Awal dari Kesulitan yang Lebih Besar (4) – Sindo, 11 Juli 2013

Ketika masyarakat Indonesia masih meributkan soal BBM, negara-negara yang visioner justru mulai berpaling ke air. Indonesia sementara ini masih berpikir “kelebihan” dalam segalanya, termasuk air dan minyak, walau faktanya tidak demikian. Air yang saya maksud adalah air yang bersih, menyehatkan, siap digunakan, dapat dipakai dengan mudah (convenient). Bukan air yang semakin menyakitkan dan terkontaminasi pestisida atau unorganik mineral yang bahkan lolos dalam saringan berteknologi reverse osmosis sekalipun.

Apa saja yang berkaitan dengan air?  Apakah benar air bisa menjadi masalah besar?

Mobilitas Penduduk

Minggu lalu, dalam peresmian Pusat Studi Sumber Daya Manusia – Universitas Negeri Jakarta, saya diminta untuk membahas tentang masalah-masalah di seputar Human Capital. Saya mulai dengan menjelaskan bahwa ledakan penduduk dunia mulai menjadi masalah besar bagi berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.

Minggu lalu misalnya, orang-orang Jepang terlihat gembira di sini berhasil menyedot uang penduduk Indonesia dengan mudah. Produknya hanyalah kaos oblong, tetapi mereknya disukai kaum muda. Orang Jepang itu memberitahu betapa sulitnya hidup dan berbisnis di Jepang saat ini.   Tetapi sebaliknya terjadi di sini: Semula ia hanya menargetkan revenue sehari (dari satu gerainya yang baru dibuka di jalan Casablanca, Jakarta) harga Rp 1 miliar rupiah. Tetapi satu minggu pertama, dalam realitasnya, setiap hari ia  mengaku mampu mendulang Rp 7 miliar rupiah.

Inilah suatu gambaran betapa kesejahteraan yang dibangun suatu bangsa  bisa begitu cepat “disedot” bangsa lain.  Terjadi mobilitas penduduk lintas negara, lintas benua. Siapa yang cerdik bisa mendapatkan dari negeri tetangga kendati negeri sendiri amburadul. Mari kita lihat contoh lain berikut ini.

Sebulan yang lalu, di Auckland-New Zealand saya bertemu rombongan orang tua asal Shanghai (China) yang menyekolahkan anak-anaknya di sana. Oleh penduduk setempat (orang “Kiwi”), mereka ini kini dipercaya sebagai orang-orang yang “mencuri” kesejahteraan yang mereka bangun. Kok begitu?

Ceritanya begini.   Untuk mendongkrak perekonomian negara dari krisis, pemerintah setempat membolehkan orang-orang asing membeli rumah. Dan bila itu terjadi, mereka bisa melamar menjadi Permanent Residence dan mendapatkan fasilitas kesehatan seperti layaknya warga negara.  Harap dicatat berbagai bangsa memilih menetap di New Zealand untuk menapatkan fasilitas kesehatan yang modern, gratis, dan penuh perhatian negara.

Mereka pun berdatangan. Bukan cuma satu-dua, melainkan ribuan. Padahal supply rumah di sana amat terbatas. Akibatnya cara membeli rumah pun diubah oleh para broker menjadi lelang. Artinya siapa yang bersedia bayar lebih mahal, otomatis akan mendapatkannya. Maka harga-harga rumah pun naik 2 kali lipat, membuat penduduk setempat tak lagi mampu membeli rumah yang sudah mereka incar.  Sewaktu saya tanya mengapa mereka bersedia membeli rumah itu dan mahal, mereka malah bilang, “Ini murah!”

Rupanya, reference price mereka bukan harga-harga sebelumnya yang berlaku di New Zealand, melainkan harga-harga rumah di Shanghai, Hongkong dan Singapura. Yang harap Anda maklum, di tengah belantara yang padat, sempit dan semakincrowded itu harganya sudah empat kali lipat harga di negara lain, atau bahkan sepuluh kali lipat harga apartemen di Jakarta.

Hal serupa sudah pasti terjadi di sini. Apartemen baru menjadi rebutan orang-orang asing, meski mereka tidak bisa membelinya. Dan tengoklah juga sektor-sektor pertanian.  Jika Anda pergi ke daerah-daerah perkebunan di Sulawesi, maka Anda akan bertemu dengan penduduk asal India yang berebut mendapatkan komoditas perkebunan Indonesia. Atau bila Anda pergi ke daerah-daerah tambang dimana pun Anda akan bertemu dengan pembeli-pembeli langsung dari China. Mereka semua datang langsung bertemu dengan pemilik lahan, memotong jalur-jalur perdagangan yang sudah lama dikenal.

Ledakan Penduduk

Ada kegelisahan yang lucu, yang terjadi pada tanggal 31 oktober dua tahun lalu (2011) saat PBB mengumumkan datangnya penduduk ke 7 miliar pada pukul 07.25 pagi hari. Nargis Kumar, bayi yang lahir di desa Mall – India (Utar Pradesh) ditahbiskan bersama-sama dengan Danice Camacho (Manila) sebagai penduduk ke 7 miliar.

Tiba-tiba saja para ilmuwan menyadari bumi ini sudah semakin sesak. Apalagi fakta-fakta menemukan jarak pertambahan satu miliar jiwa dewasa ini begitu cepat didapat.

Adalah dibutuhkan sekitar 250.000 tahun untuk mendapatkan penduduk bumi sebanyak 1 miliar. Itu dicapai pada tahun 1800. Tetapi untuk menjadi 2 miliar jiwa, ternyata hanya butuh 127 tahun (1927), lalu menjadi lebih cepat lagi: 33 tahun (1960), untuk menjadi 3 miliar. Pada tahun 1987, tiba-tiba para ahli mencatat penduduk bumi sudah mencapai 5 miliar. Padahal jumlah hewan-hewan langka terus semakin punah, dan air semakin sulit di dapat. Bahkan bumi mengalami kesulitan untuk mengoptimalkan produksi pangannya karena iklimnya berubah. Bumi semakin panas.

Demikian seterusnya, lalu mencapai 6 miliar jiwa (1999), 7 miliar (2011) dan akan menjadi 9 miliar sebelum tahun 2050. Apakah artinya?  Benar! Penduduk semakin cepat bertambah, semakin berebutan, berpindah-pindah dan dituntut lebih kreatif mencari sumber-sumber baru.

Pernahkah kita berpikir apa jadinya bangsa Indonesia di tengah-tengah peradaban yang semakin padat, panas, dan berebut segala sumber daya alam ini?

Pertama, air akan menjadi “rebutan” yang tak kalah penting bila dibandingkan dengan energi. Manusia bisa hidup tanpa makan selama berminggu-minggu, tetapi tanpa air 2-3 hari, otak manusia bisa rusak: Air adalah kebutuhan utama manusia kedua setelah oksigen.

Kedua, dewasa ini harga air mulai menyamakan harga BBM.  Air yang dibutuhkan manusia menjadi semacam menipu pikiran kita, karena selalu terlihat berlebih dan tumpah di sungai, parit, tetesan hujan dan seterusnya, tetapi sesungguhnya yang dibutuhkan manusia adalah air yang bersih, sehat, bisa dipakai, praktis digunakan.

Ketiga, air juga dibutuhkan untuk pengeboran minyak, untuk menggerakkan  energi panas bumi, Pembangkit-Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), menyalurkan obat (infus) dan sebagainya. Air dibutuhkan dalam jumlah besar dan dewasa ini, kebutuhannya telah meningkat 6 X  dari sebelumnya, dan semakin banyak penduduk yang hanya mendapatkan  beberapa gelas air sehari. Satu dari 5 orang di dunia sudah mulai tidak mendapat akses terhadap air minum yang bersih dan sehat.  Satu dari 3 orang kehilangan akses terhadap sanitasi yang layak. Dan menurut PBB, setiap 15 detik satu anak meninggal dunia akibat penyakit yang terkait dengan air.

Keempat, air yang ada di perut bumi sudah semakin terkontaminasi, tercemar limbah, bahan-bahan kimia berbahaya, beracun, bahkan terimbas pestisida. Akankah air mineral  yang kita minum  dalam kemasan di esok hari sama dengan air yang kita minum kemarin?

Kelima, perkembangan teknologi pencari air jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan kemajuan penemuan dalam eksploitasi minyak dan energy, Jadi bila kita bisa menemukannya, saya kira ini akan menjadi keunggulan penting di abad 21. Saya mengerti tentang hal ini karena di Rumah Perubahan, seorang penemu baru saja menyumbangkan sebuah alat, yang bisa kami pakai untuk membuat air bukan dari perut bumi, melainkan dari langit: melalui humidity (kelembapan udara).  Air itu kami pakai untuk proses produksi dalam rumah tempe yang kami bangun untuk mendorong perubahan bersama dengan badan internasional, Mercy Corps
.
Andaikan kita berkolaborasi besar-besaran, seperti yang disuarakan oleh anak-muda dalam kitabisa.co.id , saya kira semua masalah di atas bisa kita atasi. Sudah saatnya air menjadi perhatian besar dalam proses perubahan bangsa ini sebelum masalah yang lebih besar itu terjadi sungguhan. If We Want to We will Find The Way.

Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *