Marketing to Low Income (2) – Sindo, 13 Juni 2013

Minggu lalu saya sudah membahas berbagai kesulitan yang dialami “low income group”  untuk menjadi konsumen. Bagi pemasar, low income group sulit dibidik karena aksesnya dibatasi oleh banyak hal: lokasinya berjauhan, terpencil, berkelompok terbatas, infrastruktur untuk mendekati mereka begitu buruk, tanpa dokumen-dokumen yang memudahkan mereka memperoleh dukungan keuangan.

Namun bagi konsumen “low income”, marketer dianggap tak memahami hidup mereka. “Kami butuh makanan bergizi yang nendang, kalian berikan snack berminyak yang hanya cantik kemasannya saja. “Lihat saja snack untuk anak-anak yang kaya gorengan dan mecin. Bungkus plastik untuk mereka sama besarnya dengan bungkusan yang dijajakan untuk “high income” yang biasa kita lihat di hypermarket. Bungkusan indah, dan tampak besar ditiup oksigen yang membuatnya bergelembung, sehingga seakan-akan isinya banyak.

Dulu, saat krismon (1998), di Jakarta banyak ibu-ibu rumah tangga yang diajarkan cara membuat “roti angin”, Anda tahu apa itu roti angin? Simpel saja, roti itu dibuat  dengan tepung jenis tertentu dan akan melembung saat selesai dimasak. Jadi tepungnya sedikit, harganya lebih murah tapi kelihatannya jadi besar karena anginnya banyak.

Daya Beli

Hampir semua konsumen “low income” yang ditanya,  selalu menjawab “harga” sebagai pertimbangan utama dalam membeli: orang marketing menyebutnya sebagai value for money. Tetapi studi-studi terbaru menemukan, harga bukanlah segala-segalanya. Dengan segala keterbatasannya konsumen low income seringkali belanja karena tak punya pilihan.

Ini berbeda dengan konsumen gaya hidup yang ada di daerah perkotaan dan aktif dikepung oleh banyak pilihan. Karena kalangan low income di daerah terpencil tidak memiliki pilihan, maka keputusan yang mereka ambil hanya membeli atau tidak dari yang ada saja.

Erik Simanis yang menulis untuk The Journal Report bahkan lebih keras lagi. Ia menyatakan perusahaan-perusahaan dan marketer memandang “low income” market dengan mata yang salah. “Pasar di BOP (Bottom of the Pyramid)  ini sesungguhnya belum menjadi pasar”, ujarnya. Jadi 4 milyar penduduk dunia yang berada di BOP di seluruh dunia ini belum terkondisi dengan produk-produk yang ditawarkan padanya.  Produk-Produk itu masih belum sebagai sesuatu  yang harus mereka beli. Mereka juga belum menyesuaikan produk mereka dengan anggaran dan gaya hidup masyarakat BOP sehari-hari.

Ia bahkan    menyindir, “a consumer market” selama ini harga dibangun atas prinsip-prinsip gaya hidup orang kota yang dicangkokkan begitu saja kepada kaum papa. Oleh karenanya pemasar yang ingin berhasil harus mulai kembali dari kertas polos, yang belum tergambar denahnya sama sekali: Sebab marketer harus mulai dari merancang ulang produk dan gagasan-gagasannya, termasuk konsep benefit yang ditawarkannya.

Mulai dari Nol?

Namanya juga mulai dari kertas polos, maka harus dari nol kembali, dari mengosongkan pikiran dan pengetahuan kita yang selama ini hanya menjadi asumsi belaka.

Seperti yang saya sampaikan minggu lalu, untuk membidik segmen perumahan dan kredit bagi pasar BOP, kita harus mulai dengan pemahaman bahwa segmen ini begitu kuat. Hanya saja berbeda dengan “otak pegawai” yang menawarkannya, meka mereka tak mempunyai daya beli bulanan. Ingatlah mayoritas segmen ini adalah pedagang sektor informal yang hidup dengan upah/ uang harian yang tak sedikit yang tak memiliki identitas apapun. Tidak ada KTP, surat nikah, NPWP, slip gaji, bahkan alamat yang tetap. kalau semua itu tak ada, harusnya ada kebijakan lain karena mereka bukan otomatis tidak bankable.

Dengan demikian,  produk-produk mereka dan prosedur belanja mereka pun tidak sama dengan apa yang selama ini kita pikirkan. Cobalah memulainya dari titik nol, maka akan terlihat sebuah pasar yang belum terbentuk.

Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *