“The bend on the road is not the end of the road, unless you fail to make the turn.” Kalimat itu terpampang di gedung pertemuan PT Arun, saat saya diminta mengubah “doa kematian” yang telah menjadi ritual setiap hari di sana. Saya kira Anda tahu, quotes itu berasal dari Helen Keller, tokoh kemanusiaan yang menderita buta dan tuli namun berhasil menjadi pembuat sejarah yang penting.
Quotes itu mengilhami Iqbal Hasan Saleh, CEO yang baru diangkat untuk mengubah masa depan PT Arun yang berada di ujung kematian. Bagaimana tidak, PT Arun memang didesak untuk berhenti pada tahun depan (2014). Pada tahun itu, semua kontrakLNG akan berakhir. Jika pada tahun 1994 PT Arun NGL bisa mengapalkan gas LNG sebanyak 224 kapal kargo ukuran VLCCdalam setahun, maka tahun lalu produksi tinggal 16 kargo. Bahkan tahun ini turun lagi menjadi 12 kargo. Jadi dari 6 unit, PT Arun tinggal beroperasi pada 1 unit pabrik saja dengan utilisasi 6% dari kapasitasnya.
Suasananya buram. Pengurangan SDM sudah lama berlangsung. Maka yang tertinggal hanyalah doa, yaitu doa kematian bahwa tahun depan semuanya tinggal kenangan. Doa itu berasal dari tahun-tahun sebelumnya dan dipercayai akan terjadi, suka ataupun tak suka karena cadangan gasnya memang sudah habis. Tetapi benarkah ini sebuah jalan buntu (a dead end)? Iqbal Hasan Saleh bersama saya justru menyanyikan doa yang lain : Doa kebangkitan!
A Bend on The Road
Dari atas pesawat yang memutar di tepi Selat Malaka, saya berpindah tempat duduk dengan Iqbal Hasan Saleh. Dari sisi sebelah kiri, saya bisa menyaksikan kehebatan PT Arun yang terakhir saya lihat jauh sebelum konflik Aceh, akhir tahun 80-an. Pelabuhan besar dengan laut dalam yang bisa disinggahi VVLCC (Very-Very Large-Crude-Carrier). Dulu saya bisa merasakan kebanggaan orang tua-orang tua yang bekerja di PT Arun, saat putra-putri mereka berangkat mengikuti festival drum band di luar negeri. Masih saya simpan senyum mereka yang dilepas di bandara Maliku Saleh. Perusahaan tempat mereka bekerja adalah dambaan banyak orang. Pada tahun 1990, PT Arun adalah penghasil LNG terbesar dunia, dan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.
Tapi kaum remaja yang dulu begitu ceria itu sudah lama pergi. Dengan diiringi “doa kematian” praktis semuanya lesu. Hidup perusahaan ini tinggalah sebuah rutinitas, seperti orang tua yang tinggal di kampung sementara anak-anaknya semua sudah tinggal di kota.
Padahal kalau dikaji lebih jauh, selain lokasinya yang strategis menghadap, laut dalam itu menyimpan potensi ekonomi yang besar yang bisa membuka Aceh dari ketergantungannya dengan ekonomi Sumatera Utara (Ekonomi Belawan).
Harap dicatat pula, kalau pemerintah serius menghidupkan industri di sudut-sudut negeri, maka PT Arun siap dalam banyak hal. Pemerintah tinggal memutar kuncinya tanpa memerlukan investasi besar-besaran dari awal. Infrastuktur lengkap. Aset kilang LNG nya ditaksir bernilai di atas Rp 10 trilyun. Dan kalau dibiarkan, praktis akan menjadi besi-besi tua. Lebih dari 1.000 rumah karyawan yang masih bagus akan tinggal menjadi rumah hantu. Lantas tanah seluas 1.980 hektar dengan pembangkit listrik 2.220 MW entahlah akan menjadi apa.
Sebagai entrepreneur, otak Anda tentu bisa mencium sebuah kesempatan. Namun kalau Anda seorang birokrat yang biasa berpikir constraint-based, maka masalah besar telah terbayangkan. Apalagi 2014 semua orang akan sibuk mengeruk uang negara untuk memenangkan kekuasaan. Bahkan tahun ini saja aromanya sudah mulai tercium. Sulit membayangkan sebuah tindakan bila tidak hari ini.
Doa kematian adalah sebuah pikiran “dead end” (jalan buntu) yang tidak boleh ada dalam pikiran manusia-manusia perubahan. Perubahan menjadi sangat penting, bukan hanya bagi pegawai atau pimpinan PT Arun, melainkan juga bagi para bupati, gubernur, tokoh-tokoh masyarakat, birokrat, eksekutif perusahaan, dan para akademisi. Sebab seperti kata Helen Keller, jalan ini suatu ketika akan membelok. Dan bagi yang biasa “lari kencang” di jalan yang lurus, kelak akan mengalami sebuah proses Inersia, “sulit berbelok”. Bila itu terjadi, “You failed” dan masuk jurang.
Spirit perubahan adalah spirit berbelok dengan kesadaran íni bukanlah “jalan akhir”. Dari titik berpikir itulah ekonomi suatu daerah bisa dibangunkan industri-industri berskala besar berkelanjutan. Bukankah dulu para pendiri Bappenas sudah merencanakan industrialisasi di luar Pulau Jawa? Industrialisasi model extractive economy tentu rawan keberlanjutan karena mengandalkan natural resources yang non renewable. Tetapi entrepreneurship economy akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang terlatih berbelok.
Regasifikasi LNG
Berbekal pengetahuan yang cukup, seorang yang mampu melakukan transformasi akan segera mengetahui bahwa gas bumi memerlukan kilang untuk dijadikan LNG.
Kilang itu akan mempermudah pengangkutan sehingga bebannya lebih ringan, namun di pelabuhan tujuan ia memerlukan regasifikasi agar bisa dipakai kembali sebagai gas bumi. Dan kalau di setiap daerah sudah ada industri-industri besar pemakai gas, maka kilang itu bisa diubah menjadi proyek regasifikasi. Atau bahkan infrastrukturnya bisa menjadi penunjang bagi pembangunan kilang-kilang minyak yang sudah lama tidak kita lakukan.
Aceh pasca konflik, sudah barang tentu memerlukan industri yang dapat menampung kaum muda. Ketika saya berkeliling PT Arun, saya menyaksikan “doa-doa kematian” tidak hanya terdengar di satu titik melainkan juga di industri-industri pengguna gas bumi di sekitarnya seperti PT Pupuk Iskandar Muda, Asean Aceh Fertilizer (AAF) yang sudah lama berhenti serta PT Kertas Kraft Aceh (KKA). Bayangkan hal serupa pasti juga kelak akan terjadi di kota-kota tambang lainnya di Sumatera-Kalimantan-Sulawesi dan Papua.
Semuanya kelak akan bernasib sama manakala bangsa ini hanya membangun industrinya dari model extractive economy.Sedangkan ilmu yang dianut para manager kelas dunia adalah “Innovative economy” yang sarat teknologi dan pasar. Lalu ketika ia bertemu di titik penghabisan sumber daya alam, semuanya berakhir pada kebuntuan. Padahal, dengan perubahan, sebuah babak baru kehidupan justru baru akan segera dimulai. Dan ini bukanlah ilusi. Ini hanyalah jalan melengkung, dan kita bisa selamat tiba di tujuan, “Unless we failed to make the turn”.
Saya percaya PT Arun akan bangkit lagi, kalau yang duduk dipusat tidak berpangku tangan dan yang sudah mendengar “doa kematian” tidak buru-buru ingin bagi harta “warisan” sebelum ia benar-benar mati.
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan