Kita semua sudah sering mendengar betapa khasiatnya air embun. Untuk menjaga kesehatan, orang-orang tua kita sering menaruh air di atap genteng agar mendapatkan embun. Air yang didapat dari proses natural itu terjadi setiap hari, dan di pagi hari kita melihat embun jatuh di dedaunan. Indah dan menyejukkan jiwa, menggoda para musisi.
Tinggal di alam yang memiliki kelembapan tinggi harusnya tak membuat bangsa ini kesulitan mendapatkan air. Kompas (Senin, 8 Juli 2013) di halaman utama menurunkan berita: “Korban (gempa Aceh) alami krisis air bersih.” Ini pasti karena logika lama: “Air mesti diambil dari tanah.” Padahal air bisa diolah dari udara yang lembab, dan teknologinya sudah dipelopori orang Indonesia. Murah, mudah, bersahabat bagi lingkungan, dan sehat.
Tanah Tercemar
Di lain pihak, alam Indonesia mulai tercemar. Dari Sabang hingga Merauke, menembus tanah Pasundan yang kaya air-air terjun yang bening, melewati danau Jikumerasa di Pulau Buru, atau karang-karang laut di Bunaken. Yang kita temui hanyalah sampah.
Sampah itu terbawa dari pulau ke pulau, terdampar di pantai Kuta, di antara pohon-pohon bakau pesisir Kalimantan. Sementara itu, demam pemakaian pestisida begitu kuat di kalangan petani dan meresap masuk ke dalam tanah. Padahal menurut para ahli, molekul-molekul pestisida jauh lebih kecil dari molekul air sehingga sulit tersaring oleh membran apapun, ia berpotensi lolos, dan bisa ditelan manusia. Bila itu diteruskan, kesehatan berpengaruh pada keturunan.
Kita manusia adalah water creature. Sebanyak 60 persen tubuh kita terdiri dari cairan, 70 persen dari otak, bahkan 80 persen dari darah kita. Korban gempa bisa hidup tanpa makan sebulan, namun tanpa air, dalam 72 jam otaknya dapat rusak.
Tatkala air di perut bumi semakin diperebutkan dan terkontaminasi, Tuhan begitu baik memberikan embun yang mewah. Perhatikanlah, bukan cuma manusia yang berebut air. Hewan, industri, pembangkit-pembangkit listrik, pengeboran minyak, dan seterusnya rakus menyedot air dari perut bumi. Tanah-tanah diperkotaan pun melesek ke bawah, intrusi air laut tak dapat dihindarkan.
Air Farmasi
Seorang teman dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan penelitian dan menemukan manfaat besar dari air embun yang sering kita baca dalam Al-Qur’an maupun Injil. Ia menemukan air ini memiliki molekul yang khas.
Budhi Haryanto, seorang penemu, selama sepuluh tahun berkutat dengan teknologi ini. Putra Solo yang sempat “bertapa” di Seatle Amerika Serikat ini berhasil menemukan teknologi yang ia butuhkan untuk membuat embun dari udara Indonesia.
Lima tahun yang lalu ia ditemui oleh Bill Clinton di Hongkong. Berita itu menggemparkan Amerika Serikat. Tetapi oleh komedian TV Jay Leno dijadikan bahan lawakan. Leno masih berpikir Budhi mengumpulkan embun dari satu daun ke daun lainnya, bukan teknologi. Padahal bukan seperti itu.
Beberapa hari lalu saya mengunjungi pabrik air minumnya di daerah pinggiran yang sejuk tak jauh dari Jakarta. Sebuah alat seukuran Container besar bekerja 24 jam menarik udara segar yang dikondensasi menjadi embun. Kantornya sejuk, ditiup udara yang sudah ia bersihkan.
Melalui uji coba bertahun-tahun ia berhasil membuat embun dalam skala medium yang ramah lingkungan. Pabrik perdananya bisa menghasilkan 20 ribu liter air embun sehari. Embun-embun itu ia uji di laboratorium Departemen Kesehatan dan uji teknis di lab RS Dr. Soetomo Surabaya.
Kitab suci tidak berbohong: Air-air embun itu punya khasiat besar menggelontorkan kolesterol jahat. Bahkan dalam banyak kasus menyembuhkan sejumlah penyakit seperti auto imun.
Dari sebuah lab di Amerika Serikat ia juga mendapatkan jawaban yang mencengangkan. Air ini bebas mineral logam-logam unorganic. Itu sebabnya air Purence yang didapat dari embun itu selama beberapa tahun ini diterima oleh Kedubes Amerika Serikat di Jakarta.
Kemarin dalam peringatan 4th of July (Kemerdekaan Amerika Serikat) saya menyaksikan Purence sebagai satu-satunya merek lokal yang menjadi sponsor hidangan di rumah duta besar Amerika Serikat. Berjaya di antara merek-merek global dari Amerika Serikat (Strarbucks, Coke, Chilis, KFC dll), Indonesia harus bangga bahwa teknologinya terbilang maju.
Saya pikir ada baiknya pemerintah memanfaatkan teknologi ini untuk membantu para pengungsi korban gempa. Pemda DKI yang menghadapi masalah merosotnya dasar tanah di Jakarta perlu mengkajinya.
Demikian pula pusat-pusat hiburan seperti Taman Impian Jaya Ancol bisa membuat air sendiri. Ini peluang besar bagi Indonesia untuk menyelamatkan lingkungan, sekaligus menyelamatkan kesehatan the next generation. Banggalah menjadi Indonesia.
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan