aset-aset terlantar yang akan dilelang oleh BPPN. Dengan bekal ilmu restrukturisasi keuangan, fokus pada perbaikan manajemen, dan turn around management mereka akhirnya mampu memperbarui perusahaan sebelum di IPO kan. Itulah rahasia di balik sukses konglomerat-konglomerat muda.
Saya kira anak-anak muda yang cerdik pun bisa mengambil momentum dan sejarah akan berulang. Tak diperlukan orang kuat untuk menjadi pengusaha sejati, cukup kejelian mata membaca opportunity, fokus dan cari orang-orang yang tepat. Kesempatan itu pada waktunya hanya akan bertemu dengan orang-orang yang siap. Siapa yang mendirikan belum tentu dapat menikmati, dan siapa yang menikmati belum tentu dia yang menanam.
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan