Marketing to Low Income – Sindo, 6 Juni 2013

Pergulatan di kelas bawah (sering disebut sebagai Bottom of Pyramid, BOP) berbeda dengan pergulatan kelas menengah. Ketika sebagian besar pemasar tengah tergila-gila dengan kelas menengah yang banyak uang dan menggiurkan, saya justru mulai berpikir bagaimana membuat kaum papa ini bisa hidup lebih baik dan sejajar dengan konsumen-konsumen kelas menengah yang sejahtera.

Tetapi tetap saja mereka berbeda dengan segala keterbatasannya. Ketika kelas menengah “Joint The Market”, maka mereka bukan hanya bisa membeli satu rumah, melainkan “beberapa rumah”. Mereka bisa membangun beberapa rumah kontrakan yang disewakan untuk  orang lain. Mereka bisa dengan mudah naik kelas, dari sepeda motor ke kendaraan roda empat, makan seminggu sekali bersama keluarga di luar rumah, rekreasi dimasa liburan dan seterusnya. Mereka juga membeli brand (image), gaya hidup,  kualitas dan sensasi.

Terkapar di Bawah

Keadaan sebaliknya ada di bawah. Mereka hanya mampu membeli \”fungsi\”, dalam arti makan hanya sekadar kenang, ngopi sekadar tidak mengantuk, dan rumah sekadar bisa selonjor dan tertidur.  Low income group hanya mampu membeli komoditi (unbranded products, hanya fungsinya saja).  Mereka juga sulit menyekolahkan anak-anaknya, juga tak memiliki gizi yang memadai untuk bekerja seproduktif kelas menengah. Bahkan juga menjadi korban dari sistem yang diciptakan administrasi negara yang buruk untuk kepemilikan apa saja.

Mengakses kelas bawah perlu memahami kondisi riil yang dihadapi.  Pertama, akses untuk mendekati mereka terbilang sulit sehingga terabaikan. Masing-masing mereka cenderung tinggal saling berjauhan satu sama lain sehingga biaya per unit untuk menjangkau mereka sangat tinggi. Biaya penyambungan listrik menjadi mahal sehingga membuat perusahaan energy mengabaikan mereka.

Kedua, sedikit sekali di antara mereka yang memiliki identitas-identitas resmi seperti KTP, akte kelahiran, apalagi paspor, ijazah, surat-surat tanah seperti akte jual-beli, atau sertifikat hak milik, dan NPWP. Keadaan ini membuat mereka dijauhi sektor-sektor keuangan, perumahan, dan sejenisnya.

Ketiga, pandangan-pandangan kehidupannya lebih bersifat “harian” sesuai dengan pendapatan  yang bisa diraih. Karena itu mereka sering dijadikan alat para politisi yang memainkan “kepintarannya” untuk memanipulasi mereka. Seperti misalnya tema-tema populis yang seakan-akan berpihak pada mereka (seperti tentang penolakan kenaikan harga BBM). Mereka mudah dimanipulasi dengan uang untuk meramaikan kampanye atau berpartisipasi dalam demonstrasi bayaran.

Keempat, sebagian besar mereka ada di sektor informal. Dengan sekitar 54,5 juta pelaku sektor informal, apakah sebagai tukang ojek, penjajak kaki lima, atau pekerja serabutan, maka mereka hanya baru mampu menjadi penonton dalam pesta-pesta konsumen. Mereka hanya menjadi penonton saat liburan, lebaran atau akhir tahun karena tak ada pemberian bonus atau THR.

Kelima, kebijakan-kebijakan pemerintah juga sering tak berpihak pada mereka. Subsidi BBM lebih banyak dinikmati pemilik kendaraan roda empat. Program kewirausahaan lebih mengutamakan kaum terdidik. Kredit perbankan dihitung dari slip gaji atau harus dicicil bulanan seperti orang gajian. Truk-truk pengangkut sampah hanya bisa masuk ke kawasan perumahan elit yang jalanannya besar-besar. Demikian juga mobil-mobil penyedot WC. Padahal konsumen BOP tinggal di gang-gang sempit dengan uang yang didapat secara harian.

Kelima hal itu sudah cukup membuat “The Low Income Group” terkapar di bawah. Sulit naik kelas. Tambahan lagi, subsidi sekolah hanya diberikan negara dari tingkatan SD. Tak pernah kita lihat ada TK milik negeri sehingga banyak anak-anak kaum BOP masuk SD tanpa sempat mengenyam pendidikan penting pada masa usia emasnya.

Pembebasan Belenggu

Maka mengajak The Low Income Family ke dalam pasar memerlukan cara pikir dan keterlibatan yang berbeda. Bahkan dengan sistem, mekanisme yang berbeda. Dan produk yang berbeda pula.

Para pemasar Mass Consumer Goods seringkali tak mau peduli terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi kelompok ini. Anggaran-anggaran CSR pun lebih banyak diberikan pada kelas menengah, atau kelas bawah perkantoran karena mudah dijangkau dan mudah membuat laporannya. Dari segi teknik pemasaran memang telah banyak dilakukan . Kelompok ini tidak memerlukan shampoo ukuran besar yang biasa dibeli melalui belanja bulanan orang kota di hypermarket. Mereka sekarang sudah bisa membeli paket-paket sachet mulai dari kecap hingga bumbu dapur.

Bahkan jasa telekomunikasi dan tenaga listrik telah bisa dibeli secara retail lewat pulsa harian atau budget tertentu. Namun untuk perumahan belum dikenal cicilan secara harian yang menyulitkan rakyat kecil memiliki rumah.

Dalam bisnis asuransi, kelompok usaha Prudential memperkenalkan PruAman untuk melayani segmen ini. Karena sulit mengakses secara individu, maka produk asuransi disalurkan melalui BPR-BPR atau kredit-kredit mikro. Setiap satu juta rupiah kredit mikro dikenakan premi sebesar Rp 2.500,-. Dengan demikian cicilan kredit akan terbebas dari resiko kematian debitur.

Di antara social enterprise, Mercy Corps memperkenalkan jasa Kedoteng yang merupakan kependekan dari Kereta Sedot Teng. Ini adalah semacam usaha franchise untuk sedot wc masyarakat yang tinggal di kampung sempit. Mercy Corps mempunyai usaha makanan bergizi untuk anak-anak balita dengan Kebal (Kedai Balita).

Tetapi hampir semua pelaku usaha yang membidik low income group menyatakan hal yang sama: diperlukan banyak penyesuaian dan inovasi yang didasarkan realita yang dihadapi kaum miskin. Semua pelaku usaha sama-sama menghadapi masalah yang sama karena kelompok ini tidak memiliki dukungan financial dan segala formalitas, pengetahuan dan sebagainya.

Kita masih harus bekerja keras untuk mengundang kelompok ini menjadi konsumen yang sehat, yang tak hanya dijadikan objek pemasaran, melainkan pelaku ekonomi aktif, terlindungi dan naik kelas.

Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *