Pertama kali saya melihatnya saya langsung jatuh hati. Ia seorang ibu yang lumpuh. Menurut reporter SCTV yang menurunkan laporan dalam Liputan 6, Een praktis hanya mampu menggerakkan mata dan mulutnya saja.
Tetapi selumpuh itu ia tetap mengajar dari kamar tidurnya. Anak-anak usia sekolah dasar silih berganti berdatangan. Bukan untuk merawatnya, melainkan belajar macam-macam pengetahuan. Ya bahasa Indonesia, geografi, ilmu pengetahuan alam, dan matematika.
Di kamarnya ada peta Indonesia yang terpampang di dinding. Dari situ anak-anak belajar memahami Indonesia. Tetapi sebelum belajar, Een selalu punya sesuatu untuk anak-anak. Entah itu rujak buah-buahan yang bisa mereka buat sendiri di dapur, entah masakan lainnya.
Itu saja sudah mampu membuat anak-anak merasa berada di rumahnya sendiri. Padahal Een tak punya penghasilan apa-apa dan anak-anak itu tak dipungut biaya belajar. Gurunya mengajar sukarela, dan juga anak-anaknya datang sukarela. Tetapi aneh, keduanya bisa sama-sama hidup, sama-sama berprestasi. Sebab Een tidak memerlukan apa-apa. Tidak perhiasan, mobil, ponsel, apalagi kamera. Ia hanya butuh harapan, dan harapan itu ada pada anak-anak yang berhasil.
Masyarakat Merawat
Anda mungkin pernah mendengar jokes tentang seorang ibu Yahudi di negeri Belanda yang memberi petunjuk kepada anaknya yang akan datang bersama istrinya. “Cari apartement 1308, tekan bel pakai sikutmu, gunakan sikutmu untuk tekan tombol ke lantai 8, lalu belok kanan, ketok pintu pakai sikut.”
Si anak mengerti petunjuk itu, namun ia balas bertanya, “Aku mengerti Ma, tetapi mengapa Mama dari tadi bilang gunakan sikutmu?”
“Apa?” jawab si Ibu. “Jadi kamu datang dengan tangan kosong?!”
Jokes itu biasa diucapkan orang-orang Indonesia di Eropa melihat hubungan keluarga yang telah berubah menjadi serba transaksional. Pantas bila orang tua akhirnya hidup kesepian di panti-panti jompo tanpa ada keturunannya yang menengok. Di Jepang sendiri ikatan keluarga juga memudar karena kedua orangtua sibuk bekerja seharian agar bisa membayar sewa rumah dan segala hutang. Akibatnya di hari tuanya mereka kesepian, anak-anak jalan sendiri-sendiri. Negara kaya tak ada jaminan ikatan sosial dan kebahagian sejalan. Saya sendiri berharap, hubungan kekeluargaan yang hangat tidak sepenuhnya digantikan oleh mekanisme pasar, di sini.
Di sisi lain, dunia layar kaca, khususnya televisi bisa punya peran penting untuk membangun ikatan sosial di sini. Setelah bertahun-tahun habis digunakan untuk memamerkan aneka konflik, politik dan korupsi, televisi ternyata dapat digunakan untuk merekatkan ikatan-ikatan sosial. Een bisa menjadi aktor perubahan dalam peradaban kamera ini.
Setelah ditemukan reporter tv dan diberikan Liputan 6 Award 2 minggu yang lalu, Een mendapat efek camera branding. Dalam team juri, kami mengusulkan Een mendapatkan penghargaan khusus Karena “brandingnya” ada dalam 3 kategori: pendidikan, kemanusiaan, dan pengabdian masyarakat.
Apa yang dilakukan Een membuat semua penonton terharu. Apalagi award itu diserahkan oleh ketua umum PMI, JK. Disitu terdengar suaranya yang jernih. Dari penjurian itu saya diberi tahu Een mempunyai keinginan bertemu presiden. Saya lalu mengirim pesan melalui staf khusus presiden Prof. Firmanzah sekiranya presiden berkenan. Ternyata sekembalinya dari Amerika ia sudah diagendakan bertemu SBY di istana. Een terlihat gembira. ia bahkan diajak presiden berkeliling istana. Karya Een sungguh menggugah hati. Ia adalah pejuang, a role model.
Kemarin saya lihat di surat kabar, efek Camera Branding itu meluas. Een diberi award dari almamaternya: UPI, plus kecupan di kening dari musisi Bimbo dan beberapa lagu khusus dari musisi Ebiet G Ade.
Televisi sungguh mempunyai efek Camera Branding yang kuat. Ditambah interaksi dari sosial media, televisi kini berevolusi menjadi sosial TV. Dan inilah saatnya Indonesia menyodorkan kehebatan orang-orangnya ketimbang para penjahat yang merampok uang rakyat, bermulut besar dan yang hanya bisa mengumbar kebencian atau akademisi sekalipun yang menyuarakan ketakutan.
Camera Branding juga bisa dipakai pelaku-pelaku ekonomi untuk membentuk pasar, menciptakan gaya hidup baru yang lebih sehat. Dan efeknya kita rasakan.
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan