Entah mengapa hubungan buruh dengan pengusaha semakin hari semakin tegang disini. Demo buruh tiba-tiba menjadi hal yang sangat menakutkan bagi banyak kalangan. Banyak orang yang menjadi takut terjebak dalam kerumunan buruh yang beringas. Takut terjebak dalam kemacetan, pengusaha takut perusahaannya kena sweeping dan takut tak bisa bayar gaji.
Padahal Indonesia bukan penganut paham kapitalisme, atau liberalisme. Dan sebaliknya, di negara-negara kapitalisme hubungan buruh dengan majikan atau pengusaha justru tidak setegang di sini. Di Amerika Serikat tidak tegang, juga di Jerman atau di Jepang dan Korea. Apa yang salah dengan bangsa ini?
Kesejahteraan
Hampir setiap hari surat kabar memberitakan soal UMR. Dan semua buruh terperangkap dalam hitung-hitungan. Seakan-akan semakin besar upah semakin baik. Sama bodohnya kita menyoal pengurangan atau penghapusan subsidi BBM. Kita semua berpikir, kalau subsidi dikurangi harga-harga akan naik. Tak ada yang berpikir bagaimana bila yang terjadi justru sebaliknya. Padahal dalam abad yang paradox ini, banyak logika lama yang sekarang berjalan mundur. Seperti berada di tanjakan, kita semua mengeluh, padahal kita sedang menuju ke atas. Demikian juga sebaliknya.
Buruh menuntut setiap tahun upahnya naik secara signifikan. Tidak tanggung-tanggung, ada yang bilang harus mengimbangi inflasi, tapi yang lain meminta naik 30%. Yang satu bilang ini tidak masuk akal, yang lain bilang sebaliknya.
Sebenarnya berapa sih upah yang wajar?
Bagi seorang buruh yang bekerja di sebuah kawasan industri Pulogadung, menerima Rp. 2,1 juta ternyata tidak cukup. Sementara saudaranya yang bekerja di Semarang menerima separuhnya merasa sudah cukup. Kata orang, indeks kemahalan di kedua kota itu berbeda. Tetapi pada jarak yang tidak jauh itu mengapa berbeda hingga 100%.
Buruh di Pulogadung itu rata-rata tinggal 60-80 km dari pabriknya. Sedangkan yang tinggal di Semarang dapat perumahan yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari pabrik tempatnya bekerja. Yang bekerja di Pulogadung, tinggalnya di Karawang, sebagian lagi ada yang tinggal di Jonggol atau di daerah Bogor. Sudah begitu, ia harus melewati jalan berlubang, dengan bus kota yang padat. Setiap hari mereka harus berangkat 2-3 jam sebelum jam kerja. Sedangkan yang naik sepeda motor harus berjuang keras melawan maut di jalan raya. Klaksonnya jarang dipijit, mukanya jarang dikendurkan, karena mereka terancam dipecat bila sering terlambat.
Di daerah pinggiran, di luar dari luar kota, mereka menetap. Sebagian lagi rumahnya terletak di belakang makam yang sepi, dengan listrik seadanya. Itupun hanya mampu tinggal di rumah kontrakan. Pemerintah sendiri menghitung, ada 15,4 juta backlogperumahan murah untuk rakyat. Sedangkan pemerintah hanya mampu membangun 500.000-an unit setiap tahunnya. Itupun hanya bisa dibeli buruh-buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang sangat memperhatikan kesejahteraannya, atau mereka yang punya penghasilan tambahan.
Rumah murah tak tersedia, lalu lintas padat, transportasi publik buruk, akses pada perawatan kesehatan banyak masalah, sementara anak-anak mereka membutuhkan telepon pintar, uang buat studi banding dan wajib membeli pulsa.
Harga BBM murah, tetapi karena infrastruktur jalan raya begitu buruk dan kendaraan begitu cepat tumbuh, jarak yang bisa ditempuh satu jam kini menjadi 2 jam. Dari satu liter bensin, kini menjadi 2 liter. Dari Rp. 4.500,- per hari menjadi Rp. 9.000,-. Apakah ini bukannya inflasi? Kalau APBN semua dihabiskan untuk subsidi BBM, apakah Indonesia bisa membangun infrastruktur, jalan, pengairan, sekolah, pelabuhan dan lain-lain? Apakah benar pencabutan subsidi lebih buruk daripada ketidakberadaan infrastruktur bagi para buruh untuk bekerja dan infrastuktur logistik?
Kalau begitu, apa artinya kesejahteraan bila uang (gaji) yang diperoleh tak bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar?
Pemerintah Bekerja
Banyak yang berpikir pemerintah yang bekerja adalah pemerintah yang “mengentertain” apa kata penekan. Ditekan buruh, ya kehendaknya diteken. Ditekan politisi, ya ikut saja. Ditekan media, begitu juga. Padahal pemerintah bekerja dari domain yang harus ditanggungnya, yaitu: kesejahteraan, kestabilan ekonomi dalam jangka panjang, keamanan, keadilan dan kualitas hidup.
Pertanyaannya, bagaimana rasa keadilan masyarakat bisa didapat kalau penegak hukum hanya berbicara tentang undang-undang dan aturan hukum belaka? Apa jadinya kalau penjara semakin penuh?
Demikian pula apa artinya kesejahteraan bila kita harus berangkat jauh lebih pagi dan pulang lebih malam dengan beban psikologi untuk bekerja yang berat? Apa artinya uang banyak bila rumah tangga berantakan dan tulang punggung keluarga sakit-sakitan?
Tentu saja kita perlu bertanya apa artinya inflasi 5% bila volume BBM yang kita gunakan kini meningkat 2-3 kali lebih boros, dengan waktu tempuh yang lebih lama? Mari kita renungkan, pemerintah seperti apa yang kita butuhkan dan pengusaha seperti apa yang dicintai buruh-buruhnya. Dan mari kita renungkan ajakan para politisi untuk tidak menaikkan harga BBM agar harga-harga kebutuhan pokok tidak naik. Apakah mereka semua telah mengajarkan kejujuran, kecerdasan atau justru sebaliknya?
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan