Di peradaban kamera ini penting kita bedakan antara reputasi dan karakter. Keduanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama soal nama baik. Tetapi apa yang membedakannya adalah siapa yang menyampaikannya. Reputasi adalah apa yang diucapkan kita sehari-hari tentang seseorang. Reputasi adalah nama baik menurut sesama manusia, masyarakat.
Lantas bagaimana dengan karakter?
Karakter adalah sesuatu yang diucapkan oleh malaikat tentang kita. Tentu ia juga merupakan nama baik, namun nama baik yang tidak bisa ditip-ex, dipoles, ditutup-tutupi, apalagi dibentuk oleh kekuatan manusia. Karakter adalah “the real you” yang diadukan malaikat kepada Tuhan tentang kita. Maka, ia memang penting ditanam pada anak-anak kita lewat pendidikan. Penting untuk mengamankan masa depan agama dalam kehidupan suatu bangsa. Tetapi bagaimana, ya?
Diuji Masalah
Anda mungkin masih ingat dengan ucapan Abraham Lincoln, “Jika Anda ingin menguji karakter seseorang, berikanlah ia kekuasaan.” Disitulah akan terlihat, apakah seseorang akan hanyut dengan kekuasaannya, atau ia justru menunjukkan pengaruhnya untuk memperbaiki keadaan.
Dan seperti kata John Wooden, orang-orang yang peduli pada karakternya akan berani bertindak, sedangkan yang peduli pada reputasinya hanya akan berbuat mengikuti kekhawatiran dirinya tentang pikiran-pikiran orang lain terhadap dirinya. Lebih kurang mereka ingin berucap, “nanti orang bilang apa tentang saya?”
Karakter tentu saja tak bisa didapat hanya melalui pelajaran sekolah, namun penting dibentuk oleh keluarga inti dan keluarga besar yang memperkenankan kita masing-masing menghadapi ujian, bahkan peradilan yang mengadili kita. Seperti kata Hellen Keller, “Karakter tidak bisa dibangun dalam ruang yang tenang dan sepi. Hanya melalui pengalaman yang mengadili dan menista, jiwa seseorang mengalami penguatan, visinya dijernihkan dan sukses diraih.”
Celakanya, hanya kaum papa yang berani menghadapi pengadilan dan ketidakadilan. Sedangkan masyarakat kelas atas dan kelas menengah kita ternyata sama-sama melarang anggotanya bertarung menyelesaikan masalah-masalah kita sendiri-sendiri. Kita selalu dibantu menghadapi aneka pengadilan, aneka ketidakadilan dan dicabut dari segala kemungkinan-kemungkinan penistaan. Orang-orang sekitar menjauhkan kita dari benturan-benturan karakter yang bisa membuat kita menjadi manusia baja demi reputasi keluarga.
Saya jadi teringat dengan Mayjen Tono Suratman, Ketua KONI yang pernah menjabat Danrem Wiradharma Timor timur saatissue separatisme berkecambuk. Setelah Timor Leste merdeka, ia termasuk salah satu perwira yang diadili oleh pengadilan HAM. Ia mengalami ujian yang sangat berat. Diadili selama 3,5 tahun dengan tuntutan awal hukuman seumur hidup, melalui 44 kali persidangan yang ia sendiri tak pernah melakukannya, juga pasukannya.
Namun catatan saya, pernahkah Tono Suratman mangkir menghadapi pemeriksaan? Tidak Pernah! Berpura-pura sakit seperti yang sering dilakukan oleh para terdakwa korupsi? Tidak pernah! Menunjukkan muka gusar? Juga tidak! Menggerakkan demonstran dengan aneka spanduk? Tidak! Ia tidak berpolemik di Koran, tetap tegar dan menjawab semua dakwaan dengan jelas.
Saya tak heran kalau komandan kontingen Indonesia dalam Sea Games 2011 berhasil menyatukan atlit-atlit Indonesia sehingga keluar sebagai pemenang. Padahal selama 14 tahun prestasi olahraga Indonesia dapat dikatakan buruk!
Pengadilan dan kesakitan jelas membentuk karakter manusia. Sekolah bisa saja mengajarkan 6 pilar karakter yang meliputi: Jujur, respek tanggung jawab, adil, peduli dan keterpanggilan sebagai bangsa. Tetapi semua itu tak dapat ditanam dalam bentuk hafalan, apalagi bila diuji dengan soal pilihan berganda (multiple choice). Ujiannya ada dalam kehidupan, dalam pengadilan dan pergaulan sehari-hari. Yang intinya, bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan dan hargai orang lain, jangan berbohong, tetapi tempatkan rule of law sebagai landasan hidup sehari-hari. Berani diadukan malaikat kepada Tuhan?
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan