Anda mungkin pernah mendengar ucapan pelukis terkenal Vincent Van Gogh: “Karya-karya besar hanya bisa dicapai melalui rangkaian karya-karya (perbuatan-perbuatan) kecil.” Padahal tak banyak di antara kita yang ingin melakukan hal-hal kecil yang remeh temeh.
Dulu saat membintangi iklan sebuah merek jamu saya juga diminta banyak orang membatalkannya. Bukan karena tidak heroik, melainkan \”walah, cuma iklan jamu saja. Mbok ya iklan mobil buatan Jeman.\” itu seloroh teman-teman saya, para PHd atau MBA lulusan sekolah-sekolah ternama dunia. Jamu dianggap terlalu remeh. Mungkin itu pula yang membuat ilmu kedokteran herbal kita tak pernah dikenal dunia seperti akupuntur atau obat-obatan Cina.
Namun saya tak pernah menyesalinya, apalagi merek itu kini menjadi besar dan tokoh-tokoh besar Indonesia bergantian melakukan hal serupa setelah itu.
Demikian pulalah orang-orang tua yang masih mempunyai anak usia remaja. Tak banyak yang menghendaki anak-anaknya menjalankan karier-karier mini. Usaha-usaha yang super kecil, atau karier yang tak diperhitungkan orang. Kita hanya ingat judul-judul besar seperti dokter atau insinyur. Doktor atau sarjana. Jenderal atau Laksamana. Tak ada yang berbicara bisnis sampah atau tinja. Menjadi pemulung, penyair atau pemain teater. Padahal kalau hal-hal remeh itu dilakukan dengan penuh kesungguhan, siapa tahu bisa menjadi intan berlian.
Wartawan Kuliner
Nanti malam saya ingin Anda menonton televisi publik kita, TVRI. Setelah shalat terawih, saya harap Anda masih sempat menyaksikan bagaimana kebahagiaan diraih oleh tukang icip-icip makanan yang kini menjadi pengusaha kedai kopi. Padahal dulu ia \”hanyalah\” wartawan kuliner, kendati posisinya adalah pemimpin redaksi. \”Bukankah pemred harian berita harusnya menulis berita politik dan ekonomi biar berwibawa?\” itu cibiran banyak wartawan kala itu.
Saya kira Anda sudah tahu yang saya maksud: Bondan Winarno. Ia memulainya justru dari hal-hal kecil, namun dilakukan secara konsisten, dirangkai satu persatu sehingga menjadi besar. Icip-icip kuliner Nusantara yang dimulai dari kaki lima itu kini telah berubah menjadi besar.
Saya kira itu pulalah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kebanggaan masyarakat belakangan ini. Jokowi memulainya dengan menjadi tukang kayu, lalu menjadi eksportir yang handal, pengusaha yang tekun, menjadi Walikota, lalu Gubernur DKI. Sekarang hal yang diperbaikinya dimulai dari hal-hal kecil yang sering diabaikan pendahulu-pendahulunya. Riol-riol saluran air, pasar, rumah susun, danau penampungan air hujan, kampung dan seterusnya.
Dahlan Iskan juga memulainya sebagai Wartawan, koresponden di sebuah kota kecil, lalu pindah ke Surabaya, memimpin surat kabar, penerbitan buku, hingga ke berbagai media. Dari situ ia dipercaya memimpin perusahaan daerah, lalu PLN, dan menjadi menteri BUMN. Kemarin ia dikukuhkan gelar kehormatan: Doktor Honoris Kausa. Gelar itu mungkin tak begitu pening baginya, makanya ia berujar, \”kalau ada yang menpersoalkan, ya diambil saja.\”
Coba temani sehari saja dua orang itu, maka Anda akan menyaksikan keduanya tak pernah mengabaikan hal-hal kecil. Seperti petuah Napoleon Hill: “If you cannot do great things, do small things in a great way.” Jadi, biarkan saja sesuatu itu dianggap remeh, “tetapi aku akan melakukannya dengan penuh kesungguhan.” Dalam bahasa kepanduan, seperti yang diucapkan oleh Bondan Winarno. “On my honor, I will do my best.” Demi kehormatan, saya lakukan (berikan) yang terbaik.
Dari situlah Bondan menjadi terkenal dengan “maknyuss”-nya, Jokowi dengan blusukan-nya dan Dahlan Iskan kecekatannya mengatasi masalah. Mereka cepat kaki ringan tangan, benar-benar simpel, semua bisa dibuat untung, cepat dan berimpak besar.
Pembaruan Dari hal Kecil
Demikianlah perubahan. Semua perubahan dikerjakan dari hal-hal sepele yang dikerjakan oleh orang-orang tertentu dengan penuh kesungguhan. Saya pun melakukan hal serupa. Dulu, tak banya orang Indonesia menulis buku-buku manajemen. Saya menulisnya dengan sepenuh hati.
Di UI, saat memimpin perubahan, saya pun memulainya dari hal-hal kecil. Dari toilet dan tempat parkir. Dari kantor dan perpustakaan. Dari pegawai yang paling dianggap rendah. Semua kami buat lebih baik. Setelah itu bergeraklah hal-hal strategis menyangkut kurikulum, pengajar, jaringan global dan seterusnya.
Saya juga mulai perubahan dari dalam kampung. Bukan dengan mendirikan universitas, melainkan dengan PAUD dan taman kanak-kanak. Dari anak-anak yang tak berkesempatan sekolah, dari fondasi akarnya. Dari rumah tempe dan kandang sapi. Lalu terangkai ke dalam sekolah perubahan iklim dan kewirausahaan. Dalam pikiran saya, kalau hal-hal kecil itu kita lakukan terus menerus dengan penuh kesungguhan, ia bisa saja menjadi besar. Kata Jose Ortega Gasset, \”For the person for whom small things do not exist, the great is not great.\” Dan saya mempercayainya.
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan