Memimpin Diri Sendiri – Jawapos 14 Januari 2013

Pepatah lama mengajarkan kebijaksanaan: “Sebelum memimpin orang lain, pimpinlah dirimu lebih dulu.” Sedangkan pepatah lainnya mengatakan: ”Taklukanlah dirimu sebelum menaklukan orang lain.” Di buku Recode Your Change DNA, saya pernah menulis, “Kala kita bodoh kita ingin mengendalikan orang lain, kala kita  pintar kita justru ingin menaklukan diri sendiri.”
Mengapa memimpin orang lain tidak mudah? Salah satu jawabannya manusia sulit menaklukan dirinya sendiri. Ya, orang-orang yang sulit menaklukan dirinya sendiri akan sulit mempengaruhi orang lain.

Di atas Galata Bridge yang menyambungkan kawasan Golden Horn di selat Bosphorus, Turki, 31 Desember 2012, saya menemukan ratusan orang yang tengah bertarung melawan dirinya sendiri. Masing-masing orang, berebut sepotong kapling di sisi jembatan. Ya, kapling sempit, sesempit diri masing-masing dengan celah 20-30 cm untuk memutar badan menarik kail. Masing-masing orang itu memang menggenggam  sebatang kail yang dilengkapi umpan. Seperti bertarung melawan burung-burung laut, mereka tekun menunggu umpannya di telan ikan-ikan kecil. Pertarungan segitiga: menaklukan ikan-ikan yang kelebihan makanan, memperebutkannya melawan burung-burung laut dan satu lagi, tetangga yang melempar kail di sisi kiri dan kanan. Oh iya, ada satu lagi, dan ini yang terpenting: bertarung melawan kenikmatan-kenikmatan diri. Bagi Anda yang ingin dapat cepat hasil tentu saja hal ini membosankan.

Hari sudah petang, saat ribuan orang justru tengah berdandan menuju Taksim Square, tempat pusat keramaian pesta menyambut Tahun Baru. Udara semakin dingin, sekitar 3 derajat celcius dan angin bertiup sejuk-sejuk – basah. Lampu kelap-kelip, bunyi terompet, bau aroma parfum Turki, lengkap dengan toko-toko yang tetap buka di sepanjang jalan Istiqlal menyambut ribuan orang dan turis asing. Sementara di Galata Bridge, kelompok yang lain menyatakan, “Ini saatnya menaklukan diri.”
Di bawah jembatan, ratusan pedagang Arab yang meneruskan tradisi dagang rempah-rempah sejak abad ke 6 Masehi tetap bergemingmelayani pembeli. Seakan lupa, malam ini adalah malam yang penting. Suara adzan magrib mengisyarakatkan mereka untuk berhenti, tetapi gairah berdagang sulit ditahan. Waktu bergerak terus saat saya mendatangi mereka. Dan satu persatu seakan tersadar toko harus segera ditutup. Dan ribuan orang segera meninggalkan Egyptian, Bazaar.
Tak seperti jutaaan orang lainnya yang menunggu detik-detik pergantian tahun dengan kedinginan, kaum pedagang di Turki seperti tengah kepanasan. Tak sulit menemukan siapa jatidiri mereka. Mereka adalah keturunan tentara Ottoman yang dulu mahir memainkan senjata hingga menaklukan Romawi. Di tangan mereka kerajaan Islam berjaya, namun di tangan mereka pula modernisasi digalakkan. Mereka pedaganag yang ulet, sekaligus bangsa yang tak terkurung di masa lalu.

Sulit bagi saya melupakan dua kelompok manusia yang dipisahkan oleh jarak yang sangat sempit. Hanya sejauh dua kilometer, dua pemandangan berbeda saya temui, yang satu (di Taksim Square) menikmati, yang satu berjaga (di Galatta Bridge). Seperti itulah kehidupan. Seorang pengail ikan yang bertarung menahan lapar di atas Galata Bridge berkata begini, “Jangan terkecoh oleh dandanan orang Turki. Di sini, bahkan pengemispun berpakaian rapi bak nyonya besar. Setiap orang hanya bisa dibedakan dari apa yang mereka lakukan, bukan oleh apa yang mereka kenakan.” Di Galata Bridge orang bekerja. Di jalan Istiqlal orang berbelanja. Begitulah kehidupan di negeri dua benua. Di satu sisi mereka adalah Eropa, di sisi yang lain Asia. Sebagian besar orang Turki bekerja di Eropa, bertempat tinggal di Asia. Bagi orang Asia, Turki adalah Barat, sedangkan di Barat mereka di anggap Timur. Mereka yang di Barat ingin ke Timur dan yang di Timur  ingin ke Barat.  Bertemunya di Galata Bridge itulah.
Anak saya yang masih duduk di sebuah kolese di New Zealand menimpali: “Sebenarnya sama saja dengan orang Indonesia. Apa yang dimiliki tidak bisa dijadikan acuan untuk menentukan siapa dia. Mobil boleh saja BMW seri 5 atau Daihatsu yang termurah, yang satu anak menteri yang satunya lagi anak rakyat biasa. Saat menabrak dan menghilangkan nyawa orang, keduanya sama-sama bertarung melawan batin masing-masing. Yang membedakan mereka hanyalah tanggung jawab. Yang satu turun menyelamatkan korban, yang satunya lari dari tanggung jawab, bahkan mencetak korban-korban baru akibat melarikan diri.” Tapi bukankah orang sering terkecoh dengan label. Tengok saja komentar-komentar di bawah setiap berita, anak menteri seolah dikesankan lari dari hukum. Padahal mereka dibentuk dari self, bukan label. Itulah yang membedakan manusia, yaitu apa yang bergejolak dalam diri masing-masing.

Di media massa saya membaca berbagai komentar. Sudah pasti lebih banyak amarah dan pikiran-pikiran negatif. Rasa anti pasti terhadap anak menteri lebih kuat dari anak biasa-biasa saja. Ada semacam luka batin yang menganga kuat di masyarakat kita, yang dibentuk oleh ketidakadilan yang tidak bisa diberikan sistem penegakkan hukum sejak zaman kemerdekaan yang semakin parah pasca reformasi. Di awal tahun ini saya ingin menjajah eksekutif-eksekutif Indonesia, juga para guru dan rakyat biasa untuk tidak sekedar menaklukkan orang lain. Kematangan kita terletak dalam cara kita menyalahkan kata-kata jahat yang ada dalam diri kita. Itulah self leadership.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *